Pola-Pola yang Sama
Oleh: Ndaru Anugerah
Hari-hari belakangan ini, bukan hal yang mengenakan terjadi di Perancis sana. Ini lantaran demonstrasi yang telah berlangsung berminggu-minggu tanpa adanya kejelasan kapan akan berakhir. Tidak hanya itu, sebab aksi jalanan mulai meningkat eskalasinya dengan adanya aksi pembakaran.
Apa penyebabnya kok demonstrasi bisa berjalan secara marathon?
Sepele sebenarnya. Ini karena Macron berniat menaikkan usia pension warga Perancis dari semula 62 tahun menjadi 64 tahun. Hanya 2 tahun saja, kemudian baru ditingkatkan hingga usia 66 di tahun 2028 mendatang.
Lalu kenapa masalahnya jadi kusut seperti ini sampai ada aksi bakar-bakaran segala di berbagai daerah? (https://www.npr.org/2023/03/16/1163863267/france-retirement-pension-strikes-protests-vote)
Asal tahu saja, bahwa usia pensiun beberapa negara di Eropa juga ada disekitaran itu, bahkan ada yang lebih tua dari angka 64 seperti yang diusulkan Macron. Jerman salah satunya. Namun, nggak ada juga tuh aksi bakar-bakaran di Jerman ala Perancis. (https://www.oecd-ilibrary.org/sites/304a7302-en/index.html?itemId=/content/component/304a7302-en)
Apa alasan Macron menaikkan usia pensiun?
Kas negara terkuras habis untuk dana pensiun yang luar biasa banyak. Selain itu, sudah rahasia umum kalo Perancis merupakan kontributor besar bagi Ukraina dalam menjalankan aksi ‘main perang-perangan’ melawan Rusia. (https://www.reuters.com/world/europe/france-will-increase-financial-aid-ukraine-by-300-mln-macron-tells-donor-2022-05-05/)
Kedua hal itulah yang buat Perancis boncos. Dan untuk menanggulanginya, negara terpaksa menaikkan usia pensiun dengan harapan uangnya bakal tersedia di kemudian hari. Yang jelas hari ini, kas-nya bapet.
Ini jelas lucu, mengingat mayoritas rakyat Perancis menolak keanggotaan negara mereka pada NATO, tapi Macron malah mati-matian mempertahankan keanggotaan tersebut.
Walhasil, sebagai anggota NATO, kas negara terpakai juga untuk program-program NATO, salah satunya mendanai perang di Ukraina. (https://moderndiplomacy.eu/2022/10/10/the-french-call-for-nato-exit/)
Tuntutan warga Perancis bukan hal yang luar biasa, mengingat dulu semasa kepemimpinan Charles de Gaulle, negara tersebut pernah juga hengkang dari NATO karena dianggap nggak menguntungkan. (https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14794012.2011.593819)
Baru di masa kepemimpinan Nicolas Sarcozy yang merupakan alumni Davos School (Young Global Leaders) Perancis kembali bergabung ke NATO di tahun 2009. (https://www.theguardian.com/world/2009/mar/11/france-sarkozy-nato)
Namun bukan ini yang jadi titik perhatian kita. Perhatiannya harusnya tertuju pada meningkatnya aksi-aksi kekerasan yang mendompleng massa demonstran damai. Apakah mungkin karena hal sepele, lantas aksi bakar-bakaran dapat dibenarkan? Terlalu lebay.
Sebaliknya, apakah aksi kekerasan yang disajikan, justru membuka jalan bagi pemerintah Perancis untuk berlaku represif terhadap warganya?
Pertanyaan selanjutnya, apakah aksi bakar membakar murni dilakukan para demonstran atau justru ada yang menunggangi?
Ini cukup beralasan untuk ditanyakan.
Anda pernah dengar Black Bloc, demonstran yang memakai busana serba hitam, lengkap dengan masker muka yang juga hitam? Mereka-lah yang menjalankan aksi kekerasan dengan membakar mobil, ban, toko/restauran hingga memprovokasi polisi untuk bertindak brutal di lapangan. (https://www.thelocal.fr/20230331/black-bloc-who-are-the-black-clad-figures-who-hog-the-headlines-at-french-protests)
Siapa mereka?
Bukankah kelompok yang sama juga pernah menjalankan aksinya saat konferensi G20 di Hamburg, Jerman di tahun 2017 silam, yang menyebabkan ratusan aparat kepolisian terluka akibat bentrok dan puluhan demonstran terpaksa ‘diamankan’? (https://www.buzzfeednews.com/article/mitchprothero/water-cannons-vs-the-black-bloc-the-story-of-the-g20)
Sebenarnya, kalo anda tahu bagaimana cara kerja lembaga semisal Open Society Foundation atau NED/USAID, perihal infiltrasi yang dilakukan denganmemprovokasi aparat untuk bertindak brutal di lapangan, bukan hal yang baru dilakukan. (baca disini, disini, disini dan disini)
Apa targetnya?
Buat situasi makin runyam, sehingga membuka jalan pihak aparat keamanan untuk bertindak represif kepada para demonstran yang justru ‘main aman’ di lapangan.
Itu pertama.
Point kedua yang perlu dikritisi adalah bahwa dari hal-hal sepele untuk diangkat sebagai materi demonstrasi, kemudian berujung rusuh diakhir cerita.
Ambil contoh kasus di Italia, dimana PM Giorgia Meloni membatasi hak anak-anak dari pasangan sesama jenis. Lucunya, aturan main pernikahan sejenis sudah dilegalisasi sejak 2016 di Italia, termasuk di Milan. Lalu kenapa sekarang dipermasalahkan Meloni? (https://www.lemonde.fr/en/international/article/2023/03/18/protests-in-italy-as-government-limits-rights-of-same-sex-parents_6019846_4.html)
Akankah aksi yang sudah melibatkan puluhan ribu oranh ini menjadi bola salju di kemudian hari? Entahlah.
Kasus lainnya juga terjadi di Jerman, dimana terjadi aksi pemogokan transportasi secara besar-besaran di negara industri tersebut. (https://www.cnn.com/2023/03/27/business/germany-transport-strikes-intl/index.html)
Penyebabnya juga sepele. Serikat pekerja menuntut kenaikan gaji di tengah inflasi yang cukup tinggi. Tuntutan tersebut dinilai sebagai hal yang berlebihan bagi pemilik perusahaan, di tengah krisis.
Bahkan mediasi yang dilakukan pemerintah berujung buntu. Akankah ini berujung pada aksi yang makin membesar? Entahlah. (https://www.thelocal.de/20230330/after-verdi-talks-will-there-be-unlimited-strikes-in-germany)
Satu yang pasti, ada kesamaan dibalik semua aksi-aksi tersebut, yaitu tuntutan yang normatif alias sepele, namun belakangan berakhir runyam. Disinilah penanganan secara represif secara otomatis dibukakan jalannya.
Sekali lagi, apakah ini hanya kebetulan semata?
Ataukah ini justru selaras dengan agenda The Great Reset yang mengamatkan pemerintah dunia yang totalitarian? (https://sociable.co/government-and-policy/brazil-says-no-great-reset-totalitarian-social-control-not-remedy-crisis/)
Silakan dijawab sesuai dengan jenis kelamin anda masing-masing.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments