Ketika Jakarta Tak Lagi Nyaman


523

Jakarta sudah tidak nyaman lagi untuk dihuni. Apa tolak ukurnya? Ambang batas polusi udara yang sudah sangat memprihatinkan.

Berdasarkan hasil pantauan www.airvisual.com yang spesialis soal analisis pencemaran udara, maka Jakarta memiliki kualitas udara bertanda merah, yang artinya ‘sudah tidak sehat.’ Bagaimana cara kerjanya kok bisa tanda merah tiba-tiba muncul.

Ini bukan sulap, bukan sihir. Semuanya ilmiah.

Udara yang beredar di udara kemudian diukur melalui particulate matter yang menyaring debu super kecil berukuran 2,5 mikrogram per meter kubik selama 24 jam. Dari sinilah mucul istilah Air Quality Index alias indeks kualitas udara.

Nah, berdasarkan tangkapan tuh alat, maka konsentrasi PM 2,5 di Jakarta, angkanya sangat mengkhawatirkan alias melewati ambang batas normal 50. Gak heran kalo indikator warnanya merah bukan lagi hijau.

Dan langit Jakarta-pun menjadi seperti dipenuhi kabut asap, yang tak lain adalah polutan itu sendiri. Hilang sudah warna biru dari langit Jakarta, pergi entah kemana.

Apa dampak dari polusi udara di Jakarta?

Polutan berukuran mikroskopis yang melayang-layang di langit Jakarta, bila kerap dihirup akan mampu mendoronng mutasi sel dalam sistem pernafasan kita. Akibatnya polutan bisa masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke organ-organ tubuh.

Akibatnya sungguh dahsyat.

Berdasarkan data riset, polusi udara yang melewati ambang batas akan mampu memicu gangguan paru-paru dan jantung selain menurunnya angka fertilitas, hingga menurunnya tingkat kecerdasan.

Kok kecerdasan?

“Makanan otak itu adalah oksigen alias udara segar,” demikian ujar seorang dokter. Bisa dibayangkan, kalo otak yang adalah organ utama pengatur sistem hidup yang ada di tubuh kita, terus kita kasih ‘makanan sampah’. Apa nggak lama-lama jadi bego permanen?

Angka kematian yang disebabkan oleh polusi udara ini juga nggak bisa disepelekan. Angkanya mencapai 7 juta orang per tahun. Warbiyasah menakutkan.

Lantas apa yang dibuat oleh pemprov DKI?

Mengantisipasi dampak pencemaran udara yang demikian menakutkan, sang gabener mengeluarkan Instruksi Gubernur alias Ingub No.66/2019 yang mengatur tentang pengendalian kualitas udara. Langkah yang rada telat, karena dari kemarin-kemarin kemana aja?

Apakah Ingub ini akan berjalan sesuai rencana? We’ll see. Tapi apa yang jadi sasaran Ingub tersebut hanya menyangkut program yang sifatnya short term.

Contoh penerapan aturan ganjil genap yang diperluas cakupan wilayahnya. Kok tanggung amat? Kenapa juga nggak diperpanjang waktunya menjadi seharian? Lagian aturan Gage juga kurang efektif untuk menekan jumlah kendaran beredar di Jakarta.

“Sistem Gage bisa diakalin dengan plat nomor palsu yang gampang dibuat,” demikian ungkap seorang netizen.

ERP alias sistem jalam berbayar yang pernah diusung oleh Ahok, sebenarnya jauh lebih efektif. Kalo orang yang membawa kendaraan pribadi lewat jalanan berbayar, maka dia perlu merogoh kocek lebih dalam lagi untuk biaya operasional kendaraannya.

Mungkin sesekali mah kurang terasa, tapi kalo tiap hari apa nggak boncos? “Makin macet suatu jalan, maka tarifnya akan semakin mahal,” ungkap seorang narsum.

Proyek ini seharusnya bisa dijajaki, namun hingga kini sang gabener bahkan nggak melirik konsep ciamik tersebut.

Ada apa? Apa karena nggak adanya ‘keuntungan’ yang bisa dimainkan disana?

Dan yang paling efektif dalam mereduksi kadar polusi udara adalah dengan menambah RTH alias Ruang Terbuka Hijau di Jakarta. Konsep RPTRA yang dikembangkan Ahok sebenarnya lumayan mumpuni untuk meredam kadar polutan. Namun, coba lihat bagaimana jadinya RPTRA-RPTRA itu sekarang?

RPTRA Kalijodo yang tadinya harmonis, konon sekarang jadi kumuh keadaannya. Tanaman yang tadinya diandalkan sebagai penyerap polutan, entah dimana keberadaannya karena nggak ada yang ngerawat.

Dengan kondisi kepemimpinan gabener saat ini, maka bisa dipastikan bagaimana nasib Jakarta ke depannya. Eh, bukan mengeluarkan kebijakan yang sifatnya preventif, kok malah mengeluarkan kebijakan kontrovesial?

“Kok dia malah mengeluarkan kebijakan kenaikan tarif parkir di Jakarta guna menekan polusi udara. Lha apa hubungannya antara mobil yang di parkir sama tingkat polusi udara, Malih?”

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!