Sisi Kelam Energi Hijau (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Telah kita bahas tentang sisi kelam dari energi hijau yang diungkap oleh pakar energi, Robert Bryce. Nyatanya energi hijau tersebut sangat boros bahan baku seperti logam tanah jarang, boros energi untuk mewujudkannya selain boros dalam penggunaan lahan. (baca disini)
Yang mau diungkapkan oleh Bryce adalah ide transisi energi merupakan hal konyol yang sangat mustahil untuk diwujudkan.
Karenanya, beberapa otoritas lokal dan regional di AS sana, melakukan perlawanan terhadap pemasangan instalasi energi terbarukan di wilayah mereka. Bryce mengatakan bahwa sejak 2015 silam, lebih dari 300 UU telah diluncurkan di berbagai negara bagian di AS, guna melarang atau setidaknya membatasi pemasangan instalasi energi hijau tersebut.
Kenapa dilarang atau dibatasi?
Sebab instalasi tersebut dapat mengganggu aktivitas manusia. Ambil contoh turbin angin, yang bukan saja menghasilkan kebisingan tapi juga dapat mengancam kesehatan manusia, hewan, termasuk burung-burung yang berterbangan.
Ini bukan asal njeplak, karena di AS sana turbin angin telah sukses membunuh sekitar 888.000 kelelawar dan 573.000 burung setiap tahunnya. (https://windmillskill.com/blog/windfarms-kill-10-20-times-more-previously-thought)
Dengan temuan ini, bukan saja penduduk lokal yang merasa dirugikan, tapi juga aktivis lingkungan hidup mengecam tindakan tersebut. Ini sungguh masuk akal, mengingat dalam rantai makanan, satu rantai yang hilang akan mengganggu keseimbangan ekosistem, bukan?
Belum lagi bicara konversi lahan yang dilakukan.
Maksudnya?
Generator angin dan matahari yang dibangun di daerah pedesaan, memerlukan jalur transmisi tegangan tinggi yang sangat panjang guna menyalurkan energi listrik ke kota-kota terdekat.
Menurut estimasi yang dikeluarkan oleh National Renewable Energy Laboratory, panjang jalurnya dapat mencapai 240.000 mil. (https://www.wind-watch.org/news/2021/04/23/american-experiment-releases-new-report-on-the-growing-opposition-to-wind-and-solar-in-rural-america/)
Ini sama saja dengan 10 kali keliling bumi. Kebayang dong, berapa materi yang dipakai selain lahan yang diperlukan?
Apa ada lagi kerugian yang didapat dari energi hijau?
Tentu saja ada. Tahukah anda jika energi terbarukan sama sekali tidak menguntungkan?
Ini bisa terjadi karena banyak subsidi diberikan kepada energi hijau tersebut. Tanpa subsidi, pengembangan energi hijau nggak mungkin bisa jalan.
Panel surya misalnya. Di AS sana per unit panel surya menerima subsidi 253 kali lebih banyak daripada tenaga nuklir. Sedangkan untuk turbin angin, subsidi yang diterima 158 kali lebih banyak.
Namun sekali lagi, secara ekonomis subsidi yang diberikan nggak sesuai dengan tingkat enegri yang dihasilkan. “Butuh triliunan dollar guna upaya pengembangan energi hijau, yang tentu saja ini membebankan keuangan negara. Selain itu, dampak kesehatan dan lingkungan yang ditimbulkan juga cukup besar,” ungkap Bryce.
Pertanyaannya: bagaimana agar memperoleh keuntungan dari energi hijau ini?
Berdasarkan analisis lebih dari 200 pakar energi, Robert Bryce menyimpulkan bahwa yang paling mungkin adalah dengan menaikan harga listrik pada tingkat yang sangat signifikan.
Prognos AG selaku konsultan energi menyatakan kenaikannya setidaknya mencapai 50% pada 2030 mendatang. (https://www.handelsblatt.com/politik/deutschland/co2-und-erdgaspreise-studie-strompreis-steigt-bis-2030-um-50-prozent/27170486.html?fbclid&ticket=ST-4505262-p2Eh2RTq1GSGID3KNTK0-ap3)
The best is yet to come.
Saat semua bahan bakar fosil terkena pajak karbon dan menyebabkan produksinya perlahan dihilangkan, konsekuensi yang mungkin adalah ada ketidakcukupan terhadap energy supply. Bukankah ini akan menyebabkan pemadaman listrik secara besar-besaran? Otomatis, ini akan memicu reaksi berantai yang luas pada produksi. Dan ini sudah terjadi, bukan? (baca disini dan disini)
Masalah nggak hanya berhenti sampai disini, mengingat sektor swasta yang mengupayakan energi hijau ini juga kena imbas dari biaya transmisi listrik yang dikeluarkan. International Energy Association mencatat bahwa biaya transmisi listrik untuk turbin sekitar 3 kali lipat dari biaya transmisi listrik dari batu bara ataupun tenaga nuklir. (https://iea-etsap.org/E-TechDS/PDF/E12_el-t&d_KV_Apr2014_GSOK.pdf)
Dengan proyek boros biaya tersebut, General Electric mencatatkan kerugian selama 2 tahun terakhir pada proyek pembangkit listrik tenaga anginnya, sebesar USD 791 juta dan USD 715 juta. (https://www.ge.com/sites/default/files/ge_webcast_presentation_04272021.pdf?fbclid=IwAR0UZORY9l0bXZnjFzVPpbIL9F4ZLBTqqc0BF0SeLh5nZ32ZAfl-iGktZW0)
Itu belum seberapa.
Anda tahu Siemens? Anak perusahaan-nya Siemens Gamesa juga mencatatkan kerugian yang sama pada proyek spesialisasi turbin anginnya. Pada penutupan tahun fiscal di 2020 silam, perusahaan boncos lebih dari USD 1 miliar. (https://www.siemensgamesa.com/en-int/-/media/siemensgamesa/downloads/en/investors-and-shareholders/audited-annual-accounts/2020/siemens-gamesa-consolidated-annual-accounts-2020-en.pdf)
Artinya, proyek energi bersih bukan saja nggak ada cuannya, tapi malah mendatangkan kerugian yang sangat signifikan. Kalo sudah begini, siapa mau berinvestasi mengingat cuan adalah acuan yang dipakai investor?
Dengan adanya analisa ini, saya hanya mau katakan bahwa energi hijau itu nggak seindah yang dibayangkan. Ini tataran teknis yang butuh analisa mandalam sebelum di-implementasikan.
Kalo belum-belum saja sudah menunjukkan gejala nggak layak untuk dijalankan, ngapain dipaksakan?
Saya jadi teringat kata-kata Prof. David Rothkopf dari Johns Hopkins University, “Pengenalan yang luas atas energi alternatif baru, akan memacu orang untuk mendapatkan sumber daya tersebut, sehingga dapat menjerumuskan dunia ke dalam konflik baru.” (https://alternativenergy.ru/energiya/428-problemy-alternativnoy-energetiki.html)
Silakan anda terjemahkan sendiri apa maksud dari pernyataan tersebut.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments