Ketika Sorga Bergolak (Bagian 1)


525

Sekelompok pekerja dari Istaka Karya sedang bekerja membangun jembatan di jalur Trans Papua yang berada di Kali Yigi dan Kali Aurak, distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua pada 2/12 silam. Waktu itu kira-kira sore hari sekitar pukul 15:30 WIT.

Secara tak sengaja, mereka melihat upacara peringatan HUT OPM di daerah tersebut. Tiba-tiba seorang pekerja merekam momen tersebut dengan menggunakan telpon seluler miliknya. Apesnya, aksinya tersebut diketahui oleh anggota OPM sehingga mengakibatkan kekerasan bersenjata terjadi.

Karena takut momen ini tersebar di dunia maya dan implikasi selanjutnya, maka anggota OPM berinisiatif untuk ‘menghabisi’ para pekerja yang telah mengabadikan kegiatan mereka tersebut.

“Retetetetet….” letupan senapan terdengar. Seketika 24 orang pekerja meregang nyawa. 8 orang berhasil kabur, dan 7 diantaranya berhasil ditangkap dan akhirnya dihabisi dengan brutal. Tinggal 1 orang yang berhasil melarikan diri, dan hingga kini tidak diketahui bagaimana nasibnya.

Itu bukan cerita film atau fiksi. Itu adalah kronologi kejadian Nduga, yang menewaskan 31 orang pekerja BUMN Istaka Karya yang terjadi pada 2-3 Desember 2018 lalu.

Pertanyaannya sederhana: apa iya gegara mengabadikan peringatan HUT OPM kejadiannya bisa sekusut ini? Toh, tanpa aksi petakupet-pun, OPM-lah bukan organisasi tidak suka publikasi. Bahkan kalo mau lihat di Youtube, aksi mereka memang sarat publikasi, guna mendapat sokongan internasional atas perjuangan mereka.

Untuk menjawab ini, saya akan coba mengulasnya. Namun karena banyaknya informasi yang akan dibagikan, terpaksa saya akan menyajikan tulisan ini ke dalam 2 bagian. Bagian pertama akan mengulas tentang latar belakang Papua yang berintegrasi dengan Indonesia. Dan pada bagian kedua nanti akan dibahas tentang analisa tentang konflik Nduga tersebut.

Awalnya Papua Barat yang dahulu diberi nama Irian Jaya, adalah wilayah kolonial Belanda. Sejak Indonesia merdeka, mau tak mau Belanda harus mengakui kedaulatan RI sebagai konsekuensi logis kesepakatan KMB alias Konferensi Meja Bundar yang digelar di Den Haag pada 2 November 1949.

Cuma satu yang belum disepakati pada konferensi tersebut, yaitu menyangkut status Papua Barat. Baik RI maupun Belanda sama-sama ngotot untuk mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian dari negaranya. Karena berakhir deadlock, akhirnya disepakati untuk membahas wilayah Papua Barat setahun kemudian.

Waktu terus berlalu. Namun kesepakatan belum juga terjadi, hingga 12 tahun berselang. Hingga akhirnya Amerika Serikat-lah yang ngebet untuk menuntaskan masalah tersebut. Kok AS sangat bernafsu? Konon katanya, seorang peneliti dari AS telah mengendus tentang kayanya bumi Papua akan SDA dari emas sampai tembaga.

“Bayangkan kalo Papua bisa menjadi wilayah ‘kekuasaan’ kita,” demikian bisikan mautnya.

Dengan kata lain AS punya motif terselubung dibalik niat baiknya untuk menyelesaikan konflik Papua. Singkat cerita, atas desakan AS, pihak RI dan Belanda akhirnya berhasil melakukan perundingan. Perundingan pertama berlangsung di Villa Huntland Middleburg, Virginia, AS pada 23 Maret 1962.

Perundingan demi perundingan dijalani, hingga akhirnya setelah 5 bulan berselang terjadi kesepakatan dengan ditandatanganinya New York Agreement alias Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962.

Apa sih inti perjanjian tersebut? Bahwa selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963, Belanda wajib menyerahkan wilayah Papua Barat ke pangkuan Indonesia sepenuhnya.

Mengapa Belanda dipaksa keok pada perundingan tersebut? Yah karena ada tekanan dari AS. Bahwa AS tidak akan memberikan bantuan kepada Belanda, seandainya Belanda masih berkeras untuk mencaplok wilayah Papua.

Bagi AS, pihak Belanda akan lebih sulit untuk diatur ketimbang Indonesia, atas wilayah Papua Barat nantinya.

Papua Barat adalah sorga, dimana tanahnya sangat melimpah hasil alamnya. Syahdan, untuk mendapatkan emas di Papua, yang sekarang dikuasai Freeport, nggak perlu menggali dalam-dalam. Batuan yang mengandung emas sangat mudah ditemukan hanya dipermukaan tanah. Gila, gak?

Singkat cerita, tanggal 1 Mei 1963 wilayah Papua Barat akhirnya diserahkan kepada pihak Indonesia, melalui badan dunia UNTEA sebagai otoritas sementara. Sebenarnya lobi di tingkat PBB juga tidak lepas dari campur tangan AS, agar badan dunia tersebut mendukung dan memberikan legitimasi tindakan AS atas tanah Papua Barat.

Sebagai tindak lanjut penyerahan tersebut, maka wajib digelar Act of Free Choice alias Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang berlangsung selama 6 minggu, dari bulan Juli hingga Agustus 1969. Tujuannya cuma satu: untuk meyakinkan dunia internasional, bahwa rakyat Papua Barat telah menentukan nasibnya sendiri, tanpa tekanan pihak manapun.

PEPERA sendiri sebenarnya hanya akal-akalan AS semata, guna mendapatkan sokongan dunia internasional. Kok bisa? Indonesia yang saat itu dipimpin oleh rejim Soeharto yang merupakan rejim Boneka AS, akan sangat gampang diatur oleh kebijakan AS atas sorga Papua Barat.

Tok-tok-tok, hasil PEPERA menyatakan bahwa mayoritas rakyat Papua Barat menginginkan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan hasil PEPERA yang ditenggarai sarat kecurangan tersebut, rencana AS untuk mengeruk kekayaan alam Papua Barat-pun berlangsung mulus. Dan Indonesia seperti rencana, hanya diam tak berdaya menghadapi agresi perusahaan raksasa dari AS yang bernama Freeport.

Dan sejarah mencatat, dari Papua Barat-lah, kekayaan Freeport makin digdaya. Bicara tentang Freeport, kita sudah tahu siapa dibelakangnya. Inilah yang kelak akan mengatur tempo politik yang ada di bumi Papua Barat, bahkan pada kasus penembakkan 31 orang di Nduga, tempo hari.

Bagaimana ceritanya? Kita akan lanjut pada bagian kedua, nanti.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!