Belajarlah Dari Sejarah


516

Belajarlah dari Sejarah

Oleh: Ndaru Anugerah

“Apakah abang setuju bila Papua Barat memisahkan diri dari Indonesia?” tanya seorang melalui kanal whatsapp. Saya cuma bisa senyum menanggapi pertanyaan tersebut.

7 Desember 1975, dimulailah babak baru di Timor Timur dengan invasi tentara Indonesia atas wilayah tersebut. Invasi ini diberi nama operasi Seroja.

Kenapa Indonesia menggelar operasi tersebut?

Pemerintah Indonesia menganggap Timor Timur sebagai wilayah teritorinya, sehingga otomatis Timtim harus bergabung ke pangkuan NKRI sebagai spirit anti kolonialisme. Sebagai informasi, Portugal-lah yang berkuasa atas Timtim kala itu. (https://id.wikipedia.org/wiki/Operasi_Seroja#:~:text=Operasi%20Seroja%20atau%20Invasi%20Indonesia,Timur%20dengan%20alasan%20anti%2Dkolonialisme.)

Apa iya Indonesia menginvasi Timtim hanya karena alasan anti-kolonialisme semata? Nggak juga.

Tahun 1974, di Portugal terjadi peristiwa revolusi Anyelir yang sukses menjatuhkan kediktatoran fasis sayap kanan menjadi pemerintahan rejim sosialis. (https://www.euronews.com/2018/04/25/portugal-s-carnation-revolution-through-the-eyes-of-a-coup-captain)

Otomatis, Timtim (yang merupakan daerah jajahan) akan menjadi sosialis juga donk? Dan inilah yang buat ketar-ketir AS dan sekutunya, karena rumusannnya: sosialisme itu ibarat virus yang akan cepat menyebar. Satu-satunya cara adalah dengan melawannya.

Nggak aneh jika AS dan sekutunya (1977-1978) terlibat dalam memberikan dukungan persenjataan kepada militer Indonesia dalam menghancurkan basis Fretilin di Timtim. (https://nsarchive2.gwu.edu/NSAEBB/NSAEBB174/)

Singkat cerita, Fretilin-pun dipaksa keok oleh pasukan militer Indonesia. Dan Timtim bukan lagi satelit Portugal yang berhaluan kiri.

Namun seiring berjalannya waktu, Australia melihat bahwa Timtim bisa dijadikan aset yang berharga bagi negaranya. Ini dimungkinkan dengan adanya kandungan migas yang sangat potensial di kawasan yang disebut Celah Timor (Timor Gap). (https://www.theguardian.com/australia-news/2018/may/07/oil-and-gas-had-hidden-role-in-australias-response-to-indonesian-invasion-of-timor-leste)

Cuma untuk bisa mengupayakan Celah Timor tersebut, jelas nggak akan mungkin bila Timtim masih dalam kungkungan negara Indonesia. Maka nggak ada cara lain agar hubungan ini bisa diputus. Lewat apa? Referendum.

Tapi nggak lucu juga kalo tiba-tiba Timtim ujug-ujug minta referendum kek minta sunatan massal. Harus ada landasan yang kuat dalam menggiring opini publik internasional, sehingga bisa kasih dukungan politis atas langkah yang diambil Timtim.

Yang paling praktis adalah menggoyang dengan isu HAM, dimana pihak militer Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM berat atas warga Timtim. Salah satu yang paling banyak disorot adalah peristiwa Santa Cruz yang sukses menewaskan lebih dari 250 warga Timtim di tahun 1991. (https://www.liputan6.com/news/read/4107978/mengungkap-tragedi-berdarah-santa-cruz-28-tahun-lalu)

Atas nama genosida, ini sudah cukup dijadikan alasan digelarnya referendum bagi warga Timtim. Dan siapa negara yang paling getol mensponsori referendum tersebut? Australia jawabannya.

Setidaknya dokumen National Security Agency (NSA) yang mengkonfirmasi kebenaran hal tersebut. (https://www.theguardian.com/australia-news/2019/aug/30/infuriated-alexander-downer-tried-to-get-us-officials-to-back-up-response-to-east-timor-leaks)

Sebenarnya, nggak perlu juga dokumen NSA dalam menjawab pertanyaan tersebut. Coba dijawab, setelah lepasnya Timtim dari Indonesia, siapa negara yang paling diuntungkan?

Singkat kata, referendum digelar di tahun 1999 dibawah pengawasan Unamet PBB, dengan hasil 3/4 warga Timtim menolak opsi untuk tetap bergabung dengan NKRI. (https://www.dw.com/id/memperingati-20-tahun-referendum-timor-timur/a-50223772)

Dan pada 20 Mei 2002, Timor Leste sah status-nya sebagai negara merdeka. Australia-pun berdansa cha-cha-cha atas keberhasilan tersebut.

Ini nggak berlebihan, mengingat sejak tahun 1999, Australia telah mendapatkan keuntungan USD 2 milyar dari kawasan Celah Timor tersebut. (https://www.wattelectricalnews.com/NEWS/Editorial:-A-welcome-reversal-on-Timor-Gap/36126)

Bahkan sumber lain melaporkan bahwa Aussie sukses mengeruk 90% kekayaan laut Timor Leste selama beberapa tahun terakhir, selepas dari Indonesia. (http://rimanews.com/internasional/asia/read/20160225/263906/Pisah-Dari-Indonesia-Kini-Timor-Leste-Dijajah-Australia)

Lantas, apakah lepasnya Timtim dari Indonesia sebagai sebuah keputusan yang tepat?

Ukurannya gampang. Coba lihat kesejahteraan rakyat Timor Leste kini. Setelah mandiri, bukannya tambah makmur, Timor Leste kini mengalami kejatuhan ekonomi yang parah dan bahkan mengarah pada kebangkrutan.

Nggak aneh jika menurut data dari UNDP, Timor Leste menempati urutan ke 152 dari 162 negara ter-misqueen di dunia, dengan PDB per kapita yang hanya USD 2,356 per tahun. (https://kupang.tribunnews.com/2020/09/18/dulu-ngotot-pisah-dari-indonesia-begini-kondisi-terkini-timor-leste-xanana-pesimistis-kenapa?page=4)

Jadi, dalam menjawab pertanyaan di atas, saran saya: belajarlah dari sejarah kepada warga Papua Barat. Jangan dengarkan janji sorga dari tokoh sekelas Benny Wenda atau Verkom.

Alih-alih mau keluar dari goa singa, yang ada anda malah masuk ke sarang ular kobra.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!