Upaya Menangkap Awan (*Bagian 1)


525

Upaya Menangkap Awan? (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pandemi Kopit belum lagi usai. Namun beberapa analis mulai mereka-reka, tentang skenario akhir dari pandemi tersebut. Siapa yang akan memimpin sebagai pemenang diakhir ‘perlombaan’? Atau siapa yang akan menuntun dunia keluar dari jerat depresi ekonomi saat ini?

Banyak yang berspekulasi bahwa China-lah yang akan mengambil peran dalam upaya pemulihan ekonomi global pasca pandemi ini.

Pertanyaannya: apa benar begitu?

Premis bahwa China yang akan menghantar dunia ke gerbang ‘pemulihan’ global, bukan tanpa sebab. Adalah Xi Jinping sebagai whistle blower tentang skenario tersebut.

Berbicara kepada publik di China, Xi yang juga merangkap sebagai Sekjen Partai Komunis China mengatakan di Desember silam, “Tiongkok telah sukses menghapus kemiskinan absolut yang ada di negaranya.”

Bahkan Xi mengklaim bahwa China bersiap untuk menjadi masyarakat yang berkemakmuran sebelum akhir 2020. (https://timesofindia.indiatimes.com/world/china/president-xi-claims-complete-victory-in-eradicating-absolute-poverty-in-china/articleshow/81210398.cms)

Artinya, walaupun dihantam pandemi, China masih bisa eksis. Bahkan bisa mendeklarasikan sebagai negara yang bebas ke-misqueen-an. Padahal negara lainnya di dunia, justru mengalami masalah ekonomi yang sangat memprihatinkan. (https://theconversation.com/how-a-radical-interpretation-of-the-great-depression-became-the-orthodoxy-behind-solving-the-covid-economic-crisis-158584)

Asal tahu saja, bahwa bukan pertama kalinya seorang Xi Jinping buat berita spektakuler yang menyangkut soal keberhasilan China dalam mengentaskan ke-misqueen-an.

Pada KTT G20 yang berlangsung di Riyadh pada November 2020 silam, Xi juga menyatakan bahwa China telah mencapai garis finish Agenda PBB 2030 tentang Pembangunan Berkelanjutan (dalam mengentaskan poverty), sepuluh tahun lebih cepat, yaitu di tahun 2030. (https://news.cgtn.com/news/2020-11-23/Xi-Jinping-calls-for-efforts-to-build-world-without-poverty–VDol56XcM8/index.html)

Kalo golongan middle class, tentu akan menelan bulat-bulat apa yang telah dilontarkan Xi. Namun bagi analis geopolitik, terutama yang mendalami masalah China, pernyataan itu justru mengundang pertanyaan besar. “Apa benar klaim yang diungkapkan Xi?” begitu kurleb-nya.

Menarik untuk diketahui, bahwa China sudah pasang target untuk mengentaskan ke-misqueen-an absolut dari negaranya, pada tahun 2020. Ini sudah tertuang dalam Rencana Lima Tahun ke-13 China di tahun 2016 silam. (https://www.uscc.gov/files/000737)

Jadi kalo China kali ini mengklaim telah mencapai target yang mereka tetapkan, menjadi hal yang lumrah. “Kan memang sudah ada targetnya untuk dicapai.”

Masalahnya nggak sesederhana itu.

Adalah fakta bahwa sebagian besar penduduk misqueen di China adalah penduduk migran pedesaan yang hidupnya mengandalkan pertanian subsisten. Dan ini sangat kontras dengan penduduk pesisir yang ada dibagian tengah dan barat daya China, yang lebih makmur.

Laporan yang dibuat Biro Statistik Nasional China di tahun 2016 silam, menyatakan bahwa di tahun 2015, tingkat ke-misqueen-an di negara Tirai Bambu tersebut mencapai 1,8% pada wilayah yang sangat maju. Sedangkan di wilayah tengah mencapai 6,2 %, dan wilayah barat mencapai 10%. (http://cdi.cnki.net/Titles/SingleNJ?NJCode=N2019030133)

Lalu bagaimana China mendefinisikan ke-misqueen-an di negaranya?

Berdasarkan indikator yang diterapkan oleh World Bank, seseorang bisa dikatakan misqueen jika dan hanya jika penghasilan per kapita perharinya kurang dari USD 5,5. (https://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.UMIC.GP)

Namun definisi tersebut nggak berlaku di China sana.

China menetapkan ambang batas ke-misqueen-an di negaranya, bukan berpatokan pada angka yang ditetapkan Bank Dunia tersebut, melainkan USD 1,9 per hari. Dan ini hanya merujuk pada data masyarakat misqueen yang ada di pedesaan yang keperluannya minim. (http://www.xinhuanet.com/english/2020-12/03/c_139560790.htm)

Dengan kata lain, data penduduk misqueen di perkotaan yang jumlah sangat banyak, dimentahkan oleh pemerintah Tiongkok.

Coba anda bayangkan bagaimana mungkin anda bisa hidup dengan biaya hanya USD 1,9 (sekitar Rp 27 ribu) per harinya di Shanghai dan kota-kota besar lainnya di China?

Memang berapa angka ke-misqueen-an di China seandainya mereka memakai indkator yang ditetapkan oleh World Bank?

Angka rakyat misqueen-nya bukan lagi 1,7%, melainkan 17% alias 10 kali lipat dari data yang mereka laporkan. Dan ini sangat signifikan.

Dan jika demikian adanya, secara paralel maka tingkat ke-misqueen-an di China saat ini, akan lebih banyak lagi karena adanya pandemi Kopit. Namun data ini nggak disebutkan, selain klaim bahwa China berhasil mengentaskan ke-misqueen-an di negaranya. (https://www.bbc.com/news/56213271)

Masalah tambah diperkeruh dengan pernyataan yang pernah dilontarkan Perdana Menteri China Li Keqiang pada 2019 silam. PM Li menyatakan bahwa sekitar 600 juta warga Tiongkok berhasil mencari nafkah dengan pendapatan bulanan mencapai 1000 Yuan atau sekitar USD 150 di tahun 2019. (https://www.163.com/news/article/FDPESQ2H0001899O.html)

Dan pernyataan tersebut dijadikan pembenaran bahwa China berhasil mengentaskan ke-misqueen-an di negara saat Kopit menerjang.

Nyatanya, selama 2 tahun terakhir, inflasi di China melejit. Dan ini berdampak pada naiknya harga-harga makanan pokok, hingga kebutuhan rumah tangga lainnya. (https://thediplomat.com/2021/05/how-will-china-respond-to-rising-inflation/)

Timbul pertanyaan: dengan mengandalkan penghasilan per kapita per hari sekitar USD 1,9, ditambah dengan terkereknya harga-harag kebutuhan pokok akibat inflasi, mungkin nggak sih China keluar dari ke-misqueen-an seperti yang diklaim Xi Jinping?

Namun itu bukan segala-galanya. Ada beberapa faktor yang bisa dikemukakan dalam menjawab klaim yang dilontarkan Xi Jinping.

Pada bagian kedua nanti saya akan membahasnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!