Permainan Tingkat Tinggi


517

Kasus provokasi yang dilakukan para komprador mamarika di negeri ini tengah coba dimainkan. Dan ini sudah bisa ditebak begitu kasus video UAS merebak.

Banyak teman menanyakan ada apa gerangan? Saya sengaja nggak kasih jawaban melainkan memberi saran, “Kalo nggak tahu apa-apa mendingan tahan diri.” Karena saya tahu, ini bukan kasus yang biasa. Ada upaya untuk memainkan perang asimetrik saat ini.

Siapa yang berkepentingan?

Sebelum menjawab masalah ini, saya coba sedikit flashback.

Merebaknya video lawas UAS menjelang hari kemerdekaan RI, jelas merupakan provokasi. Apa tujuannya? Mikirnya simpel. Siapa sebenarnya yang disasar untuk diprovokasi lewat video ini? Apa mungkin ummat Hindu atau Budha?

Klir ya, sampai sini.

Tapi apesnya, mayoritas ummat Nasrani nggak punya sumbu pendek. Sumbu mereka sangat panjang, sehingga nggak gampang meledak. “Udah biasalah Tuhan kami dihujat,” demikian papar mereka.

Singkat kata, provokasi nggak menghasilkan sesuatu yang diharapkan.

Pertanyaannya, apa iya pemangku kepentingan asing di Indonesia nggak punya komprador yang kebetulan minoritas juga? Ada. Banyak malah. Pada saatnya nanti saya akan ungkap siapa-siapa saja mereka.

Kembali ke laptop…

Setelah viralnya video UAS tersebut, reaksi atau tekanan yang saya pantau di media sosial terbagi atas 2 golongan. Pertama, yang menginginkan klarifikasi UAS dan kalo bisa permohonan maaf terucap dari dirinya, sehingga nggak diperpanjang ke jalur hokum.

Dan yang kedua, adalah mereka yang mengingkan UAS tetap diproses hukum. Mereka mengambil analogi kasus Ahok sebagai referensinya. Bersalah apa tidaknya, biar hukum yang membuktikan.

Tapi kedua suara itu, normatif sifatnya. Maksudnya? Reaksi wajar dari seseorang yang merasa disinggung keyakinannya. Dan yang normatif tentu bukan sasaran utama yang diharapkan oleh pihak yang melakukan provokasi.

Melihat sasaran utamanya nggak membuahkan hasil, maka ‘dalang provokasi’ terpaksa menggerakkan komprador dari sisi yang lain untuk melakukan provokasi. Tujuannya mirip-mirip tukang jual obat. Nyuruh ‘temannya’ beli obatnya sebagai pancingan agar orang lain mau membeli obat yang sama.

Siapa itu?

Coba lihat apa yang dikatakan sekda Papua (Hery Dosidaen) pada video viral yang beredar di dunia maya (15/8).

“Atas Nama Gubernur Papua saya mengimbau …. mari pada tanggal 15 Agustus 2019, kita sisihkan waktu 1 jam untuk berdoa bagi bangsa ini, untuk berdoa bagi tanah Papua, Tanah Israel Kedua, The Second Land of Israel..”

Apa maksud pernyataaan tersebut? Ngapain juga bawa-bawa nama Israel kalo seruannya untuk umat Kristiani di Papua untuk berdoa? Emang ada hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel? Apa nggak pernah dibayangkan dampaknya kalo video ini disimak oleh para sumbu pendek yang ada dikubu sebelah?

Dan ujungnya, Jokowi juga yang jadi sasaran tembak, mengingat pejabat Kemendagri ada dibawah kewenangan beliau. Bisa jadi diplintir, bahwa pemerintahan Jokowi adalah thogut yang pro-Israel. Jadi kusut urusannya kalo ini terjadi.

Apakah ini kebetulan belaka?

Dibilang kebetulan, tapi kok janggal. Mengingat dalam politik berlaku hukum: tidak ada yang kebetulan. Alias semuanya by design.

Aliasnya ini adalah upaya provokasi. Saat provokasi pertama berupa video UAS yang gagal sampai ke sasaran, butuh provokasi kedua untuk menstimulir terjadinya aksi balasan yang diharapkan. Yah, mirip-mirip strategi penjual obat, seperti yang saya sebutkan sebelumnya.

Menurut sasus yang saya dapat, memang ada kalangan Kristen tertentu, yang menganggap mereka sebagai bagian dari bangsa Israel. Bagi mereka, menghujat Israel sama saja menghujat Tuhan atau menyerang keyakinan mereka. Kebencian mereka, konon ditujukan pada pihak-pihak yang memerangi Israel.

“Merekalah yang dinamakan ZSM,” demikian bisik seorang narsum.

Untungnya, sebelum kasus melebar, pihak kepolisian keburu menciduk sang Sekda dengan kasus berbeda, yaitu atas penganiayaan 2 pegawai KPK di Hotel Borobudur, Jakarta tempo hari (2/2).

Untuk sementara, kasus provokasi memang belum membuahkan hasil berupa pematangan isu yang mau diangkat. Tapi bukan berarti ‘permainan tingkat tinggi’ ini akan berakhir.

Betewe eniweu baswei… kenapa Somad baru kasih klarifikasi saat udah sukses kabur ke Sudan, ya?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!