Model Demokrasi Ndoro Besar di Asia


528

Model Demokrasi Ndoro Besar di Asia

Oleh: Ndaru Anugerah

Bagaimana pandangan kartel Ndoro besar pada kepemimpinan Soeharto?

Tentang ini saya pernah bahas dengan tuntas pada 3 tulisan seri. Secara umum, Soeharto adalah pembuka jalan kartel Ndoro besar untuk menancapkan ‘kuku-kukunya’ di Indonesia guna mengeruk semaksimal mungkin hasil tambangnya. (baca disini, disini dan disini)

Namun kali ini saya akan coba ulas berdasarkan pandangan yang diberikan oleh jurnalis kondang, Shane Quinn. Menurut Quinn, AS sengaja membuka jalan bagi Soeharto untuk dapat mengambil alih kekuasaan di Indonesia yang sarat SDA. (https://theduran.com/iran-a-democratic-haven-compared-to-western-backed-dictatorships/)

Tentu saja upaya AS dalam memasang ‘boneka-nya’ di Indonesia bukan dengan damai, tapi lewat pembunuhan massal yang merupakan proyek pembersihan anasir Komunis di Asia Tenggara.

Setelah naiknya Soeharto, secara bersautan pujian diberikan kepadanya mulai dari para pemimpin Barat, surat kabar, hingga para pengamat. Bahkan di tahun 1967, Presiden Lyndon B. Johnson yang berkuasa di AS mengatakan, “Rezim Soeharto memiliki potensi yang besar.” (https://www.cambridge.org/core/books/united-states-and-rightwing-dictatorships-19651989/4798163AF365CE6B2B1E202EBC608922)

Presiden Johnson juga meyakinkan bahwa Indonesia di bawah Soeharto adalah satu dari sedikit tempat di dunia yang telah bergerak di jalan yang tepat (mendekat ke AS). Nggak aneh jika Soeharto dipuji karena sikap tegasnya, berhasil menjaga stabilitas dan tentu ini merupakan pencapaian yang ‘sangat luar biasa’.

Jika kemudian ada istilah Soeharto adalah bapak pembangunan, ini memang pesan yang mau disampaikan. Seakan-akan dengan kata ‘pembangunan’ semua masalah selesai karena itu yang sesungguhnya dibutuhkan rakyat. Nyatanya, siapa juga yang nggak bisa membangun dari hasil utang?

Dukungan yang diberikan AS pada Soeharto bukan hanya sebatas complimentary. Terlebih lagi, Johnson kemudian kasih ‘jaminan’ kepada kediktatoran Soeharto untuk bisa terus berlanjut, dengan satu syarat bahwa dirinya harus ‘nurut’ apa yang harus dilakukan.

Menjadi lumrah jika wapres Johnson, Hubert Humphrey kemudian melaporkan kepada Dewan Keamanan Nasional AS setelah kunjungan ke Indonesia bahwa Soeharto adalah sosok pekerja keras yang jujur, karena mendapatkan karakter tersebut melalui pelatihannya di Fort Leavenworth yang ada di Kansas, AS.

“Para pemimpin militer di Indonesia lainnya, telah menunjukkan ‘manfaat besar’ dari pelatihan militer mereka di AS,” ungkap Humphrey. Tentu saja ‘manfaat besar’ yang dimaksud adalah praktik cara-cara represif dalam menangani gejolak yang ada di masyarakat, agar kondisinya bisa ‘aman terkendali’.

Benar saja, dukungan AS selepas Johnson yang kemudian digantikan Nixon, terus berlanjut kepada sosok Soeharto. Ini bisa terjadi karena konsesi tambang di Indonesia oleh kartel Ndoro besar dapat terus dijalankan, dan karenanya wajar jika Soeharto mendapatkan ‘hadiah’ kecil atas kesetiannya kepada sang Ndoro besar.

