Postulat Koch pada Si Kopit


520

Postulat Koch pada Si Kopit

Oleh: Ndaru Anugerah

Bagaimana kita mengetahui bahwa suatu mikroorganisme dapat dikatakan sebagai penyebab penyakit tertentu? Melalui pembuktian sebab akibat. Inilah yang dalam dunia medis dikenal sebagai Postulat Koch.

Postulat Koch pertama ditemukan pada 1884 oleh Dr. Robert Koch. Dan selama dua abad, postulat tersebut dijadikan acuan karena mengandung standar emas (gold standard) dalam menetapkan etiologi mikrobiologi infeksi dan penyakit. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3775492/)

Perlu anda ketahui, bahwa ada 4 tahap dalam postulat tersebut. Pertama, mikroorganisme harus ditemukan pada individu yang sakit. Kedua, mikroorganisme tersebut harus dibiakkan. Ketiga, inokulasi individu sehat dengan mikroorganisme yang telah dibiakkan tersebut.

Dan terakhir, mikroorganisme dari individu yang sakit harus diisolasi dan diinokulasi kembali, guna dicocokkan dengan mikroorganisme yang asli.

Namun seiring perkembangan jaman, muncullah ilmu baru dalam dunia kedokteran yang dinamakan virology yang mengupas tentang virus di tahun 1937. Akibatnya, Thomas M Rivers menawarkan revisi atas Postulat Koch tersebut. Dari 4 tahap menjadi 6 tahap.

Ini perlu dilakukan untuk membuktikan bahwa virus tertentu dapat menyebabkan penyakit. Dan yang kedua, virus nggak bisa bereplikasi di luar sel inang atau media netral manapun. (https://davidcrowe.ca/SciHealthEnv/papers/5393-Viruses-Koch%2527sPostulates.pdf)

Pertama, isolasi virus dari inang alias orang yang sakit. Selanjutnya, virus tersebut dibudidayakan dan disuntikkan pada individu sehat. Setelah individu tersebut sakit, maka virus yang ada dalam dirinya diisolasi kembali dan dicocokkan dengan virus yang pertama.

Masalahnya, apakah dalam pandemi si Kopit, virusnya telah diisolasi? Kalo nggak mana bisa tahu virusnya ada apa nggak? Mana bisa tahu kalo virusnya bisa menyebabkan penyakit atau tidak?

Itu akan saya jawab nanti.

Satu yang pasti, postulat Koch justru tidak dipakai dalam pandemi ini. Alasannya, karena ada orang yang tidak memiliki gejala penyakit, tapi justru positif memiliki virus Kopit berdasarkan test PCR. (https://respectfulinsolence.com/2020/12/18/quacks-misuse-kochs-postulates-to-deny-covid-19/)

Nah terus apa itu penyakit?

Secara definitif, penyakit adalah setiap penyimpangan formal suatu organisme, yang umumnya berkaitan dengaan tanda dan gejala tertentu dan berbeda sifatnya dari cedera fisik. (https://www.britannica.com/science/disease)

Tanda adalah bukti potensi sesuatu. Misalnya kalo anda diracun seseorang, akan ada tanda fisik bahwa anda telah keracunan. Sedangkan gejala adalah perubahan fisik/psikologis yang dapat diamati. Misalnya kalo anda kena flu, maka hidung anda akan meler.

Dengan kata lain, tanda dan gejala diperlukan seorang dokter untuk membuat diagnosis.

Masalahnya, dalam Kopit ada istilah orang tanpa gejala alias asimtomatik. Jadi nggak ada gejalanya, tapi berdasarkan hasil test PCR, hasilnya positif. Bingung, kan?

Kondisi diperburuk saat gejala umum dari Kopit, sangat mirip dengan flu, semisal: suhu tinggi, batuk-batuk dan juga kehilangan indera penciuman.

Jadi, kalo begitu, apakah Kopit itu penyakit atau bukan? Berdasarkan definisinya cukup membingungkan. Dilihat tandanya nggak kelihatan. Paling pol dilihat dari gejalanya yang sangat mirip dengan penyakit pernapasan lainnya.

Karena para dokter pusing, maka yang terjadi adalah istilah ‘diduga’ Kopit lalu digunakan. Nggak ada gejalanya, tapi dinyatakan positif lewat hasil test. (baca disini)

Kembali ke laptop.

Apakah virusnya sudah di-isolasi?

WHO menegaskan bahwa virusnya telah di-isolasi, berdasarkan data dari otoritas Tiongkok. (https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/330760/nCoVsitrep21Jan2020-eng.pdf?sequence%3D3%26isAllowed%3Dy)

Berdasarkan data dari China tersebut, peralatan pengujian di seluruh dunia telah mengacu pada hal tersebut. Termasuk test PCR.

Tapi anehnya, begitu dikonfirmasi, ilmuwan Wuhan bilang begini, “Hubungan antara 2019-nCoV dan penyakit belum diverifikasi pada hewan percobaan untuk memenuhi dalil Koch guna membuktikan hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara virus dan penyakit.”

Mereka menambahkan bahwa informasi urutan virus bukan berasal dari sampel yang diisolasi dari virus manapun, melainkan dari ‘kecocokan’ dengan fragmen (urutan nukleotida) dengan urutan genetik lain yang telah ditemukan sebelumnya. (https://www.nature.com/articles/s41586-020-2012-7)

Jadi, karena dilihat 79,6% ‘mirip’ dengan SARS-CoV-1 yang ditemukan pada 2003 di Hong Kong, maka virus tersebut kemudian diberikan nama SARS-CoV-2.

Omaigat.

Ini sangat fatal. Kenapa? Antara manusia dan simpanse, urutan genomnya juga 98% mirip. Tapi nggak mungkin kita katakan bahwa manusia adalah simpanse jilid 2, bukan? (https://www.nature.com/articles/nature04072)

Ini bukan konspirasi, karena semua ada datanya. Silakan anda pikir sendiri dengan semua kejanggalan yang ada.

Pertanyaan selanjutnya, gimana mungkin PCR bisa digunakan dengan handal dan memenuhi standar emas, kalo semua diawali dengan proses yang acak-adut? (baca disini dan disini)

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


5 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Trs yg di sinovac tu isinya apa bang? Wg ulamak Wuhan saja blg demikian…
    Oy, di satgas jg pake TCM. Pencerahannya donk bank. Terima suwun ??

error: Content is protected !!