Saat Testnya Nggak Lagi Relevan


524

Saat Testnya Nggak Lagi Relevan

Oleh: Ndaru Anugerah

Apa yang bisa memperpanjang pandemi si Kopit? Banyak tentunya. Dan yang paling pemting adalah penggunaan PCR sebagai alat test penentu seseorang terkena Kopit atau tidak.

Bahkan di Wakanda, wakil lurahnya kasih sampai kasih pernyataan, “Perbanyak test PCR, jangan yang lain.” Artinya dia sampai percaya segitunya dengan alat test tersebut, yang dianggap paling handal sedunia. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210722111212-20-670720/wapres-maruf-amin-minta-kurangi-antigen-perbanyak-pcr)

Nyatanya, apa yang dianggapnya benar nggak seindah kenyataan. PCR justru mendatangkan masalah saat digunakan sebagai penentu seseorang positif atau nggak, karena alat tersebut nggak memenuhi standar emas dalam pengujian. (baca disini, disini, dan disini)

Walhasil, sekelas WHO-pun terpaksa merevisi penggunaan alat tersebut.

Kenapa direvisi?

Karena alatnya nggak ajeg saat digunakan. Makanya perlu direvisi penggunaannya. Bahasa sederhananya: ngaco. (baca disini)

Dan yang terbaru adalah rencana penarikan penggunaan alat tersebut oleh CDC di AS sana.

Secara malu-malu, CDC akhirnya menarik kembali permintaannya ke FDA ikhwal penggunaan PCR sebagai alat deteksi Kopit yang bersifat darurat tersebut.

Kalo ditarik? Lalu dalam deteksi Kopit digunakan apa sebagai penggantinya?

CDC mengadopsi metode multipleks yang kelak akan dapat memfasilitasi deteksi dan diferensiasi virus si Kopit dengan influenza. (https://www.cdc.gov/csels/dls/locs/2021/07-21-2021-lab-alert-Changes_CDC_RT-PCR_SARS-CoV-2_Testing_1.html)

Bisa disimpulkan, PCR nggak bisa membedakan mana orang yang terkena flu dan mana orang yang terinfeksi si Kopit. Makanya alat ini nggak dipakai lagi di AS sana, karena tidak akurat.

Memangnya, apa ada alat test yang akurat?

Walaupun nggak akurat 100%, namun jika seorang wanita di test pack dan hasilnya double-strip, maka bisa dipastikan dirinya hamil. Setidaknya hasilnya nggak meragukan seperti halnya PCR.

Itu yang namanya akurasi. Kemungkinan salahnya sangat sangat kecil.

Nah kalo PCR, kita tahu kualitasnya abrakadabra.

Bahkan Dr. Kary Mullis selaku penemunya saja bilang, “Alat ini nggak bisa mendeteksi virus.” Lha kok malah dipakai? Apa namanya kalo bukan konyol. (baca disini)

Kembali ke laptop.

Jadi, wajar-wajar saja jika kemudian PCR nggak lagi digunakan sebagai alat deteksi di Kopit, karena ketidak-akuratannya. Dideteksi positif, tahunya bukan kena Kopit, tapi kena flu. Apa nggak runyam? (https://www.foxnews.com/health/cdc-labs-covid-tests-differentiate-flu)

Kenapa ini penting untuk dilakukan oleh CDC?

Karena sebentar lagi musim influenza akan datang di Amrik sana. Dan kalo PCR nggak bisa membedakan mana yang Kopit dan mana yang flu, lantas buat apa digunakan?

Bahkan banyak pakar kesehatan kelas dunia mengatakan bahwa kalo seseorang dites dengan menggunakan PCR, hasilnya isuk tempe, sore ndele. (https://healthimpactnews.com/2020/fail-the-exact-same-covid-test-will-produce-different-results-depending-on-the-laboratory/)

Yang ada kemudian, kasus harian akan melonjak secara tajam, seiring diperbanyaknya volume test yang dilakukan.

Ini nggak mengada-ada.

AS telah melaporkan setidaknyya lebih dari 35,2 juta kasus si Kopit di negaranya, sejak pandemi terjadi tahun lalu, dengan kematian karena si Kopit yang mencapai lebih dari 620 ribu orang. (https://www.worldometers.info/coronavirus/country/us/)

Namun anehnya, orang yang meninggal akibat influenza di Amrik sana, kini turun secara tajam.

Kok bisa?

Ya karena si Kopit telah memborong semua angka kematian tahunan akibat influenza. Walhasil pasien Kopit terus bertambah secara eksponensial. (baca disini)

Sebagai acuan, pada tahun 2020 silam, kematian akibat influenza hanya 646 orang. Sementara di tahun 2019, kematian akibat flu berkisar pada angka 24.000 hingga 62.000 orang.

Masuk akal nggak kalo terjadi penurunan angka kematian secara drastis? Itu penurunan apa obral besar-besaran?

Pada tataran teknis, CDC meminta agar RT PCR diganti dengan sistem laboratorium yang akan melakukan transisi ke test diagnostik, meskipun secara formal RT PCR akan habis masa kontraknya pada akhir 2021 mendatang. (https://www.fda.gov/medical-devices/coronavirus-disease-2019-covid-19-emergency-use-authorizations-medical-devices/in-vitro-diagnostics-euas-molecular-diagnostic-tests-sars-cov-2)

Menarik untuk mengikuti kisah scamdemic ini, bukan?

Dan jangan harap keseruan bakal anda dapatkan kalo kita mengulas soal Kopit di Wakanda, karena mereka hanya bisa ikut-ikutan saja. Nggak kreatif sama sekali.

“Ntar juga kalo di Amrik pake alat baru, percaya deh, pak lurah dan pendukung setianya juga bakal ikutan memakainya.”

Bukan begitu, pak Lurah?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!