Provokasi di Bumi Cendrawasih (*bagian 2)


534

Bicara konflik berkepanjangan di bumi Papua memang cukup pelik. Dari faktor sejarah saja, membuktikan bahwa realisasi New York Agreement yang dijadikan acuan proses akuisisi Papua ke pangkuan Indonesia, memang cacat hukum.

Maksudnya? Berdasarkan acuan, proses PEPERA alias referendum harus menerapkan azas ‘one man one vote’. Namun karena alasan klasik bahwa banyak warga Papua yang buta huruf, maka sistem delegasi atau perwakilan yang akhirnya dipakai.

Belum lagi yang diutus sebagai perwakilan, kerap mengalami intimidasi dari aparat keamanan. “Harus pilih bergabung ke Indonesia, ya. Awas kalo nggak!” Maklum, Soeharto mendapatkan’ tekanan dari AS’ agar apapun yang terjadi, Papua harus jadi bagian Republik Indonesia. Karena begitu skenarionya.

Tambah lagi perlakuan pemerintah Indonesia semasa Orba yang selalu menganak-tirikan Papua. Bahkan ungkapan Ali Murtopo yang mengatakan, “Jakarta tidak tertarik kepada orang Papua, melainkan wilayahnya” meninggalkan kenangan buruk bagi warga Papua.

Seakan Papua hanya dianggap sapi perahan oleh rejim Soeharto. Nggak lebih.

Inilah yang mengakibatkan luka yang mengaga pada banyak penduduk Papua. Parahnya, luka itu terus dijaga oleh ‘pihak-pihak tertentu’ yang ingin Papua kelak berpisah dari Indonesia.

Dan Jokowi cukup tahu akan hal itu.

Untuk menutup luka itu, maka langkah pembenahan infrastruktur di bumi Papua digelar secara masif, agar stigma Papua sebagai anak tiri bisa dikikis. Dan ini cukup berhasil. Menurut sebuah lembaga survei, sebanyak 91% masyarakat Papua merasa puas atas kepemimpinan Jokowi terutama atas bumi Papua.

Parahnya, langkah Jokowi atas bumi Papua tidak cukup sampai disitu. Bahkan sang tukang katu mulai mengusik ketenangan usaha para korporasi besar besutan genk Rothschild, semisal Freeport (AS), British Petroleum (Inggris) dan juga Mc.Lean (Australia).

Harapannya cuma satu, para korporasi besar itu bisa angkat kaki dari bumi Papua, karena merasa nggak nyaman lagi berusaha disana. Pun kalo masih mau berusaha disana, yah harus mau diatur, bukan malah ngatur. “Mang lu pikir, gue kacung lu,” begitu kurang lebihnya.

“Kalo anda diusik, apakah yang akan anda lakukan?” Tentu saja, balasan akan diberikan.

Sejak diusiknya korporasi besar, Papua kembali dibuat membara. Di mulai saat penembakkan Nduga yang terjadi pada Desember 2018 lalu. Dan yang terbaru yah kasus rusus di Manokwari kemarin.

Apa target utamanya? Papua merdeka. Dan ini tengah dirajut secara intensif.

Bagaimana cara kerjanya?

Berdasarkan info yang saya dapat, ada dua cara yang mereka tempuh. Pertama lewat jalur diplomasi dan lobi-lobi. Dan yang kedua lewat jalan kekerasan bersenjata.

Pada jalur diplomasi, ditunjuklah seorang operator lapangan. Benny Wenda, namanya. BW sendiri merupakan ketua kelompok Pembebasan Papua Barat (ULMWP). Tugasnya satu, menggalang lobi internasional, agar bersimpati atas upaya Papua Merdeka.

Langkah ini disokong penuh oleh Mamarika, dengan membentuk International Parliamentarians for West Papua. Di Pasifik sendiri, BW menggalang dukungan dari kaukus negara Melanesia yang tergabung dalam Melanesia Spearhead Group yang beranggotakan Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Salomon dan Vanuatu.

Langkah ini didukung sepenuhnya oleh Sotralia. Bahkan Vanuatu-lah yang memberikan akses kepada BW untuk bertemu dengan Michelle Bachelet selaku pejabat Komisioner Tinggi HAM PBB. Tujuannya untuk menyampaikan laporan tertulis bahwa Papua butuh referendum karena ada pelanggaran HAM secara masif.

“Sebanyak 1,8juta alias tiga perempat rakyat Papua sudah teken persetujuan yang isinya mendukung upaya referendum atas Papua Barat,” begitu bunyinya.

Angka yang bombastik, mengingat jumlah penduduk Papua sekitar 2,5juta orang. Kalo 3/4 nya, memang ketemu angka 1,8juta-an. Namun masalahnya, mayoritas penduduk Papua masih buta huruf. Trus, apa bisa orang yang buta huruf disuruh tanda tangan? Yang paling mungkin ya cuma cap jempol.

Bisa disimpulkan angka tersebut adalah klaim kosong dari seorang Benny Wenda.

Berbekal laporan ini, PBB akhirnya meminta akses atas Papua Barat kepada pemerintah Indonesia, untuk memantau apakah benar terjadi pelanggaran HAM disana. Makanya jangan heran bila Papua jadi membara, karena mumpung ada kesempatan buat huru hara di depan pengamat asing.

Harapannya satu. Aparat keamanan terprovokasi dan terjadilah pelanggaran HAM. Inilah yang diharapkan. Saat itulah, LSM-LSM yang mendukung usaha sang ‘’tuan besar” akan ramai-ramai menggongong atas tindakan pelanggaran HAM di bumi Papua.

Begitulah skenarionya. Dan manakala itu terjadi, maka mereka akan masuk melalui Humanitarian Intervension. Ini sangat mirip dengan apa yang telah diterapkan di Libya dan Irak. Walaupun ujung-ujungnya kedua negara tersebut makin nggak jelas bentuknya saat ini.

Ini bukan spekulasi. Karena Mamarika mengirimkan personil tambahan sebanyak 1150 tentara di pangkalan Darwin, Australia. Untuk apa sebanyak itu tentara? Ya untuk persiapan, manakala Humanitarian Intervension dibutuhkan di Papua. Masa iya buat ikut kondangan?

Terus dimana peran Inggris? Tak lain sebagai tempat berlindung BW selama dalam masa pengasingan setelah sempat jadi buronan pihak berwajib Indonesia.

Lalu bagaimana dengan jalur kekerasan bersenjatanya? Yah pakai boneka yang bernama OPM pimpinan Goliath Tabuni. Jangan heran OPM senjatanya canggih-canggih. Dapat darimana?

Pertama dari mamarika lewat darat melalui perbatasan Papua Nugini dan kedua dari sotralia lewat jalur laut langsung.

Setidaknya David H Capie dalam bukunya “Under the Gun: The Small Arms Challenge in the Pacific” membenarkan hal itu.

Dan uang yang digelontorkan untuk kedua usaha tersebut, konon mencapai jutaan dollar AS. Yang jadi pertanyaan: mungkinkah duit segitu banyak digenlontorkan untuk hal yang sia-sia?

Dengan mengetahui skenario yang dijalankan, minimal beban yang saya punya selama ini sudah saya bagi. Harapannya, kita semua punya pemahaman yang sama atas apa yang terjadi pada bumi Papua yang merupakan bagian dari kita – Indonesia.

Jadi jangan mudah percaya bahwa timbulnya konflik disana karena hal rasisme semata. Karena kalo sudah menyangkut kekayaan Papua, apapun bisa dilakukan oleh mereka.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!