Jalan Berliku Menuju 2022


518

Jalan Berliku Menuju 2022

Oleh: Ndaru Anugerah

PPDB DKI Jakarta tahun 2020 sukses menuai bencana. Bukan saja anak-anak berprestasi yang akhirnya terpental gegara nggak dapat masuk sekolah negeri pilihan karena usianya masih belia, namun juga banyak anak lainnya yang berdomisili dekat dengan sekolah namun akhirnya kalah karena ‘kurang tua’.

Tilik saja kisah yang dialami Aristawidya Maheswari, pelajar berprestasi yang telah mengantongi ratusan penghargaan tingkat sekolah dan juga nasional.

Arista yang saat ini tinggal bersama dengan kakek dan neneknya di Rusun Jatinegara Kaum, Pulo Gadung Jakarta Timur, harus merelakan dirinya untuk tidak diterima di SMA negeri kali ini, karena faktor usia.

Dengan kata lain, semua torehan prestasi yang selama ini berhasil diraihnya, jadi nggak ada gunanya karena kebijakan Disdik DKI Jakarta yang memakai usia sebagai parameter seseorang bisa diterima sebagai peserta didik, ketimbang prestasi akademik/non akademik. (https://www.jpnn.com/news/kisah-arista-pelajar-berprestasi-gagal-ppdb-2020-karena-faktor-usia)

Dibalik kisruh PPDB DKI Jakarta 2020, ada apa sebenarnya?

Kisruh bermula saat Kadisdik DKI Jakarta – Nahdiana – mengeluarkan SK bernomor 501/2020 sebagai bentuk penafsiran Permendikbud No.44/2019 tentang PPDB. Menurut Plt. Irjen Kemendikbud – Chatarina Muliana Girsang, hal tersebut jelas offiside.

“Juknis proses PPDB DKI Jakarta tidak sesuai dengan Permendikbud No.44/2019 KARENA TELAH MEMASUKKAN KRITERIA USIA SEBAGAI PARAMETER PENENTU DALAM PPDB,” begitu kurleb ungkap Chatarina (28/6). (https://akurat.co/news/id-1153868-read-disdik-dki-ppdb-di-jakarta-sesuai-permendikbud-nomor-44-tahun-2019)

Setidaknya ada dua kesalahan fatal. Pertama DKI menyalahi kuota zonasi minimal 50% menjadi 40%. Padahal dalam Permendikbud MINIMAL kuota zonasi adalah 50%. Lalu kenapa jadi disunat 10%? Bukannya ditambah, kok malah dikurangi? (https://mediaindonesia.com/read/detail/313302-pemprov-dki-kurangi-kuota-zonasi-jadi-40)

Dan kedua perubahan zonasi jarak terdekat sekolah dan rumah, menjadi prioritas umur TERTUA. Padahal dalam Permendikbud nggak ada batasan usia sebagai prioritasnya. (https://mediaindonesia.com/read/detail/320324-sistem-zonasi-ppdb-diprotes-orangtua-murid)

Kalo dibilang salah ‘menafsirkan’ isi Permendikbud, jelas nggak masuk akal. Bukankah Anies juga pernah menjabat sebagai seorang Mendikbud? Lalu, apa mungkin seorang kadisdik DKI Jakarta berjalan sendirian mengeluarkan juknis PPDB tanpa ada arahan dan restu dari sang Boss?

Dengan kata lain, ada udang dibalik bakwan pada tata kelola PPDB DKI Jakarta kali ini.

Setidaknya ada 2 hal yang melatarbelakanginya.

Pertama, pilkada DKI Jakarta yang rencananya akan berlangsung di 2022 nanti sudah makin dekat. Sialnya, elektabilitas AB makin tenggelam seiring berjalannya waktu. (https://www.wartaekonomi.co.id/read289145/elektabilitas-anies-melorot-jawaban-pan-nyelekit-kerjanya-gak-ada-yang-bikin-bangga)

“Hasil survei itu tentu harus menjadi cermin bagi Anies. Sebab, di tengah pandemi COVID-19 seperti ini, semestinya surveinya naik. Berbanding lurus dengan kuantitas dan frekuensinya tampil dan berbicara di media,” ungkap Ketua DPP PAN – Saleh Pertaonan Daulay.

