Upaya Menangkap Awan? (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama tulisan saya sudah mengulas tentang klaim Xi Jinping bahwa China telah keluar dari jerat ke-misqueen-an. (baca disini)
Faktanya, selama 2 tahun terakhir, angka inflasi di China justru melejit. Dan ini berdampak pada naiknya harga-harga makanan pokok, hingga kebutuhan rumah tangga lainnya. (https://thediplomat.com/2021/05/how-will-china-respond-to-rising-inflation/)
Kita lanjut ke masalah selanjutnya, yaitu tingkat konsumsi domestik. Tiongkok punya rencana untuk meningkatkan konsumsi domestik guna mengatasi pendapatan ekspor yang hilang dimasa Kopit.
Istilah kerennya: sirkulasi ganda, alias menggenjot ekspor dan meningkatkan konsumsi domestik. (https://www.reuters.com/article/china-economy-transformation-explainer-idUSKBN2600B5)
Namun ini blunder.
PM Li Keqiang justru ngomong begini dihadapan publik, “Seseorang bahkan nggak dapat membayar sewa dengan uang yang dia miliki jika dia hidup di kota besar, apalagi untuk memperbaiki hidupnya atau membantu produsen dengan cara membeli produk ekspor.” (https://asiatimes.com/2020/09/poor-drag-anchor-as-xi-turns-the-economic-ship/)
Bagaimana mungkin kebijakan sirkulasi ganda bisa dijalankan dengan kondisi ekonomi yang sudah terseok-seok?
Masalah lainnya adalah soal utang.
Ketika krisis ekonomi global 2008 yang dipicu oleh ambruknya Lehman Brothers, Wen Jaibao kasih stimulus setara USD 4 triliun kepada China agar negara tersebut nggak terkena imbasnya. (https://www.nytimes.com/2008/11/09/world/asia/09iht-10china-FW.17654287.html)
Dana sebesar itu buat apa saja?
Buat kasih modal pemerintah daerah yang biasanya diberikan melalui obligasi infrastruktur maupun pinjaman dari BUMN setempat. Akibatnya banyak ‘perbankan bayangan’ dibentuk, dalam rangka memutar roda perekonomian di China.
Salah satu kebijakan yang diberikan kepada warga adalah Local Government Finance Vehicles (LGFVs) buat menstimulus orang guna membeli kendaraan pribadi.
Program ini memang berjalan.
Namun sialnya, utang yang diberikan Wen jatuh tempo pada 2020 silam saat Kopit menyerang. Akibatnya banyak ‘bank bayangan’ yang kolaps karena nggak punya uang buat bayar utang dalam bentuk obligasi. (https://www.adb.org/sites/default/files/publication/396826/adbi-wp800.pdf)
Masalah tambah kusut, saat data utang lokal tersebut sifatnya ‘rahasia’ alias nggak disebar ke publik. Ini wajar saja, karena pejabat lokal ingin memperlihatkan bahwa daerahnya berkembang, sehingga dapat memajukan karir mereka di PKC karena prestasi ekonomi yang mereka capai.
Meskipun rahasia, memang berapa nilainya saat ini?
Wadir Komite Ekonomi Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China, Liu Shijin menyatakan, “Utang lokal yang tersembunyi tersebut nilainya mencapai USD 6,3 triliun hingga USD 18,9 triliun.” Dan itu angka yang sangat besar. (https://gnews.org/691062/)
Bagaimana pemerintah pusat mengantisipasi utang yang demikian besar, yang sangat berpotensi memicu krisis utang secara sistemik?
Belum lagi kewajiban pemerintah yang harus menanggulangi krisis ekonomi pada sektor perumahan, seperti yang sudah pernah saya bahas sebelumnya. (baca disini dan disini)
Apa yang bisa dilakukan Beijing dalam merangsang konsumsi domestik, terutama daerah yang lebih misqueen dengan kondisi seperti ini?
Masalah selanjutnya adalah soal pengangguran yang kian membesar di China.
Pemerintah China mengklaim telah berhasil menekan angka pengangguran diangka 6-7%.
Namun jika ditelisik, angka itu hanyalah angka pengangguran di perkotaan saja, sesuai definisi mereka. (https://www.scmp.com/economy/china-economy/article/3110193/china-unemployment-rate-how-it-measured-and-why-it-important)
Padahal ada sekitar 290 juta pekerja migran yang tinggal di pedesaan dan biasanya bekerja pada sektor konstruksi, manufaktur, dan pekerjaan bergaji rendah lainnya. Dan angka ini nggak disajikan oleh pemerintah pusat. (https://www.cnbc.com/2020/03/16/china-economy-millions-lose-their-jobs-as-unemployment-spikes.html)
Menurut penelitian yang dilakukan Zhang Bin selaku ekonom di Chinese Academy of Social Sciences, jika para migran ini dimasukkan, maka akan ada sekitar 10-13% angka pengangguran di China, bahkan bisa mencapai 20% pada Maret 2020. (https://edition.cnn.com/2020/05/08/economy/china-unemployment-intl-hnk/index.html)
Terus bagaimana mungkin strategi sirkulasi ganda dilakukan dengan tingkat pengangguran yang demikian besar? Apakah pengangguran punya uang untuk membeli sesuatu?
Tambah lagi adalah fakta bahwa pertumbuhan masyarakat di China kini mengalami penurunan sejak 2018 silam. Kalo populasi berkurang, mungkinkah daya beli domestik bisa dikatrol? (https://www.ft.com/content/008ea78a-8bc1-4954-b283-700608d3dc6c)
Kondisi ini diperburuk dengan pemberlakuan lockdown yang dibeberapa negara, yang mengakibatkan ekspor China ke negara tersebut menjadi terhambat. Padahal utang untuk membangun Belt & Road Initiative demikian besarnya. Bagaimana cara bayar utangnya kalo kondisinya masih begini? (https://www.dailymaverick.co.za/article/2021-01-08-belt-and-road-tightening-is-the-silk-road-unravelling/)
Ditambah lagi, beberapa negara yang telah menjadi rekanan BRI China, kini mengalami nasib serupa berupa keterpurukan ekonomi. Ini berimbas pada kemampuan mereka untuk membayar utang kepada pemerintah China. Pakistan salah satunya. (https://m.economictimes.com/news/international/world-news/pakistan-to-seek-debt-relief-from-china-belt-and-road-loan/articleshow/80780441.cms)
Pasalnya, banyak negara yang sudah berhutang ke China dan kini nggak mampu bayar. Apa nggak tambah kusut masalahnya?
Sekarang coba anda simpulkan sendiri, apakah mungkin China memimpin negara-negara di dunia untuk keluar dari krisis ekonomi ini? Apakah krisis ekonomi di China nggak malah memicu efek domino secara global?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
Selalu analisa yang mantap mas..
Makasih bngt