Proyek Khilafah


508

Proyek Khilafah

Oleh: Ndaru Anugerah

Kenapa hampir semua gerakan terorisme internasional punya suara yang sama untuk pembentukkan sistem khilafah di dunia? Adakah alasan yang melatar belakanginya?

Untuk membahas ini anda perlu tahu dahulu, apa itu Global War On Terrorism (GWOT) yang dibesut oleh AS saat pemerintahan Bush, setelah serangan teror 911. (baca disini dan disini).

Intinya, isu terorisme merupakan alat legitimasi AS untuk mengacak-acak suatu negara berdaulat. Kalo suatu negara nggak sesuai dengan garis kebijakan Washington, maka negara tersebut akan dengan mudahnya dicap sebagai negara sponsor terorisme. Afghanistan, Irak dan Suriah adalah beberapa contohnya.

Selain itu juga, GWOT juga jadi landasan militer AS untuk mengintervensi suatu negara, dengan asumsi untuk memerangi terorisme di seluruh dunia. Misalnya, di suatu negara ada serangan bom, maka AS akan bisa intervensi dengan dalih untuk memerangi terorisme di negara tersebut.

“Ancaman terorisme di seluruh dunia adalah nyata. Kami memang menentang perang, tapi kami mendukung perang global melawan terorisme,” begitu kurleb slogan yang kerap didengung-dengungkan AS.

Namun satu yang pasti. ISIS yang beroperasi di Suriah dan Irak, nyatanya didukung dan dibiayai penuh oleh AS dan sekutunya, termasuk Turki, Arab Saudi dan Qatar. (https://russiancouncil.ru/en/syria-extremism)

Bukan itu saja. laporan Defense Intelligence Agency (DIA) di tahun 2012, juga mengkonfirmasi bahwa AS dan sekutunya mendukung keberadaan ISIS dalam memperjuangkan negara khilafah. (http://www.judicialwatch.org/wp-content/uploads/2015/05/Pg.-291-Pgs.-287-293-JW-v-DOD-and-State-14-812-DOD-Release-2015-04-10-final-version11.pdf)

Nggak aneh jika proyek kekhalifahan ala ISIS (dan organisasi teroris lainnya), selaras dengan agenda AS untuk memecah Irak dan Suriah menjadi beberapa wilayah berdasarkan mazhab dan suku, seperti Khilafah Islam Sunni, Republik Arab Syiah, dan Republik Kurdistan.

Kok bisa sama tujuannya? Ya karena pendananya adalah pihak yang sama. Nggak aneh kalo slogannya juga sama, walaupun dibalut dengan dalil agama sekalipun. (baca disini)

Lalu bagaimana ISIS bisa terbentuk?

Adalah Abu Bakar al-Baghdadi yang pertama memproklamirkan terbentuknya negara Islam Irak dan Syam alias ISIS pada 29 Juni 2014. Baghdadi mendeklarasikan ISIS karena ingin menarik simpati kaum Muslimin di seluruh dunia, dengan mengusung gerakan khilafah-nya. (https://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/middleeast/10935790/Abu-Bakr-al-Baghdadi-The-worlds-most-wanted-man.html)

Jika kita menilik ke belakang, maka pada tahun 2004 AS sudah lama memprediksi akan munculnya gerakan ke-khalifahan di Mediterania Barat ke Asia Tengah dan Asia Tenggara.

Gerakan ke-khalifahan akan bangkit pada 2020 dan akan mengancam demokrasi dan nilai-nilai Barat,” begitu ungkap National Inteligence Council (NIC) pada laporannya yang berjudul ‘Memetakan Masa Depan Global’. (http://www.futurebrief.com/project2020.pdf)

Apakah AS demikian canggihnya sehingga bisa meramalkan masa depan global akan bahaya terorisme? Pasalnya dalam laporan NIC setebal 123 halaman tersebut, nggak dicantumkan analisis historis dan geopolitik sebagai acuannya.

Terus darimana muasalnya ramalan tersebut?

Selidik punya selidik, ternyata ada sepucuk surat (fiktif) yang ‘katanya’ ditulis oleh cucu Bin Laden ke kerabatnya tentang rencana pembentukkan kekhalifahan. Dikatakan dalam surat tersebut, bahwa perjuangan khalifah dalam merebut kendali dari rezim tradisional akan menyatukan dunia muslim dalam satu wadah besar. Ya tentu saja, khilafah Islamiyah yang dimaksud.

Parahnya, laporan NIC tersebut disebar tidak hanya di Gedung Putih, Kongres dan Pentagon, tapi juga disebar ke sekutu-sekutu AS (NATO), dengan kode: ancaman yang berasal dari dunia Islam. Apa tujuannya selain membuat komunitas internasional percaya, bahwa laporan yang dibuat NIC tersebut layak untuk dipercaya.

Apa yang mendasari skenario ke-khalifahan tersebut?

Nggak lain adalah grand scenario berjudul Clash of Civilizations yang dirancang oleh Samuel P. Huntington di tahun 1996. “Seiring dengan berakhirnya Perang Dingin, maka Barat akan punya musuh bersama yang bernama Islam,” begitu kurleb isi buku Huntington. (https://www.stetson.edu/artsci/political-science/media/clash.pdf)

Jadi kalo AS turut campur dalam memberantas terorisme di seluruh dunia, maka akan ada pembenarannya lewat skenario Huntington tersebut. “Masa iya melawan terorisme nggak dapat dukungan publik?” (https://online.ucpress.edu/caa/article/11/4/135/25798/Clash-of-Civilizations-at-Twenty-FiveReappraising)

Mulai paham skenario-nya bukan?

Jangan heran bila dokumen NIC dijadikan acuan bagi AS dalam melawan terorisme di seluruh dunia. “Ke-khalifahan tidak akan mengurangi kemungkinan terorisme malah akan memicu banyak konflik baik di negara muslim apalagi di negara non-muslim,” begitu kurleb isi dokumen tersebut.

Jadi kalo bicara terorisme, maka mata dunia langsung tuding dunia Islam sebagai biang keroknya. Padahal nyatanya kan, nggak begitu. Sejak kapan dunia Islam identik dengan konsep terorisme yang dikembangkan AS?

AS bisa-bisa saja merancang skenario sempurna untuk menjalankan rencana besar GWOT yang dimilikinya di seluruh dunia.

Namun AS lupa satu hal, bahwa sebaik-baiknya kentut disimpan, maka baunya cepat atau lambat akan tercium juga.

Apa maksudnya?

Adalah bukti bahwa intelijen AS terhubung dengan MI6 Inggris dan Mossad Israel dalam membidani dan mendukung terorisme dan proyek ke-khalifahan secara terselubung. (https://www.gospanews.net/en/2019/08/06/al-baghdadi-issi-caliph-and-cia-agent-hidden-by-us/)

Lantas, apakah kita masih percaya pada slogan ‘tegakkan khilafah’ yang diusung oleh organisasi trans-nasional, yang selama ini jadi proxy AS?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!