Warisan Carter (*Bagian 1)


519

Warisan Carter (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pilpres AS di tahun 1976 telah menetapkan Jimmy Carter sebagai pejabat presiden yang berasal dari kubu Demokrat. Begitu melangkah ke Gedung Putih, layaknya presiden AS pada umumnya, komitmen utama yang diusungnya adalah penegakkan HAM. (https://id.wikipedia.org/wiki/Jimmy_Carter)

Bahkan seorang Prof. Noam Chomsky pernah mengeluarkan pernyataan bahwa Carter adalah presiden AS yang paling sedikit melakukan tindak kekerasan karena dianggap cinta damai. (https://www.counterpunch.org/2015/08/18/jimmy-carters-blood-drenched-legacy/)

Kalo anda hanya tahu tentang sosok Carter sebagai perantara perdamaian antara Israel dan Mesir melalui Camp David Accords atau sosok yang memberikan amnesti kepada pelanggar hukum saat Perang Vietnam, sepertinya main anda harus lebih jauh lagi.

Nyatanya, semua yang diketahui publik justru tidak seindah realitanya. Carter sangat royal dalam memberikan dukungan finansial dan militer kepada kaum fasis yang berkuasa guna menjalankan kediktatoran. Ini yang akhirnya memicu banyak genosida oleh rezim fasis di banyak negara yang disokong Carter.

Maksudnya?

Setelah menjadi pejabat presiden di tahun 1977, proyek pertama Carter adalah Zaire. Seperti kita tahu, setelah Patrice Lumumba dibunuh pada tahun 1961 (yang disponsori oleh CIA), otomatis penguasa di Kongo adalah Mobutu Sese Seko yang sengaja dipasang AS sebagai boneka.

Tugas Mobutu cuma satu, membendung kekuatan sosialis di Kongo (yang belakangan berganti nama menjadi Zaire). Jadi, walaupun terkenal kejam dan doyan korupsi, Mobutu tetap didukung sepenuhnya oleh AS.

Nggak aneh, saat terjadi pemberontakkan yang dipimpin oleh gerakan revolusioner MPLA di Zaire pada tahun 1977 guna menumbangkan kepemimpinannya, Mobutu langsung kontak Carter buat minta dukungan senjata dan finansial guna menumpas gerakan kiri tersebut.

Walaupun di depan publik Carter bilang nggak akan kasih dukungan, toh nyatanya Carter tetap kirim bantuan militer secara nggak langsung (lewat tangan Maroko) berupa ribuan serdadu yang telah dilatih oleh AS guna membantu Mobutu. Perang saudara tak terelakkan.

Berapa juta jiwa melayang akibat perang saudara tersebut?

Target kedua pemerintah Carter adalah Guatemala. Walaupun sempat menghentikan bantuan ke Guatemala karena dinilai telah terjadi pelanggaran HAM berat, nyatanya Guatemala dapat sokongan persenjataan lewat Israel yang telah mendapat green-light sebelumnya dari Washington. (http://www.nytimes.com/1982/12/19/world/us-military-aid-for-guatemala-continuing-despite-official-curbs.html)

Belum lagi pelatihan militer AS yang diberikan kepada pasukan keamanan Guatemala secara diam-diam guna membentuk Unit Pasukan Khusus pemerintah Guatemala. Kelak Unit Pasukan Khusus inilah yang kemudian menculik, memperkosa hingga membunuh warga sipil yang diduga komunis. (https://www.washingtonpost.com/wp-srv/inatl/daily/march99/guatemala11.htm)

Atas upaya Carter pada Guatemala, ribuan nyawa warga sipil di Guatemala meregang nyawa, dari mulai petani hingga pastur, termasuk adik pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Rigoberta Menchu. (https://www.berkeley.edu/news/berkeleyan/2000/05/10/menchu.html)

Target ketiga Carter di tahun yang sama adalah Timor Timur.

Setelah mendapat restu dari Henry Kissinger dan Gerald Ford di tahun 1975, pasukan Indonesia langsung menduduki Dili dan secara resmi membasmi pasukan Fretilin yang berafiliasi dengan gerakan kiri.

Sejak itulah terjadi genosida besar-besaran dan puncaknya terjadi di tahun 1977.

Karena situasi nggak terkendali, pada 1 Maret 1977, 95 anggota parlemen Australia kirim surat ke Carter supaya mengintervensi pasukan Indonesia di Timor Timur. (baca: The Washington Connection and The Third World Fascism: The Political Economy of Human Rights)

Bukannya merespon positif, nyatanya Carter malah meningkatkan bantuan finansial dan persenjataan bagi Indonesia yang saat itu dipimpin rejim boneka AS.

Memang berapa korban sipil yang tewas di Timor Timur?

Angka pastinya memang sulit didapat. Namun menurut investigasi FAIR, “Pada saat Carter meninggalkan Gedung Putih dan turun dari jabatannya di tahun 1981, kurang lebih 200 ribu orang telah ‘dibantai’ di Timor Timur.” (http://fair.org/media-beat-column/jimmy-carter-and-human-rights-behind-the-media-myth/)

Apakah catatan kelam Carter hanya terhenti sampai di Timor Timur?

Tentu tidak. Masih ada beberapa kasus besar hasil warisan pemerintahan Carter yang banyak dikenal masyarakat awam sebagai sosok pembela HAM.

Pada bagian kedua nanti saya akan membahasnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!