Kisah Pengusung HAM


512

Kisah Pengusung HAM

Oleh: Ndaru Anugerah

Veronica Koman kembali buat pemerintah Indonesia gerah. Pasalnya beberapa langkahnya dalam mengadvokasi gerakan Papua Barat Merdeka ke forum internasional, sudah dianggap kelewatan. Padahal untuk mendapatkan beasiswa S2 di Australia pada 2016 silam, LPDP lah yang memberikannya.

Wajar jika LPDP meminta uang beasiswa kembali dari seorang Verkom mengingat para penerima beasiswa harus kembali dan mengabdi ke Indonesia selama 5 tahun. Dan Verkom abai terhadap klausul tersebut. Bukannya mengabdi, eh malah mendukung gerakan separatis Papua.

Lantas berapa jumlah uang beasiswa yang harus dikembalikan karena merugikan negara? Sekitar Rp. 773 juta.

Dan nggak pakai lama, sebuah situs penggalangan dana bagi Verkom melalui situs chuffed.org telah berhasil menggalang dana, walaupun belum mencapai kuota jumlah yang diminta oleh negara. (https://chuffed.org/project/veronica-koman)

Dalam memperjuangkan Papua Merdeka, Verkom nggak sendirian. Anda tahu Prof. Noam Chomsky?  Pemikir senior asal AS tersebut juga kasih dukungan kepada Verkom. “Saya mendukung pembelaan yang dilakukannya agar rejim brutal yang mencekik Papua Barat segera mengakhiri cengkramannya pada bumi Papua.” (https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200831192051-134-541299/pemikir-as-noam-chomsky-dukung-veronica-koman)

Bukan sekali ini saja Prof. Chomsky kasih dukungan atas nama HAM. Dulu saat Timor-Timur bergejolak, profesor yang sama juga mendukung langkah referendum untuk Timor Timur agar bisa lepas dari Indonesia. Dan akhirnya Timor Leste-pun berpisah dari Republik tercinta.

Akankah Papua kembali mendapatkan kemerdekaan dengan menggelar referendum layaknya Timor-Timur? Entahlah.

Satu yang pasti, tuntutan Papua merdeka memang bukan barang baru. Sudah lama didengungkan. (baca disini dan disini)

Pada Januari 2019 saja, aktivis Papua Merdeka telah melayangkan gugatan referendum bagi kemerdekaan Papua Barat. (https://www.rnz.co.nz/international/pacific-news/381108/papuan-petition-for-independence-vote-handed-to-un-rights-chief)

Dan di Februari 2020 lalu, pemimpin Papua Barat, Benny Wenda telah menuduh pemerintah Indonesia menjadikan Papua Barat sebagai zona perang. “Stop pembantaian orang Papua Barat,” ungkapnya. (http://www.esisc.org/publications/briefings/west-papua-pro-independence-movements-and-their-impact-on-the-security-situation-in-indonesia)

Dukungan bagi perjuangan Papua juga bukan kaleng-kaleng, mengingat pada level PBB sudah dijajaki untuk memberi dukungan bagi proses referendum Papua Barat. Setidaknya negara-nagara seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon hingga Papua Nuguni yang tergabung dalam Melanesia Spearhead Group, telah memberikan dukungan penuh bagi Papua Barat Merdeka.

“Papua Barat layak diberikan hak untuk menentukan nasib sendiri,” begitu kurleb-nya. (https://journal-neo.org/2019/03/31/western-interests-in-the-indonesian-papua-conflict/)

Memang ada apa sih di Papua Barat, sehingga tuntutan akan referendum demikian kuatnya?

Sudah rahasia umum kalo bumi Papua itu kaya hasil tambang, dari mulai tembaga, emas hingga gas. Nggak aneh jika perusahaan tambang elite global sekelas Freeport berani investasi besar-besaran disana. (https://www.aljazeera.com/news/2019/07/papua-rebels-unite-indonesia-rule-190703041548093.html)

Papua kaya akan gas alam? Benar. Anda tahu Ladang gas Tangguh? Total kandungan gas-nya diprediksi mencapai 500-800 milyar meter kubik. Gas sebanyak itu cukup untuk memasok gas ke Korsel, Jepang dan China selama 30 tahun ke depan. Warbiyasah. (https://oilandgascourses.org/2018/08/31/the-10-giant-offshore-oil-and-gas-fields-in-indonesia/)

Awalnya situasi di Papua lumayan kondusif, meskipun sempat terjadi gejolak disana sini. Namun situasi tambah panas, saat pemerintah Indonesia mencoba mengakuisisi usaha tambang emas tersebut dari Freeport di tahun 2018.

Usaha inipun sukses karena Inalum berhasil memiliki 51,23% saham dari Freeport di Grasberg. Padahal sebelumnya, pemerintah Indonesia hanya memiliki saham sekitar 9,3% saja.

Bukan itu saja, pemerintah Indonesia juga mengharuskan perusahaan asing yang bergerak di sektor pertambangan untuk rela kehilangan mayoritas sahamnya jika mereka ingin terus melakukan bisnis di Indonesia.

Ini jelas ngajak ribut, karena yang namanya elite global mana bisa diatur? Yang ada mereka-lah yang mengatur suatu negara memakai tentakelnya, termasuk Verkom dan Benny Wenda.

Gimana bisa tahu?

Coba diperiksa, apa isu yang diangkat dalam memperjuangkan Papua Barat Merdeka selain isu HAM dan Demokratisasi? (baca disini)

Jangan heran bila International Parliamentary for West Papua yang getol memperjuangkan Papua Barat merderka, bisa berkantor dengan nyaman di Inggris.

Bukan itu saja. Kampanye Free West Papua juga dilakukan secara masif dengan membuka kantor cabang di Oxford (Inggris), Den Haag (Belanda), Port Moresby (Papua Nugini) dan Perth (Australia) juga nggak kalah set. Kenapa banyak yang dukung? Apa iya dukungan politis tersebut diberikan secara gratis?

Lantas, apakah kasus Verkom yang kembali mencuat ditengah agenda Sidang Majelis Umum PBB yang akan dilaksanakan pada 22-29 September 2020 mendatang, adalah sebuah kebetulan? (https://www.liputan6.com/global/read/4360620/perdana-sejak-jadi-presiden-jokowi-akan-berpidato-di-sidang-majelis-umum-pbb-2020)

Dalam politik, nggak ada yang kebetulan. Bahkan jika agenda tersebut dikatakan hanya kebetulan.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!