Impor Pemain Asing


511

“Kita ini kan punya perguruan tinggi, politeknik, dan akademi sekitar 4700-an. Ya kalau kita memberi peluang untuk rektor asing, kenapa nggak? Wong satu, dua, tiga saja kok,” begitu ungkapan Jokowi pada awak media menanggapi rencana impor rektor asing ke Indonesia.

Sontak rencana ini mendapat tanggapan beragam. Ada yang mendukung, namun tak sedikit yang kkontra, terutama kalangan akademisi di kampus-kampus ternama di Indonesia. “Memang Indonesia kekurangan SDM apa?” begitu respon mereka.

Dibalik polemik yang ada, Jokowi wajar geram pada kinerja para rektor yang dianggap nggak punya efek apa-apa terhadap kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia. Padahal dana riset udah trilyunan digelontorkan, namun kualitas pendidikannya masih memble aja.

Sementara jaman sudah berubah, namun pendidikan tinggi yah begitu-begitu aja keadaanya. Nggak ada breakthrough atau inovasi. Secara peringkat saja, kampus-kampus negeri papan atas di negeri ini, masih berada pada urutan yang belum bisa dibanggakan.

Merujuk pada Times Higher Educations (THE) 2019, peringkat UI berada di 601-800. ITB malah lebih jauh 801-1000. IPB jangan ditanya, karena bertengger di angka 1001.

Sebagai gambaran, indikator yang dipakai oleh THE ada sekitar 13 item, dari mulai sistem pengajaran, kualitas lulusan, hingga dampaknya pada dunia internasional.

Dalam melakukan pemeringkatan, THE diaudit secara ketat oleh PricewaterhouseCoopers (PwC) selaku lembaga auditor internasional yang sudah kesohor. Dengan kata lain, validasi laporannya sangat dapat dipertanggungjawabkan.

Mungkin kalo cuma peringkat dan kualitas, Jokowi masih bisa bersabar. Masalahnya kampus-kampus di Indonesia, utamanya kampus negeri unggulan, sudah menjadi sarang penyebaran aliran radikal semisal HTI. Laporan SETARA Institute bahkan menyatakan bahwa 10 kampus negeri terpapar dengan paham radikalisme.

Aliasnya, kampus sudah dijadikan tempat penyebaran dan kaderisasi aliran berpaham radikalisme.

Kalo sudah begini kita jadi bertanya-tanya, kerja para rektor ngapain aja? Wajar kalo banyak cibiran ditujukan kepada para rektor, karena merekalah nahkoda sesungguhnya kampus yang mereka pimpin. Naik turunnya nama besar suatu kampus, salah satu penentunya ya mereka.

Sudah rahasia umum bila jabatan rektor sesungguhnya merupakan jabatan politis. Aliasnya, banyak pihak yang punya kepentingan terhadap posisi rektor tersebut. Bahkan untuk jabatan ini, seseorang konon tak ragu untuk memberikan ‘upeti’ dalam jumlah besar sebagai mahar agar dirinya kelak terpilih sebagai rektor.

“Jabatan rektor itu berkaitan dengan aspek ekonomis. Banyak proyek-proyek abrakadabra yang bisa dibuat saat seseorang menjabat posisi rektor. Dan ini melibatkan uang yang nggak sedikit,” demikian ungkap seorang narsum.

Mendengar informasi tersebut, kita jadi mahfum. Pantes aja, jadi rebutan…

Demi memutus lingkaran setan yang ada dikalangan kampus yang seyogyanya bebas kepentingan selain urusan akademi semata, maka keluarlah usulan mengimpor rektor asing ke Indonesia.

Ini bukan tanpa sebab.

Melihat pengalaman Nanyang Technological University (NTU) yang berlokasi di Singapura, dalam mengimpor rektor asing layak dijadikan rujukan.

Awalnya, kampus yang didirikan di tahun 1981 tersebut juga mengadopsi sistem pendidikan yang outdated alias jadul. Banyak profesor-profesor tua yang sudah tidak produktif di kampus tersebut.

Dan kebiasaan ‘para dewa’ tersebut adalah memiliki pemikiran yang kolot yang sulit diubah apalagi dikasih tahu, dengan diktumnya yang terkenal, “kebenaran hanya milik saya dan Tuhan.”

Sampai kemudian, Wakil PM Singapura Tony Tan, membuat gebrakan dengan mendirikan Yayasan Riset Nasional dengan menggelontorkan dana yang sangat besar untuk pengembangan pendidikan tinggi di Singapura. Dana inilah yang kelak dipakai, salah satunya untuk mengembangkan riset selain upaya mengimpor rektor asing.

Walhasil, Bertil Andersson terpaksa diimpor dari negaranya Swedia, guna membenahi kondisi kampus NTU sebagai pilot project, di tahun 2007.

Langkah revolusioner-pun diambil oleh sang rektor impor tersebut. Salah satunya dengan memecat para profesor tua yang ada di kampus NTU dan menggantinya dengan dosen-dosen berkualitas dari seluruh dunia dengan bayaran yang aduhai. Selain itu yang nggak kalah penting, pembenahan sistem pembelajaran juga jadi target utamanya.

Perannya sebagai tokoh di dunia universitas kelas dunia, cukup efektif sebagai magnet untuk bisa menarik akademisi kelas dunia untuk mau bertandang ke NTU. Perlahan kondisi NTU mulai membaik.

Benar saja. Dalam waktu 10 tahun, NTU berhasil masuk peringkat ke-11 dunia di tahun 2017, dan terbaik di Asia merujuk pada pemringkatan yang dilakukan oleh Quacquarelli Symonds (QS).

Melihat sukses NTU, kenapa kita nggak tiru? Karena secara SDM, mahasiswa kita sebenarnya punya potensi, kok. Tapi jadi mandul karena sistem pendidikan di kampus yang sudah nggak steril dari paham-paham radikal selain sistem pendidikannya yang ketinggalan jaman.

“Masa belajar mata kuliah Pengembangan Wilayah, kok dosennya malah bicarain khilafah.”

Melihat rencana ini, sudah pasti kubu status quo yang anti perubahan di kampus-kampus, sontak nyinyir berjamaah. Karena apa? Khawatir periuk nasinya diserobot oleh pemain impor. Kalo itu terjadi, mau makan apa Malih??

Akankah rencana ini terealisasi?

“Ya nanti, di kabinet baru,” demikian ungkap pakde dengan nada pasti.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!