Ketika Sorga Bergolak (Bagian 2)


525

Proses merger-nya Papua Barat kepangkuan Indonesia menyisakan beberapa masalah. Pertama, rakyat Papua Barat merasa tidak pernah diikut sertakan pada perundingan yang berlangsung di New York. Ibarat tuan rumah, tapi nggak dianggap sama tamunya.

Yang kedua, Belanda terlanjur melatih orang-orang Papua sebagai milisi bersenjata untuk menghadapi ancaman pasukan ABRI yang saat itu tengah melancarkan operasi Trikora atas bumi Papua sejak tahun 1961. Kelak pasukan bentukan Belanda inilah yang menjadi cikal bakal gerakan OPM sekarang dengan Bintang Kejora sebagai benderanya.

OPM sendiri didirikan oleh opsir-opsir Belanda pada 1965 bersamaan dengan meletusnya peristiwa G-30S/PKI, yang tujuannya satu: untuk membuat instabilitas di bumi Papua. OPM sendiri merasa bahwa mereka telah mendapat kemerdekaan yang diberikan Belanda pada 1 Desember 1961 lewat badan yang bernama Nieuw Guinea Raad.

Makanya tanggal 1 Desember begitu dianggap sakral oleh segenap anggota OPM, karena dianggap hari kemerdekaan bumi Papua Barat yang diberikan cuma-cuma oleh Belanda.

Selama pendudukan bumi Papua Barat pada jaman Orde Baru, praktis penduduk setempat tidak mendapatkan apa-apa. Tragis. Padahal kekayaan alam Papua Barat yang telah dirampok secara masif oleh Freeport saja dalam bentuk emas, nilainya telah mencapai 1,7 miliar ton. Berapa ribu trilyun, nilainya coba? Belum hasil alam lainnya.

Dan rakyat Papua Barat terus menerus menderita dibawah garis kemiskinan. “Makin bodoh, maka akan makin mudah dipermainkan,” begitu diktum yang ada.

Inilah yang kemudian menyebabkan tumbuhnya barisan sakit hati dan menyuburkan gerakan separatis disana. Tapi bukan AS namanya, kalo nggak bisa meredam gerakan bernama OPM. Oleh AS, gerakan ini malah mendapat binaan. Tujuannya sederhana: bila Freeport diusik, OPM akan segera bertindak sebagai centeng.

Menurut sasus yang beredar, OPM telah memiliki sekitar 4000 personil siap tempur. Nah untuk senjata, konon AS dan sekutunya-lah yang memasoknya. Modusnya bisa lewat darat, yaitu melalui perbatasan Papua Nugini dan via laut melalui Australia. Jangan heran kalo persenjataan OPM canggih-canggih, yah karena ada yang ngasih.

Makanya semasa Orba, kondisi di Papua Barat relatif aman, karena simbiosis mutualisme terjadi disana. OPM dapat kucuran dana dan senajata, Freeport bisa leluasa menguras kekayaan emas Papua.

Tapi memasuki era pemerintahan Jokowi, yang telah nekat mengambil alih Freeport, situasinya jadi berubah. Ditambah lagi niat Jokowi yang secara masif membangun infrastruktur di bumi Papua Barat tersebut, guna mengejar ketertinggalan.

Bayangkan kalo infrastruktur telah mumpuni disana, apa yang akan terjadi? Distribusi akan lancar. Dengan lancarnya distribusi, maka akan menekan biaya barang dan jasa. Otomatis harga-harga akan turun drastis. Dan ini akan membuka mata masyarakat Papua akan kemudahan yang didapat sebagai konsekuensi menjadi bagian wilayah Indonesia.

“Lha ngapain minta merdeka, kan harga-harga sudah murah plus semua-semua jadi mudah,” begitu pikir warga Papua Barat.

Dan ini jelas tidak boleh terjadi. Masyarakat Papua Barat harus tetap hidup dalam keterbelakangan dan kebodohan, agar rencana pendudukan Freeport atas wilayah tersebut dapat terus terjaga. Maka sekarang, OPM sebagai proxy war mereka kembali digerakkan. Dan puncaknya penembakan atas 31 orang pekerja Istaka Karya pada 2-3 Desember lalu yang bertujuan membangun infrastruktur.

Selain OPM, AS dan sekutunya juga giat menggalang lobby internasional untuk mendukung Papua Barat merdeka. Setidaknya tokoh sekelas Profesor Noam Chomsky dari Massachusetts Institute of Technology, pernah melontarkan tuduhan bahwa AS dan Australia telah berkolaborasi untuk melakukan aksi mengobok-obok Papua Barat.

Apa sih kepentingan negara sekutu atas Papua Barat? Motif ekonomi, jawabannya.

AS berkepentingan atas konsesi Freeport. Australia berkepentingan atas penguasaan kayu dari hutan-hutan yang ada di sana melalui McLean Ltd. Sedangkan Inggris berkepentingan atas konsesi British Petroleum untuk migas. Kalo ditelisik, ketiga perusahaan itu, dimiliki oleh pihak yang sama, siapa coba?

Lantas, bagaimana skenario yang akan dimainkan?

Manakala terjadi hal yang ‘tidak diharapkan’ atas Papua Barat, bukan tidak mungkin baik operasi militer OPM maupun lobby internasional sekaligus dijalankan. Dan keduanya akan bermuara pada situasi chaos. Dengan kekacauan, akan ada alasan untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang terjadi disana.

Dan jika ditenggarai terdapat pelanggaran HAM, maka pasukan sekutu akan segera intervensi, dan selanjutnya PBB lewat INTERFET akan ambil alih sebagai mediator. Langkah terakhir bisa diduga, Referendum-pun digelar untuk menentukkan nasib massa depan Papua Barat merdeka.

Bagaimana kira-kira hasil referendum nantinya, kita bisa berkaca pada Timor Leste yang dulunya bagian dari NKRI.

Inilah yang menyebabkan anggota TNI kesulitan untuk bertindak menumpas OPM, mengingat ‘mereka’ memiliki LSM-LSM dan juga media yang paling keras meneriakkan pelanggaran HAM jika terjadi kontak senjata atas OPM oleh TNI.

Lucu juga, mengingat tindakan OPM atas warga sipil, dari mulai menculik, memperkosa hingga membunuh, kok nggak ada yang teriak pelanggaran HAM? Nah kenapa begitu OPM diserang TNI, pada ramai-ramai teriak pelanggaran HAM?

Belum lagi, secara skill, anggota TNI konon katanya kurang mumpuni untuk mendeteksi, menangkal apalagi menumpas pengiriman logistik oleh pihak AS dan sekutunya bagi gerakan OPM. Inilah salah satu sebab, KKSB alias Kelompok Kekerasan Separatis Bersenjata di Papua Barat sulit untuk diberantas.

Akankah upaya mengoyak Sorga Papua Barat berhenti sampai disini? Tentu tidak, dan bukan tidak mungkin eskalasi malah akan meningkat. Satu point yang pasti, pikiran Pakde sukses dibuat bercabang di tahun politik ini karena masalah Papua Barat.

Dengan melihat serangan bertubi-tubi oleh negara-negara yang berkepentingan atas penguasaan kekayaan SDA Indonesia, akankah kita melakukan pembiaran atas langkah Pakde yang menghadapinya seorang diri?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!