1965: Ketika Kotak Pandora Terbuka (*Bagian 3)


539

1965: Ketika Kotak Pandora Terbuka (*Bagian 3)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama dan kedua tulisan, saya telah mengulas bagaimana peran intelektual dan tentara dalam menyukseskan agenda AS untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. (baca disini dan disini).

Beberapa ada yang tanya, mengapa saya tidak membahas detil peristwa kudeta 1965?

Seperti sudah saya jelaskan, bahwa tulisan yang saya turunkan saat ini memakai analisa yang dibuat ooleh David Ransom, dimana dia tidak membahas secara rinci ikhwal peristiwa di penghujung September 1965 tersebut.

Kalo anda tertarik, saya pernah ulas tentang hal itu beberapa tahun yang lalu, agar anda tahu benang merah peristiwanya seperti apa. (baca disini)

Kita lanjut, ya.

Menurut David Ransom, di Bandung, beberapa bulan sebelum kudeta, latihan para militer mahasiswa santri ditingkatkan oleh Divisi Siliwangi. Inilah yang kelak dijadikan ujung tombak dalam pembunuhan massal terhadap anggota PKI dan simpatisannya, utamanya di daerah pedesaan.

John Hughes selaku korensponden Christian Science Monitor for Asia menyatakan bahwa pada saat pemakaman putri Jenderal AH Nasution, Panglima AL Martadinata menyatakan kepada para mahasiswa santri untuk ‘menyapu bersih’ anggota PKI dan simpatisannya. (https://la.utexas.edu/users/hcleaver/357L/357LRansomBerkeleyMafiaTable.pdf)

Bahkan Kol. Sarwo Edhi Wibowo sengaja memindahkan pasukan RPKAD-nya ke daerah segitiga Boyolali, Klaten dan Solo yang dikenal sebagai basis PKI di Jawa Tengah. Menurut Hughes, karena kekurangan personil, terpaksa Kol. Sarwo Edhi mengumpulkan pemuda-pemuda Nasionalis dan Islam guna mengeksekusi rencana tersebut.

“Kita latih barang 2 hingga 3 hari, kemudian kita kirim mereka untuk membunuh orang-orang komunis,” begitu ungkap Hughes mengutip Kol. Sarwo. Walhasil operasi ini sukses membunuh sekitar 1 juta orang, ungkap Frank Palmos dari majalah Time.

Tentang kisah pembantaian ini, saya akan turunkan pada lain tulisan, mengingat yang dikisahkan Ransom dirasa kurang cukup detil.

Singkat cerita, begitu gerakan kiri berhasil disapu habis, maka para kader Soemitro, anggota KAMI dan pimpinan AD mengadakan seminar selama seminggu di FE UI pada Januari 1966. Seminar yang memperdengarkan makalah-makalah yang ditulis oleh Jenderal Nasution, Adam Malik dan para tokoh lainnya, bertujuan untuk menerapkan kebijakan ekonomi baru yang berkiblat ke AS.

Setelah menon-aktifkan Soekarno di Maret 1966, Soeharto mengangkat dirinya sebagai pejabat presiden. Agar punya dukungan politis, Soeharto mengajak Adam Malik dan Sultan Jogja untuk duduk bersamanya dalam pemerintahan 3 serangkai.

Dan pada 12 April 1967, Sultan Jogja mengeluarkan pernyataan politik yang sangat penting berupa garis besar program ekonomi baru yang ditulis oleh Widjojo dan Sadli. Apa yang dimaksudkan dengan kata ‘baru’? Nggak lain adalah kembalinya Indonesia ke pangkuan imperialis.

Kebijakan yang dibuat atas arahan Kedubes AS tersebut, kelak dijadikan acuan bagi UU PMA di Indonesia. Dan begitu UU tersebut rampung, Soeharto menunjuk 5 orang paling top dari FE UI sebagai Tim Ahli untuk Bidang Ekonomi dan Keuangan di pemerintahannya pada September 1967.

Pada tataran teknis, para kader Soemitro yang dikenal sebagai Mafia Berkeley tersebut, diberikan tanggungjawab untuk membentuk Kabinet Pembangunan di kepemimpinan Soeharto. Nggak aneh jika pada posisi menteri strategis di bidang perekonomian nasional, semuanya diisi oleh Soemitro dan para kadernya.

Widjojo Nitisastro ditunjuk sebagai Ketua Bappenas. Sebagai wakilnya, ditunjuk Emil Salim. Ali Wardhana ditunjuk sebagai menteri keuangan. Sadli ditunjuk sebagai ketua PMA. Sedangkan Soemitro sendiri ditunjuk sebagai menteri perdagangan. Sempurna sudah.

Dalam membantu tugas para menteri strategis tersebut, Ford Foundation menerjunkan tim ahli ekonomi dari Harvard yang bernama Development Advisory Service (DAS) sebagai penasihat ekonomi pembangunan baru ala Amrik bagi Indonesia.

Kalo anda tahu tentang REPELITA alias Rencana Pembangunan Lima Tahun yang dibesut oleh pemerintahan Orde Baru, DAS-lah pihak yang sesungguhnya menelorkan konsepsi tersebut. “Kami adalah orang yang berada di balik layar,” ungkap seorang anggota tim DAS.

Tanpa banyak publikasi, akhirnya tahap pertama program Repelita mulau dieksekusi pada Januari 1969 dengan elemen utama yaitu PMA dan juga swasembada hasil pertanian.

Dengan berlakunya PMA sebagai dasar Repelita, maka dimulailah era penjarahan besar-besaran pada SDA strategis yang ada di Indonesia, dari mulai Sulphur, Nikel, Bauksit, Timah, Minyak hingga Emas.

Selain SDA, modal Indonesia lainnya adalah SDM yang terkenal murah. Sebuah perusahaan elektronik dari California bahkan sempat mengatakan, “Indonesia saat ini merupakan pusat tenaga buruh rakitan terbesar di dunia yang terbilang cukup terampil namun dengan upah yang rendah.”

Itu di bidang PMA. Lalu bagaimana dengan program swasembada hasil pertanian?

Pihak IPB yang dijadikan eksekutornya. Sebagai informasi banyak ilmuwan IPB yang telah mendapatkan beasiswa untuk belajar di Universitas Kentucky yang dibiayai oleh AS. Setelah mendapatkan ‘ilmu’ di Amrik sana, para ilmuwan tersebut menerapkannya di Indonesia.

Jadi para petani diharuskan membeli bibit dan pupuk dari dinas pertanian setempat dibawah arahan ilmuwan IPB. Setelah berasnya dipanen, maka para petani wajib menjualnya hanya kepada mereka, nggak boleh ke pihak yang lain.

Bagaimana jika para petani menolak?

Maka mereka akan dengan mudah dicap sebagai penghambat program pembangunan nasional atau malah dicap sebagai antek-antek PKI. Dan kalo sudah begini maka tentara sah-sah saja untuk menindaknya atas nama stabilitas nasional.

Tentu anda sudah tahu kelanjutan kisahnya, bukan?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!