Proyek Memblokir Matahari (*Bagian 2)


530

Proyek Memblokir Matahari (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama tulisan, saya sudah mengulas tentang upaya yang dilakukan BG dalam memblokir matahari guna mengatasi masalah pemanasan global. (baca disini)

Lantas, geoengineering yang dilakukan BG, dimana letak ketidak-logisannya, sehingga ilmuwan Swedia mundur dari rencana SCoPEX?

Di AS sana, awalnya kalo kita bicara soal geoengineering semisal chemtrail, itu adalah hal tabu yang nggak perlu dilakukan. Kenapa? Karena pemerintah AS mati-matian mengklaim bahwa mereka nggak pernah melakukan geoengineering.

Jadi kalo anda bilang bahwa pemerintah AS telah melakukan aktivitas geoengineering, maka anda akan dicap sebagai ‘teori konspirasi’.

Tapi itu dulu, karena sejak 2017 pemerintah mulai terbuka atas rencana ‘rahasia’ yang telah mereka lakukan. Terutama yang menyangkut geoengineering pada refleksi matahari, atau yang orang awam kenal dengan istilah injeksi aerosol stratosfer.

Ini setelah Partai Republik yang ada di DPR AS kala itu meminta dengar pendapat dari pemerintah terkait proyek strategis tersebut. (https://thefreethoughtproject.com/geoengineering-goes-mainstream-as-congress-holds-hearing-on-weather-manipulation-tech/)

Dan proyek BG adalah salah satunya. Pada proyek geoengineering tersebut, BG mengembangkan skema pemblokiran matahari dengan abu batubara. Materi tersebut didapat dari pembangkit listrik tenaga batubara sebagai residu (sisa pembakaran).

Masalahnya, abu terbang dari batubara tersebut jika diterbangkan ke atmosfer guna meredupkan sinar matahari, dapat menyebabkan hujan asam ‘beracun’ ke bumi.

“Abu batu bara biasanya mengandung logam berat seperti: arsenik, timbal, merkuri, cadmium, kromium, selenium, aluminium, antimon, barium, berkelium, boron, klorin, kobalt, mangan, molybdenum hingga vanadium,” menurut Physicians for Social Responsibility. (https://www.psr.org/wp-content/uploads/2018/05/coal-ash-hazardous-to-human-health.pdf)

Dan jika zat tersebut kemudian dimakan, diminum atau dihirup, maka akan dapat menyebabkan kanker dan gangguan sistem syaraf lainnya seperti gangguan kognitif dan keterlambatan perkembangan.

Selain itu zat beracum tersebut dapat menyebabkan kerusakan jantung, paru-paru, hingga cacat lahir. “Dan kemungkinan itu tidaklah kecil,” ungkap ilmuwan di EPA.

Wajar jika kemudian proyek Gates-Keith ditolak di Swedia.

Lagian, faktor terbesar penyebab perubahan iklim di bumi adalah matahari dan siklus letusan matahari, dan bukan gas rumah kaca seperti yang dituding sang Ndoro besar. (baca disini dan disini)

Merujuk pada matahari dan siklus-nya, maka dunia saat ini tengah menuju fenomena alam yang disebut dengan Grand Solar Minimum (GSM) oleh ilmuwan di NASA. (https://www.nasa.gov/feature/ames/solar-activity-forecast-for-next-decade-favorable-for-exploration)

Jadi, alih-alih akan ada pemanasan global, justru bumi kini bersiap untuk memasuki masa pendinginan global alias jaman es. “Ini merupakan siklus minimum terkuat dari matahari sejak 200 tahun terakhir.,” demikian ungkap ilmuwan NASA.

Dan ini berawal sejak musim panas 2020 hingga 2053 mendatang ungkap Prof. Zharkova. (https://electroverse.net/we-entered-the-modern-grand-solar-minimum-on-june-8-2020/)

Apa yang bakal terjadi saat GSM?

Pola cuaca sangat tidak stabil. Akan ada banjir besar yang berkepanjangan, gagal panen besar-besaran, perubahan suhu yang sangat drastis, hingga gelombang panas yang sangat ekstrim sebagai pemicu kebakaran hutan. (https://abruptearthchanges.com/2018/01/14/climate-change-grand-solar-minimum-and-cosmic-rays/)

Biasanya, letusan matahari yang dikenal dengan bintik matahari, terjadi pada siklus 11 atau 22 tahun. Itu siklus yang wajar. Nah siklus yang nggak wajar, adalah siklus besar 100 atau 200 tahun yang dikenal dengan GSM.