Dengan kata lain, masyarakat NGGAK PUAS SAMA KINERJA AB.

Tahu akan elektabilitas yang terus melorot bak celana kolor, harus ada langkah penyeimbang agar pamornya nggak terus turun.

Caranya? Buat kebijakan kontroversial, kalo perlu sekontroversial mungkin agar namanya kembali NGETOP BIN POPULER. Kok bisa? Bukankah elektabilitas hanya bisa didongkrak kalo POPULARITASNYA TINGGI? (baca disini)

Nggak aneh, langkah kontroversial PPDB DKI Jakarta yang belakangan menuai kisruh, langsung melambungkan nama AB yang sempat tenggelam seiring masifnya pemberitaan si Kopit.

Selain itu, AB juga secara politis akan mendapatkan pundi-pundi suara dalam pilkada DKI mendatang dari para peserta didik ‘bangkotan’ YANG DITERIMA pada PPDB tahun ini. Ini bisa terjadi, mengingat para pendidik di sekolah negeri, banyak yang jadi konstituen AB pada pilkada 2017 silam yang kencang menaikkan isu sektarianisme.

Setidaknya hasil riset yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada 2019 silam mengamini hal tersebut dengan menyatakan bahwa setengah dari jumlah guru di Indonesia, mempunyai opini radikal dan intoleran. (https://www.suara.com/news/2019/01/25/175840/survei-ppim-uin-jakarta-5087-guru-dari-tk-sma-intoleran-dan-radikal)

Bukankah kelompok ini juga yang menaikkan isu SARA pada pilkada DKI 2017 dalam menarik dukungan pemilih terhadap AB? (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39372353)

“Coba kalo nggak ada kebijakan dari Gubernur, apa mungkin kalian yang sudah bangkotan bakal diterima di sekolah negeri? Lalu apa ucapan terima kasih kalian kepada beliau?” begitu kurleb pesan terselubungnya.

Ada berapa jumlah peserta didik di SMA dan SMK di tahun 2020?

Untuk SMA Negeri ada sekitar 28.428 dan SMK Negeri ada sekitar 19.182. Kalo ditotal jenderal bakalan ada kurleb 54ribu suara. Jelas angka yang nggak sedikit. (https://metro.tempo.co/read/1357503/berapa-daya-tampung-sekolah-di-ppdb-jakarta/full&view=ok)

Dan kedua, langkah kisruh ini sengaja dibuat sebagai pengalihan isu atas ijin reklamasi yang secara diam-diam dikeluarkan AB kepada kawasan rekreasi Dunia Fantasi, seluas kurleb 35 hektar dan Taman Impian Jaya Ancol seluas kurleb 12 hektar. Ini tertuang dalam Keputusan Gubernur N0.237/2020, yang diteken AB pada 24 Maret 2020 silam. (https://megapolitan.kompas.com/read/2020/07/03/14205341/anies-beri-izin-reklamasi-ancol-sekda-kita-utamakan-kepentingan-publik)

Sekarang kalo publik ditanya, apa yang menarik minat mereka: isu REKLAMASI atau isu PPDB DKI? Ya jelas PPDB DKI yang lebih enak untuk disimak ketimbang reklamasi. “PPDB ada kaitannya dengan anak mereka yang mungkin secara langsung dirugikan, lha kalo reklamasi?”

Berapa untung yang bakal didapat ‘pemda’ lewat kontribusi reklamasi tersebut?

Entahlah. Namun merujuk pada pernyataan Ahok di tahun 2016, keuntungan yang akan didapatkan pemda bisa mencapai trilyunan rupiah angkanya. (https://megapolitan.kompas.com/read/2016/06/22/14455851/ahok.dki.bisa.dapat.rp.179.triliun.dari.kontribusi.tambahan.reklamasi)

Dengan uang sebanyak itu, apa nggak mungkin untuk diselewengkan dan digunakan sebagai ‘modal’ dalam kontestasi pilkada 2022 mendatang?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!