Sekali Lagi Soal Standar Emas Pengujian
Oleh: Ndaru Anugerah
“Bukankah test PCR sudah memenuhi standar emas pengujian, makanya dipakai sebagai alat yang dapat mendeteksi adanya virus SARS-CoV-2 pada tubuh seseorang?” tanya seorang netizen.
Plandemi sudah berjalan 2 tahun, kok pertanyaan yang diajukan malah mundur? Ini sudah beberapa kali saya ulas, bahkan diawal-awal plandemi. (baca disini, disini dan disini)
Jadi kalo sekarang pertanyaan usang dilontarkan kembali, relevan nggak sih untuk dijawab?
Saya kasih sebuah cerita. Di tahun 2020, ada 4 orang turis Jerman yang dikarantina secara ilegal di Portugal setelah satu orang dinyatakan positif Kopit (3 dinyatakan kontak dekat). Dengan kejadian ini, mereka menggugat ke pengadilan atas ketidakakuratan hasil test PCR terhadap diri mereka.
Singkat cerita, mereka menang di pengadilan dan membuat otoritas berwenang (dalam hal ini Otoritas Kesehatan Regional Azores) mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi. (https://www.portugalresident.com/judges-in-portugal-highlight-more-than-debatable-reliability-of-covid-tests/)
Lantas apa hasilnya?
Hakim di Portugal malah menguatkan keputusan pengadilan yang lebih rendah, yang menegaskan bahwa karantina paksa yang diberikan kepada keempat turis tersebut, TIDAK SAH.
Selain itu, pengadilan menyatakan bahwa test PCR nggak bisa digunakan secara luas karena hasilnya 97% nggak bisa diandalkan. Dengan kata lain, keandalan alat test PCR hanya 3% saja.
“Hanya dokter yang bisa mendiagnosis seseorang terkena penyakit, dan bukan alat PCR,” demikian ungkapnya. Memang sejak kapan diagnosis penyakit bisa diberikan pada alat dalam sejarah kedokteran? Aneh bin ajaib, bukan? (https://drive.google.com/file/d/1t1b01H0Jd4hsMU7V1vy70yr8s3jlBedr/view?fbclid=IwAR0L_Iu6wwIVfFlZpykLhDHroS12MHZqO533Uizzc-5ZfUUmALOOjY58he4)
Silakan anda baca laporan persidangan di atas, agar paham duduk masalahnya.
Pada laporan tersebut dengan jelas menyatakan: “Bukti ilmiah menyatakan tanpa keraguan bahwa hasil positif yang didapat, TIDAK DAPAT DIJADIKAN RUJUKAN bahwa seseorang terinfeksi virus SARS CoV-2.”
Hal lain yang perlu dicatat adalah: “Keandalan test bergantung pada jumlah siklus yang digunakan dan reliabilitas test bergantung pada viral load yang ada.”
Dengan kenyataan ini, bagaimana bisa dikatakan bahwa PCR telah memenuhi standar emas pengujian, karena sifatnya yang bergantung pada keadaan saat dipakai?
Sebelum melangkah lebih jauh, saya tanya lagi ke anda: apakah test PCR telah memenuhi standar emas pengujian? Silakan anda jawab sendiri.
Kita lanjut pada simpulan yang diberikan oleh pengadilan tinggi Portugal soal alat test Kopit tersebut. Dikatakan bahwa test PCR bergantung pada jumlah siklus yang digunakan dan keandalannya bergantung pada jumlah virus yang ada.
Aliasnya, test PCR bisa disetting sesuai ‘permintaan’.
Bagaimana mungkin ini bisa dilakukan?
Dengan mengatur jumlah putaran alias CT (cycle threshold) sesuai keinginan. Kalo mau jumlah viral load-nya banyak, maka nilai CT-nya tinggal dinaikkan. Begitupun sebaliknya. Aliasnya, jumlah putaran (amplifikasi) pada alat (nilai CT-nya), akan mempengaruhi jumlah virus yang didapatkan.
Padahal berkali-kali sang penemu PCR, Dr. Kary Mullis menyatakan bahwa PCR adalah alat pengganda dan bukan alat pendeteksi virus. “PCR adalah alat ukur yang bersifat kualitatif. Jadi penggunaannya sebagai kaji kuantitatif adalah oxymoron,” ungkapnya semasa hidup. (baca disini)
Satu hal lagi, dengan melakukan test PCR, alat tersebut dapat mengambil fragmen virus alias virus yang sudah nggak ada lagi dalam tubuh seseorang.
Gampangnya gini: kalo anda positif Kopit dan sembuh total, dan 3-4 minggu kemudian di test PCR kembali, maka anda bisa mendapatkan hasil positif kembali.
Kok bisa begitu?
Karena alat test tersebut, nggak bisa membedakan antara virus hidup ataupun virus mati (fragmen virus). Jadi kalo yang kemudian didapatkan lewat prosedur swab adalah fragmen virus yang kemudian digandakan lewat CT, hasil positif bisa anda dapatkan, meskipun anda nggak punya Kopit dalam tubuh anda. (https://weltwoche.ch/story/warum-alle-falsch-lagen/)
Bahkan Dr. Pascal Sacre juga menyatakan hal yang kurleb sama, “Test PCR ini dapat mendeteksi partikel virus beserta urutan genetiknya tapi bukan virus utuh yang lengkap.” Apa namanya kalo bukan fragmen virus?
Belum lagi kenyataan di lapangan, dalam upaya mengukur viral load si Kopit, sangat rentan terjadi kesalahan dan kontaminasi. (https://actascientific.com/ASMI/pdf/ASMI-01-0016.pdf)
Coba anda lihat video investigasi yang dilakukan oleh BBC soal kontaminasi yang terjadi saat test PCR diolah di laboratorium yang ada di Inggris. (https://www.youtube.com/watch?v=hAOsZYhs-1o)
Kesimpulannya, test PCR sangat tidak akurat untuk digunakan. Bahkan penemunya sendiri (Dr. Kary Mullis) menyatakan bahwa alatnya bersifat kualitatif dan bukan kuantitatif.
Jadi mana bisa mengukur jumlah virus yang didapat dengan memakai sistem putaran (CT), kemudian digunakan untuk memvonis seseorang terkena Kopit?
Sudah tahu nggak akurat, kenapa WHO malah menganjurkan dan berkeras bahwa PCR adalah alat uji Kopit yang sudah memenuhi standar emas pengujian?
Silakan anda baca ulasan saya tentang Dr. Christian Drosten, dan anda akan tahu apa alasannya. (baca disini)
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments