Gebrakan Negeri Mullah


515

Gebrakan Negeri Mullah

Oleh: Ndaru Anugerah

Sebelum Revolusi Islam yang berlangsung pada tahun 1979, Iran merupakan negara boneka AS dibawah kepemimpinan Shah Reza Pahlavi. Namun setelah revolusi meletus, semuanya berubah drastis.

AS lewat Departemen Luar Negeri dan CIA, mulai menarget Iran dengan propaganda canggih yang bertujuan menjadikan Iran sebagai common enemy orang-orang di seantero jazirah Arab.

Propaganda tersebut berupa konflik sektarian antara Sunni dan Syiah di Timur Tengah. (https://www.aljazeera.com/news/2018/03/aipac-speakers-praise-saudi-arabia-uae-leadership-180305184008667.html)

Kampanye propaganda yang diulang-ulang kek kaset kusut tersebut, terbilang cukup sukses.

Indikatornya jelas, dimana pada hari ini terbentuk monarki di jazirah Arab yang bekerjasama dengan Israel dalam berbagai masalah seperti: ekonomi, keamanan dan politik. (https://www.theguardian.com/news/2019/mar/19/why-israel-quietly-cosying-up-to-gulf-monarchies-saudi-arabia-uae)

Dan sebagai bonusnya, Iran diganjar embargo oleh AS.

Tapi semua situasi sulit itu tidak membuat Iran menjadi bangsa yang cengeng. Mereka menghadapi embargo yang dilakukan AS dengan tegar.

Namun situasi kembali berubah saat Trump menarik AS keluar dari kesepakatan internasional tentang senjata nuklir di tahun 2018 silam. Alasannya klasik, dimana Iran kembali dituduh tengah mengembangkan senajata nuklir, walaupun Iran berkali-kali menyangkal tuduhan tersebut.

Tindakan Trump tersebut merupakan pemicu ketegangan yang ada di Timur Tengah saat ini.

Kenapa seorang Trump mau mengambil langkah ekstrim tersebut?

Selidik punya selidik, salah satu sumber utama ketegangan adalah pengaruh dan tekanan Komite Urusan Publik Israel Amerika (AIPAC) dan beberapa negara Teluk yang kaya minyak seperti Saudi. (https://www.washingtonpost.com/opinions/2020/03/02/bernie-sanders-called-aipac-platform-bigotry-group-is-proving-his-point/)

Singkatnya, AIPAC dan sekutu-sekutu Arab menekan Trump untuk menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, serta mendorong penggunaan militer AS untuk melakukan agresi terhadap Iran. (https://www.e-ir.info/2019/11/08/israel-and-the-arab-gulf-an-israeli-saudi-alliance-in-the-making/)

Tekanan pada Trump tersebut mendorong aksi pembunuhan terhadap Jenderal Iran Qasem Soleimani di Baghdad tempo hari melalui serangan drone. Dan aksi tersebut dibalas Iran dengan menembakan rudal balistik pada pasukan AS di Irak.

Situasi-pun makin memanas.

Bagi Trump, saat ini dirinya menghadapi kesulitan tersendiri. Di satu pihak dia ingin memenangkan kembali kursi kepresidenan di pemilu November nanti. Namun disisi yang lain, para pendukungnya (terutama AIPAC) menuntut dirinya untuk mempertahankan sikap garis kerasnya terhadap Iran.

“Pokoknya tidak ada opsi negosiasi dan resolusi damai antara AS dan Iran. Sebaliknya upaya berupa sanksi, ancaman dan serangan militer adalah hal yang harus dilakukan,” demikian kurleb ultimatum faksi AIPAC di AS sana terhadap Trump.

Ditengah panasnya situasi di Teluk, tiba-tiba Iran buat gebrakan dengan meluncurkan satelit pertahanan militernya, tepat pada hari peringatan 41 tahun berdirinya Korps Pengawal Revolusi Iran (IRGC) di gurun Dasht e-Kavir (22/4).

Pada saat itu, komandan IRGC – Jenderal Salami – mengatakan: “Momen ini adalah awal pembentukkan kekuatan global baru, dimana pasukan dunia yang kuat akan punya rencana pertahanan yang komprehensif, guna memperluas kemampuan strategis kita.”

Dengan kata lain, satelit pertahanan militer yang diberi nama Nour tersebut, akan memiliki fungsi utamanya sebagai alat tempur intelijen, seperti pengintaian dan kemampuan komunikasi bebas penyadapan.

Keberhasilan ini jelas memberi kebanggaan sekaligus secercah harapan kepada segenap warga Iran yang saat ini tengah dihantam pandemi C19. Bahwa negara akan tetap hadir melindungi kepentingan warganya.

Sukses peluncuran Nour, menjadikan Iran sebagai salah satu dari 15 negara di dunia yang berhasil menempatkan satelit militernya di luar angkasa.

Apakah ini proyek pertama Iran? Tidak juga. Mengingat pada Februari 2009 silam, Iran telah meluncurkan satelit bernama Omid yang berfungsi sebagai satelit pengolahan data untuk penelitian dan telekomunikasi.

Dengan peluncuran satelit tersebut, maka upaya AS untuk bisa meretas sistem pertahanan Iran, jadi makin sulit dilakukan, mengingat komponen utama tuh satelit konon 100% buatan dalam negeri Iran.

Otomatis peluncuran Nour memicu reaksi keras AS. Kembali tudingan diluncurkan: “Iran telah menentang resolusi Dewan Keamanan PBB.” (https://www.nytimes.com/2020/04/22/world/middleeast/iran-satellite-launch.html)

Ada-ada saja. Saat negaranya meluncurkan berbagai satelit ke luar angkasa, kenapa nggak ada tudingan kalo AS telah menentang resolusi Dewan Keamana PBB? Kenapa tudingan justru dialamatkan ke Iran yang selama ini jadi target operasi intelijen AS? (baca disini)

Satu yang pasti, bahwa panasnya Timteng akan bisa terus membara selama AS dipimpin oleh sosok haus perang seperti Trump.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!