Jangan kaget jika Henry Kissinger selaku penasihat keamanan nasional AS, lantas menegaskan bahwa rezim Soeharto punya tanggungjawab besar dalam menjaga doktrin Nixon pada negara-negara di Asia, dalam mendapatkan bantuan ekonomi dan juga bantuan militer. (https://www.britannica.com/event/Nixon-Doctrine)

Sebagai gantinya, media mainsteam akan mengekspos keberhasilan pembangunan atas Indonesia yang dilakukan Soeharto, meskipun nggak sedikit pelanggaran HAM yang telah dilakukannya. Coba anda periksa data: adakah maedia mainstream (khususnya Barat) yang menyudutkan Soeharto saat dirinya berkuasa?

Yang anda temukan pada media mainstream terhadap kepemimpinan Soeharto hanyalah pujian dan bukan cacian. “Harapan Dimana Dulu Tidak Ada”, demikian frase yang umum digunakan. (https://muse.jhu.edu/article/431504/pdf)

New York Times pakai istilah lain sebagai bentu parafrase, “Soeharto berkuasa di tengah pertumpahan darah 1960an.” Lha yang buat pertumpahan darah tuh siapa, Bambang? (http://dwardmac.pitzer.edu/anarchist_archives/chomsky/powerandprospects.pdf)

Barry Wain selaku jurnalis di Wall Street Journal kasih Soeharto julukan sebagai ‘Seorang Tokoh Stabilitas’ yang bergerak secara berani dalam mengkonsolidasikan kekuasaannya. Siapa juga yang berani bertindak kalo ada ‘backing’-an? (https://library.uniteddiversity.coop/More_Books_and_Reports/Noam_Chomsky-5_books.pdf)

The Economist selaku outlet media mainstream sang Ndoro yang ada di London juga nggak kala set, dengan menyatakan bahwa Soeharto sebagai sosok yang ‘tidak berbahaya’, setidaknya terhadap aksi eksploitasi perusahaan-perusahaan multinasional. (https://ecommons.cornell.edu/bitstream/handle/1813/54150/INDO_66_0_1106954794_1_6.pdf?sequence=1)

Bahkan majalah Time yang berkantor di New York meyakinkan jutaan pembacanya bahwa kehadiran sosok Soeharto sebagai seorang diktator sebagai berita terbaik Barat yang ada di Asia. (https://apjjf.org/Peter-Dale-Scott/4307.html)

Luar biasa fabrikasi opini publik yang dilakukan.

Singkatnya, dibawah Soeharto maka Indonesia ekonominya tumbuh kuat dan pembangunan dapat dilaksanakan dengan baik. Inilah model negara demokratis di Asia yang selalu dibanggakan Barat.

Barulah setelah sang diktator meninggal, NYT mulai berani buka suara dengan menulis bahwa Soeharto adalah sosok pembunuh massal yang berbicara dengan nada lembut, tersenyum manis kepada teman maupun musuh. Dulu kemana aja, Paijo? (https://www.nytimes.com/2008/01/28/world/asia/28suharto.html)

Dan karena jasa-jasanya kepada sang Ndoro besar, Soeharto nggak pernah diadili atas kejahatan besar yang dilakukannya. Bahkan dia meninggal karena sebab alami di usianya yang 86 tahun dengan warisan kekayaan ditaksir mencapai USD 15 miliar.

Coba bandingkan sosok Soeharto dengan Muammar Qadaffi atau Saddam Hussein, maka akan terlihat kontrasnya. Padahal keduanya juga pernah menjalin ‘kemesraan’ dengan AS, sampai akhirnya mengusik ketenangan bisnis kartel sang Ndoro besar dan akhirnya disingkirkan.

Maksud saya: berapa banyak korban meregang nyawa yang dibuat kedua tokoh tersebut? Adakah lebih banyak ketimbang Soeharto? Apakah Indonesia lebih makmur dari Libya saat kedua tokoh masih berkuasa?

Pesan yang hendak disampaikan adalah: kalo anda jadi jongos sang Ndoro, jadilah jongos yang baik dan setia. Dan Soeharto adalah contoh yang paling nyata.

Setidaknya, setelah sukses menjalankan model demokrasi sang Ndoro besar di Asia, selepas lengser Soeharto, toh dirinya tetap aman-aman saja, bukan?

Dan sepertinya, langkah yang sama kini sedang diambil oleh lurah Wakanda.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!