Studi Kontroversial Drosten


520

Studi Kontroversial Drosten

Oleh: Ndaru Anugerah

“Bang, kenapa sih kita bisa ikutan pandemi? Memang apa yang mendasari kita bisa masuk status pandemi atau nggak?” demikian pertanyaan yang dilayangkan ke saya.

Sebenarnya ini pertanyaan lawas yang sudah saya bahas diawal-awal pandemi. Tapi karena sudah ditanya, saya akan jawab dengan kasih beberapa informasi baru.

Bagaimana status pandemi dinyatakan oleh WHO selaku pemangku otoritas kesehatan dunia? Dengan menggunakan perangkat yang dapat dijadikan pembenaran dalam menetapkan status pandemi. Dan perangkat tersebut adalah test RT-PCR.

Dengan menggunakan PCR, maka seseorang akan dapat dinyatakan positif terkena Kopit. Berikutnya, hasil tabulasi case by case dijadikan rujukan untuk status pandemi. Jadi PCR-lah yang menjadi biang kerok ditetapkannya status pandemi.

Lalu, kenapa bisa pakai PCR? Siapa yang mengusulkannya kepada WHO untuk dipakai secara global?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, anda perlu tahu apa itu PCR. Apa betul PCR dapat mendeteksi virus Kopit?

Ahli imunologi kondang asal Swiss, Prof. Beda Stadler menyatakan, “Jika kita menggunakan test Corona PCR, yang terdeteksi itu bukan virus, melainkan sebagian keccil genom virus yang sudah hancur. Hasil akan terus positif, selama fragmen virus masih ada, meskipun virus-nya sudah tidak lagi ada. Ini dimungkinkan karena alat PCR terus menggandakan fragmen virus tersebut.” (https://www.weltwoche.ch/ausgaben/2020-24/inland/warum-alle-falsch-lagen-die-weltwoche-ausgabe-24-2020.html)

Dr. Pascal Sacre juga menyatakan hal yang kurleb sama. “Test PCR hanya mendeteksi partikel virus, urutan genetik, tapi bukan virus secara keseluruhan,” ungkapnya. (https://www.globalresearch.ca/covid-19-closer-to-the-truth-tests-and-immunity/5720160)

Jadi, hasil RT PCR positif nggak identik dengan seseorang berpenyakit Kopit. Bahkan spesialis PCR mengatakan bahwa hasil test harus disandingkan deengan catatan klinis pasien yang diuji untuk menentukan kehandalannya. (https://www.revmed.ch/RMS/2007/RMS-106/32181)

Lantas kenapa test PCR nekat dipakai sebagai rujukan oleh WHO?

Pada tanggal 23 Januari 2020 silam, Dr. Christian Drosten dan rekannya di Institut Virologi Berlin menerbitkan hasil penelitian pada Eurosurveillance yang berjudul: “Detection of 2019 novel coronavirus (2019-nCoV) by real-time RT-PCR.” (https://www.eurosurveillance.org/content/10.2807/1560-7917.ES.2020.25.3.2000045)

Apa isi penelitian yang dilakukan Drosten?

“Urutan genom menunjukkan adanya virus CoV… namun isolat virus atau sampel dari pasien yang terinfeksi tidak tersedia.” (In the present case of 2019-nCoV, virus isolates or samples from infected patients have so far not become available to the international public health community.) (https://www.eurosurveillance.org/content/10.2807/1560-7917.ES.2020.25.3.2000045#r4)

Nah, kalo isolat virusnya nggak ada alias belum berhasil dilakukan, bagaimana mungkin test PCR bisa digunakan sebagai rujukan? (baca disini dan disini)

Tanpa pikir panjang, studi Drosten yang didukung penuh oleh Gates Foundation tersebut langsung diajukan ke WHO dan kemudian dilegalkan sebagai alat untuk menguji seseorang terinfeksi virus Kopit atau nggak, meskipun indentitas virusnya tidak diketahui. (https://www.gatesfoundation.org/How-We-Work/Quick-Links/Grants-Database/Grants/2020/03/INV-005971)

Namun, karena dianggap kontroversial, sebanyak 23 pakar virologi dan mikrobiologi internasional kemudian menggugat test yang didorong oleh Drosten tersebut di seluruh dunia, pada 27 November 2020 silam.

Ini dilakukan karena test-nya dinilai mengandung cacat ilmiah yang fatal.

Salah satunya adalah penggunaan ambang batas putaran alias Cycle Threshold (CT) yang direkomendasikan hingga amplifikasi 45.

Padahal menurut Pieter Borger dkk, “Jumlah siklus amplifikasi harus kurang dari 35; sebaiknya 25-30 siklus. Dalam kasus deteksi virus > 35 siklus, hanya mendeteksi sinyal yang tidak berkorelasi dengan virus menular.” (https://cormandrostenreview.com/report/)

Selain itu, Borger menambahkan, “Jika seseorang diuji dengan PCR dan hasilnya positif dengan menggunakan ambang batas siklus (CT) ≥ 35, maka kemungkinan orang tersebut terinfeksi hanya 3% dan sisanya (97%) merupakan positif palsu.”

Gimana nggak fatal, coba? Karena selama ini, WHO pakai acuan studi Drosten dengan CT mencapai 45. Dengan metode yang ngawur tersebut, maka hasil yang didapat wajib dianulir karena nggak sesuai dengan aturan yang berlaku secara baku.

Tambahan lagi, virus SARS-CoV-2 juga belum diidentifikasi melalui test tersebut, sehingga hasilnya jauh dari valid.

Apakah keberatan yang diajukan oleh 23 pakar tersebut nggak mendapat respon dari WHO?

Nggak juga.

Di akhir Januari 2021 silam, WHO ‘mengakui’ bahwa test PCR berpotensi menghasilkan sesuatu yang bias jika dilakukan di atas ambang batas siklus yang digunakan untuk amplifikasi. (https://www.who.int/news/item/20-01-2021-who-information-notice-for-ivd-users-2020-05)

Menurut WHO, hasil test yang dilakukan oleh banyak negara bersifat cacat dan perlu pengujian ulang. “Ambang batas siklus (CT) yang diperlukan untuk mendeteksi virus berbanding terbalik dengan viral load dari pasien.” (https://www.who.int/publications-detail-redirect/diagnostic-testing-for-sars-cov-2)

Pada tataran teknis, jika hasil test PCR tidak sesuai dengan presentasi klinik, maka spesimen baru harus diambil kembali dan dilakukan pengujian ulang dengan menggunakan teknologi NAT yang sama atau yang berbeda.

WHO juga mengingatkan bahwa jika prevalensi penyakit dapat mengubah nilai prediksi hasil test.

Dengan kata lain, jika prevalensi penyakit menurun, maka risiko hasil positif palsu dapat meningkat. Jadi, misalnya anda di test dan hasilnya positif, tapi disaat yang sama jumlah kasus menurun, maka hasil test tersebut wajib dianulir. (baca disini)

Jangan lupa, bahwa WHO mengatakan test PCR hanya dijadikan alat bantu diagnosis, bukan penentu seseorang positif Kopit atau nggak. Jadi hasilnya harus dibandingkan dengan pengamatan klinis, riwayat pasien dan sebagainya, atau dalam istilah medis disebut dengan ‘tanda dan gejala’.

Kalo sudah begini, kenapa prosedurnya nggak diubah walaupun ada ‘memo’ khusus dari WHO, secara khusus di Wakanda?

Apakah status pandemi harus terus digelar agar ada ‘proyek’ yang bisa dimainkan?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!