Saat ini berlangsung, aktivitas letusan matahari nggak akan terjadi selama beberapa dekade.

Dan merujuk pada penelitian ilmiah, GSM mampu memicu aktivitas gempa bumi dan aktivitas vulkanik lainnya. (https://www.researchgate.net/publication/258471897_Influence_of_Solar_Cycles_on_Earthquakes)

Bahkan temuan yang diperoleh Prof. Toshikazu Ebisuzaki cukup mencenggangkan. “Ada kaitan yang erat (96,7%) antara letusan gunung berapi dengan aktivitas minimum matahari.” (https://principia-scientific.com/do-cosmic-rays-trigger-earthquakes-volcanic-eruptions/)

Bumi kita mengalami fase GSM terakhir, sekitar 200 tahun yang lalu yang dikenal dengan istilah Dalton Minimum yang berlangsung dari tahun 1790-1820. (https://www.researchgate.net/publication/284205134_The_Approaching_New_Grand_Solar_Minimum_and_Little_Ice_Age_Climate_Conditions)

Saat itu, bumi mengalami situasi ‘Year without Summer’, yang dipicu dari letusan Gunung Tambora (1815) yang ada di Indonesia. Jadi abu vulkaniknya menutupi cahaya matahari sepanjang tahun hingga 1816 yang berakibat tidak adanya sun-light bahkan di Musim Panas.

Penulis kondang Thomas Jefferson mencatat, akibat kejadian tersebut memicu gagal panen secara global. Musim panas diisi dengan embun beku dan salju. Gimana panen bisa berhasil dengan kondisi ini? (https://www.jstor.org/stable/3122774)

Dan ini mengakibatkan kelaparan global di masa itu.

Kalo benar prediksi NASA dan juga Prof. Zharkova bahwa bumi sedang mengarah pada GSM, apa buktinya?

Letusan Gunung Merapi dan Lewotolo di Indonesia, bisa dijadikan rujukan. (baca disini)

Nggak lama setelah itu, Gunung Sinabung di Indonesia juga meletus (2/3). Bahkan abu vulkaniknya mencapai ketinggian 40 ribu kaki ke atmosfer dan membawa efek pendinginan pada bumi. (https://www.dw.com/en/indonesias-mount-sinabung-spews-huge-ash-column/a-56742438)

Berikutnya letusan Fagradalsfjall yang ada di Islandia. (https://www.cnn.com/videos/travel/2021/03/22/iceland-volcano-eruption-2021-mh-orig.cnn)

Dan juga letusan gunung St. Vincent yang ada di kepulauan Karibia baru-baru ini. (https://www.nytimes.com/2021/04/09/world/americas/volcano-St-Vincent-eruption-caribbean.html)

Aktivitas vulkanik tersebut sudah cukup jadi penanda tentang datangnya GSM.

Jadi, nggak pakai proyek ‘gila’ untuk meredupkan matahari ala BG, bumi sudah otomatis akan memasuki fase pendinginan global. Apalagi ditambah dengan proyek tralala tersebut? Bisa beku manusia.

Apakah BG dan genk Davos-nya nggak tahu akan fakta ini?

Anda ‘boker’ dimana aja mereka bisa tahu, apalagi informasi berharga seperti ini?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


2 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

    1. saya menilai kemungkinan itu ada. sebab pada awalnya FABA memang dianggap limbah B3, bukan? (https://mediaindonesia.com/nusantara/390616/penggiat-lingkungan-kecam-keluarnya-faba-dari-kategori-limbah-b3)

      yang tidak bisa dipungkiri, ada kandungan zat berbahaya disana semisal mercury. (https://news.mongabay.com/2021/03/indonesia-coal-ash-hazardous-waste-pollution/#:~:text=Fly%20ash%20and%20bottom%20ash%20from%20the%20burning%20of%20coal,2.)

      itu fakta yang nggak bisa dipungkiri.

error: Content is protected !!