Siapa Bermain?
Oleh: Ndaru Anugerah
“Bang, kenapa pemerintah Tiongkok mengeluarkan kebijakan Zero Covid Policy (ZCP)? Bukankah itu mendukung rencana The Great Reset sang Ndoro besar?” tanya seorang netizen.
Pertanyaan bagus. Saya akan coba menjawabnya.
Seperti yang kita ketahui bersama, otoritas Tiongkok, menerapkan kebijakan ZCP pada wilayah Shanghai pada April 2022 silam. Setelah itu, kebijakan tersebut diperluas ke daerah kota-kota besar lainnya di China. (https://www.theguardian.com/world/2022/apr/29/china-xi-jinping-zero-covid-lockdown-vaccination)
Implikasi kebijakan ZCP, menuntut lockdown diberlakukan yang berakibat penutupan sekolah-sekolah, universitas, acara olahraga dan budaya, hingga membatasi orang untuk bekerja.
Apa alasan diberlakukannya lockdown?
Data yang dikeluarkan Komisi Kesehatan Nasional China pada Juli 2022, yang jadi rujukan. Tercatat 306 kasus baru tanpa gejala, dan 46 kasus bergejala. Total jendral ada 352 kasus. (https://ca.finance.yahoo.com/news/1-shanghai-braces-more-mass-040242739.html)
Masalahnya, penduduk China 1,45 milyar sehingga angka 352 kasus tidaklah signifikan untuk diberlakukannya lockdown.
Itu yang pertama.
Selanjutnya, alat ukur untuk menetapkan seseorang terpapar Kopit (PCR) atau tidak, bukanlah alat ukur yang reliabel. Bahkan untuk membedakan seseorang terkena Kopit atau flu, PCR gagal melakukannya. (baca disini dan disini)
Dan terlebih lagi, Kopit yang digembar-gemborkan, bukanlah penyakit yang mematikan. (baca disini dan disini)
Lalu, ngapain melakukan lockdown? Apakah mungkin mencapai status nol Kopit dengan memberlakukan ZCP?
Itu terlalu retorik untuk ditanyakan.
Sekarang kita lihat, apakah dampak yang ditimbulkan dari diberlakukannya ZCP.
Yuan anjlok pada akhir April 2022 silam, dengan penurunan sekitar 4% terhadap Dollar AS. (https://www.scmp.com/economy/economic-indicators/article/3176019/chinas-yuan-down-almost-4-cent-against-us-dollar-april)
Seakan nggak mau kalah set, akibat pemberlakuan lockdown jilid 2, Produk Domestik Bruto (PDB) China anjlok lebih dari 20%. Ini mengakibatkan pasar saham Shanghai rontok pada 24 November 2022 silam. (https://economictimes.indiatimes.com/topic/Chinese-stock-market-crash)
Anda perlu tahu, bahwa tempat diberlakukannya lockdown seperti Shanghai, Guangzhou dan Shenzhen, merupakan pusat ekspor utama China ke pasar dunia. Implikasinya, rantai pasokan global akan barang-barang China, otomatis terganggu karena pusatnya di lockdown.
Sekedar informasi, bahwa yang namanya Made in China, merupakan salah satu tulang punggung perekonomian dunia. Coba anda cek produk-produk yang beredar di pasaran mulai dari pakaian, alas kaki barang elektronik hingga perangkat ponsel, bukankah mayoritas pabrikan Tiongkok?
Dengan pemberlakuan ini, secara nggak langsung China mendukung skenario The Great Reset yang diusung sang Ndoro besar karena mengakibatkan ekonomi global makin terpuruk.
Apakah skenario ini hanya terjadi secara kebetulan?
Silakan anda jawab sendiri.
