Sang Penantang Demagog


515

Oleh: Ndaru Anugerah

“Benarkah Risma akan maju pada pilkada DKI 2022 mendatang?” kurleb begitu pertanyaan yang berkali-kali ditanyakan kepada saya akhir-akhir ini.

Meskipun pilkada DKI akan digelar pada 2022 mendatang, namun aura panas sudah mulai beredar dikalangan publik nusantara. Namun sayangnya, hingga saat ini belum ada yang secara definitif yang diajukan sebagai penantang sang gabener digelaran pilkada tersebut.

Jawaban umumnya: “Masih kelamaan untuk dibahas.”

Jadilah publik harap-harap cemas menanggapi situasi saat ini.

Bukan apa-apa. Warga Jakarta sendiri sudah muak dengan kelakuan gabener ummat 212 yang kerap dianggap sebagai seorang demagog sejati. Nggak bisa kerja, dan bisanya cuma cari kambing hitam atas setiap masalah yang dihadapinya.

Gampang membuktikannya. Saat Jakarta kebanjiran di awal tahun 2020 kemarin, apa yang kemudian dilakukannya selain cari kambing hitam dengan menyalahkan pemerintah pusat sebagai sumber masalah? “Harusnya yang dilakukan naturalisasi, bukan normalisasi,” demikian kilahnya.

Eh ujung-ujungnya malah ngajak pak Basuki sebagai menteri PUPR untuk berdebat tentang konsep normalisasi lawan naturalisasi dalam mengatasi banjir. Emang debat bisa menghasilkan apa, selain excuse? Padahal warga DKI butuh langkah kongkrit sebagai solusi banjir, bukan retorika abrakadabra.

Misalnya nih, kalo ada banjir melanda Jakarta, akui saja kalo itu memang salahnya. Kenapa? Karena memang selama ini wan Aibon nggak kerja apa-apa selain bagi-bagi proyek kepada para pendukungnya. Gentleman dikit, napa sih? Bukan ngeles muluk kek bajaj…

Ditengah kegalauan, muncullah wacana walkot Surabaya – bu Risma – sebagai calon alternatif penantang gabener BEOL digelaran pilkada DKI 2022 nanti. Dan pelempar isu bukan sosok kaleng-kaleng.

Adalah Mama Mega yang mengapresiasi para kepala daerah yang telah berkontribusi besar memajukan daerahnya masing-masing. Risma salah satunya. Hal tersebut diungkapkannya saat Rakernas I PDIP di JiEXPO Kemayoran, Jakarta yang dihadiri oleh Jokowi (11/1).

Seakan ini adalah kode yang diberikan kepada Mega untuk mengetahui tingkat dukungan publik terhadap sosok Risma. Ini perlu dilakukan, karena dukungan mutlak diperlukan dalam politik. Bayangkan jika PDIP cukup pede menyokong Risma, tapi publik nggak tertarik. Apa kata kak Emma?

Dan dikalangan warga Jakarta, nama Risma cukup mendapat sambutan hangat. Karena apa? Warga JKT58 utamanya, mulai sadar, bahwa pilihan mereka saat pilkada 2017 yang lalu, bukan sukses membawa kemajuan malah justru menarik Jakarta ke jaman rikiplik.

“Masa becak mau dibuat onlen. Yang bokir ajah?”

“Bu Risma merupakan calon yang cukup mumpuni, karena menguasai 2 hal penting. Pertama dia tahu tata kelola kota, dan kedua dia paham tata kelola lingkungan. Bicara kompleksitas masalah Jakarta, ya muaranya ada pada kedua masalah itu,” demikian ungkap seorang narsum.

Menanggapi isu dirinya untuk maju sebagai penantang wan Aibon, reaksi Risma datar-datar saja. Bukan kegeeran, tapi sikap tenang yang justru dia pertontonkan.

“Saya nggak pernah berpikir tentang peluang jabatan…(karena) pemegang jabatan harus mampu berlaku adil dan amanah,” demikan tukasnya.

Dilain pihak, dengan munculnya calon penantang dirinya digelaran pilkada 2022, maka langkah antisipatif mulai diambil oleh kubu wan Aibon. Bukan apa-apa. Sosok gabener adalah sosok yang tengah digadang-gadang oleh kelompok dalrun sebagai capres di tahun 2024 nanti.

Bagaimanapun, skenario utama harus berhasil. Apapun taruhannya. Karenanya, Risma harus dijegal. Dan yang paling gampang adalah cari titik lemahnya Risma saat memimpin Surabaya. Banjir adalah salah satunya yang kerap menimpa Surabaya saban tahunnya.

Saat yang dinantipun tiba. Rabu (15/1) yang lalu, Surabaya dilanda hujan lebat yang menyebabkan 32 titik terendam banjir. Namun sialnya, ditengah langkah nyinyir yang tengah disiapkan pada buzzer gabener di dumay buat bu Risma, terpaksa harus berakhir anti klimaks.

Banjir yang terjadi, langsung surut dalam waktu kurang dari 3 jam. Dan publik tahu, bahwa surutnya genangan air bukan karena karya kata-kata penuh retorika, tapi hasil kerja nyata. Kepemimpinan Risma-lah jawabannya.

“Apa mungkin banjir bisa surut karena doa sosok pemuja poligami dari republik Wakanda?”

Semua teka-teki publik mulai sedikit terungkap saat Risma mulai berani membandingkan Jakarta dan Surabaya saat menjadi pembicara di acara milenial beberapa hari yang lalu.

“Kualitas udara di Surabaya terus membaik kendati jumlah mobil terus bertambah. Di Jakarta banyak orang terkena asma, karena kualitas udara yang buruk. Dan begitu ke Surabaya, mereka nggak sakit lagi,” begitu ungkapnya.

Kalo mau diartikan, Risma tengah menyindir gabener yang selama ini nggak bisa mengatasi permasalahan di Jakarta. Salah satunya kualitas udara yang buruk di Jakarta. (baca disini) Kalo udaranya saja sudah tercemar, mungkinkah warganya bisa sehat wal afiat?

Sampai sini klir ya, tentang rencana Risma maju pada gelaran pilkada DKI 2022 nanti. Lagian pikir pakai akal sehat. Jabatan Risma sebagai walkot Surabaya berakhir di 2021. Mungkinkah kader potensial partai banteng moncong putih sekelas Risma disia-siakan?

“Mega telah melempar bola. Dan bola itu tengah menggelinding ke publik. Artinya, tinggal kita saja yang ambil inisiatif. Take it or leave it.”

Well, sane Jakartans…which one do you prefer?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!