Selanjutnya, dengan diberlakukannya ZCP, otoritas Tiongkok menerapkan kode kesehatan online (QR) kepada semua warganya sebagai alat kontrol sosial. (https://www.businessinsider.com/chinese-protestors-fear-covid-qr-code-monitor-them-2022-6?op=1)
Dan anehnya, lembaga think-tank AS sekelas CSIS malah memuji kebijakan tersebut dan mengharapkan agar kebijakan tersebut untuk bisa diadopsi secara global. (https://www.csis.org/blogs/trustee-china-hand/chinas-novel-health-tracker-green-public-health-red-data-surveillance)
Sekarang kita coba gali lebih dalam lagi, siapa yang bermain pada diberlakukannya status ZCP di China.
Status ZCP mendapat endorsement dari CDC China yang dipimpin oleh Dr. George Fu Gao alias Dr, Fu.
Dr. Fu merupakan salah satu peserta Event 201 sang Ndoro, yang membahas simulasi plandemi Corona global, yang diberlakukan tiga bulan sebelum plandemi Kopit digelar di tahun 2019 silam. (https://www.weforum.org/press/2019/10/live-simulation-exercise-to-prepare-public-and-private-leaders-for-pandemic-response/)
Dr. Fu yang merupakan alumni Oxford dan pernah bekerja pada Wellcome Trust (yang terkoneksi erat dengan Big Pharma), juga merupakan konco karib plus ‘anak didik’ Dr. Anthony Fauci NIAID yang ada di AS. (https://nypost.com/2021/06/01/fauci-told-chinese-official-they-would-get-through-this-together/)
Pertanyaannya: apakah seorang yang terkoneksi dengan kartel Ndoro besar, secara sengaja ditempatkan pada posisi strategis untuk mengambil kebijakan di China, yang selama ini dianggap poros perlawanan?
Sekali lagi, silakan anda yang menjawab pertanyaan tersebut.
Kalo anda kesulitan menjawabnya, saya kasih sedikit petunjuk.
Anda perlu tahu kalo China telah lama menjadi laboratorium sosial sang Ndoro besar. (baca disini, disini dan disini)
Sebagai implikasinya, maka banyak perusahaan multinasional yang terkoneksi dengan China mulai dari jaringan Big Pharma, Big Bank hingga Big Tech. Semua membutuhkan China yang akan diproyeksi menjadi negara maju menyaingi AS, suatu hari nanti.
Bukan itu saja, para akademinisi China juga mau nggak mau harus ‘dicetak’, agar punya kemampuan yang setara dengan akademisi yang ada di Amrik. Kelak, semua akademisi nggak mengandalkan bantuan teknis dari AS lagi.
Ada nama Akademi Ilmu Pengetahuan China (China Science Academy) hingga Sekolah Bisnis China, yang semuanya terkoneksi dengan institusi bergengsi Ivy League yang ada di AS. Bahkan beberapa kampus memiliki program MBA bersama untuk mempererat tali kerjasama. (https://english.cas.cn/about_us/)
Beberapa contohnya adalah Universitas Fudan, Shanghai yang menjalin kemitraan dengan MIT untuk program MBA, dan juga Universitas Beijing yang bermitra dengan Universitas Stanford. (https://www.fdsm.fudan.edu.cn/fdimba/fudan-mit_imba.html) (https://news.stanford.edu/2016/12/19/new-overseas-studies-china-new-director-cape-town/)
Contoh lainnya adalah program pascasarjana Sekolah Jurnalisme Universitas Tsinghua, yang didanai oleh Bloomberg dan juga lembaga perbankan Wall Street. (https://www.tsjc.tsinghua.edu.cn/en/info/1205/1319.htm)
Untuk apa AS menjalin kemitraan dengan China, yang katanya ‘musuh’ ideologinya?
Apakah hanya kebetulan juga jika banyak milyader di China (yang notabene-nya orang dalam PKC) yang kemudian menjadi tambah kaya karena adanya plandemi Kopit? (https://www.forbes.com/sites/giacomotognini/2021/04/06/meet-the-40-new-billionaires-who-got-rich-fighting-covid-19/?sh=16ba60517e54)
Kembali ke pertanyaan awal, apakah strategi ZCP yang diterapkan China, merupakan kejadian lepas atau justru merupakan rangkaian narasi yang sama dari sang Ndoro besar?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments