Mengulang Jejak Soviet?


516

Mengulang Jejak Soviet?

Oleh: Ndaru Anugerah

Kita tahu bahwa salah satu faktor ambruknya Uni Soviet adalah karena perang Afghanistan yang berlangsung selama kurleb 1 dekade. Dengan menggelar perang yang berkepanjangan di Afghanistan, secara nggak langsung menguras keuangan Soviet kala itu yang berujung pada bubarnya Kondominium Ndoro besar di akhir cerita. (baca disini dan disini)

Pertanyaannya: apakah situasi yang sama akan dialami Rusia dibawah kepemimpinan Putin, yang saat ini ‘katanya’ menginvasi Ukraina? Apakah skenario Afghanistan akan digelar kembali AS dan sekutunya, guna membangkrutkan ekonomi Rusia saat ini?

Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita bahas dengan kepala dingin.

Kita tahu bahwa Putin adalah sosok yang nggak disukai Barat sejak dirinya mengambil alih kepemimpinan Rusia dari tangan Boris Yelstin sejak 2000 silam (setelah sebelumnya menjabat sebagai perdana menteri). (https://nypost.com/2016/12/11/vladimir-putin-will-always-be-americas-enemy/)

Mungkin hal yang bisa menjelaskan ketidaksukaan AS pada sosok Putin adalah saat dirinya menyampaikan pidato di Munich pada tahun 2007 silam, yang intinya mengecam aksi militer AS yang dianggapnya sebagai penghinaan terhadap hukum internasional. (https://tass.com/politics/930271)

Ketidaksukaan makin menemukan salurannya saat Rusia mendukung Suriah (dibawah kepemimpinan Bashar Assad) yang saat itu menjadi target perubahan rezim AS yang ada di TimTeng. Sialnya, hingga saat ini, rezim Assad belum berhasil ditumbangkan karena adanya campur tangan Rusia didalamnya. (https://www.bbc.com/news/newsbeat-39554171)

Belum lagi upaya AS dalam menggelar revolusi warna di wilayah bekas Soviet, yang juga mengalami kegagalan akibat campur tangan Rusia didalamnya. (baca disini dan disini)

Point yang saya mau sampaikan: Rusia dibawah kepemimpinan Putin, lebih matang dalam menggarap konstelasi geopolitik, ketimbang era Soviet dulu. Ini yang mungkin AS dan sekutunya nggak sadar akan fakta ini.

Tetiba provokasi dilakukan, yang memaksa Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari silam. Nggak perlu wakru lama bagi AS dan sekutunya untuk menuding bahwa Rusia adalah agresor layaknya Hitler.

Padahal, itu bukan aksi tapi REAKSI dari dilanggarnya Minsk Protocol pada wilayah Donbass oleh tentara Ukraina sejak 8 tahun terakhir. (baca disini dan disini)

Singkat cerita, sanksi ekonomi-pun dijatuhkan pada Rusia yang ‘dianggap’ melabrak hukum internasional karena aksi invasinya. (https://www.nytimes.com/2022/02/28/us/politics/us-sanctions-russia-central-bank.html)

Apakah ini efetif?

Sebagai analis, saya meragukannya. (baca disini)

Dan sepertinya, Rusia kembali diprovokasi untuk memperpanjang aksinya di Ukraina. Ini dapat terlihat dengan jelas saat tentara bayaran yang sengaja disewa AS untuk mengacaukan situasi di Donbass. (https://consortiumnews.com/2022/02/21/putin-recognizes-donbass-independence-as-violence-soars/)

“Orang-orang Ukraina telah sering melakukan aksi penembakan pada wilayah kami sejak 2015 dan juga mengadakan aksi pembakaran gedung. Kapan situasi ini akan berakhir? Kapan Putin akan datang untuk menyelamatkan kami selaku warga Donbass?” ungkap seorang warga. (https://www.youtube.com/watch?v=I-IC-u-yl70)

Jika anda seorang Putin dan mendengar jeritan warga Donbass yang mayoritas beretnis Rusia, apa anda nggak punya nurani untuk bertindak?

Kembali ke laptop.

Bisa dikatakan bahwa ada upaya AS untuk menggembosi perekonomian Rusia lewat skenario ‘perang’ di Ukraina.

Ini bukan kaleng-kaleng, karena lembaga think-tank sekelas Rand Corporation (selaku lengan deep state) telah buat rencana ini sejak 2019 silam. “Sanksi ekonomi akan dapat menjatuhkan ekonomi Rusia,” begitu kurleb-nya. (https://www.rand.org/pubs/research_briefs/RB10014.html)

Nggak terlalu sulit untuk menebak kemana muara dari skenario ini.

Saat penduduk Rusia menyalahkan Putin atas kesulitan ekonomi yang mereka alami, maka diharapkan perubahan rezim bisa digelar untuk menjatuhkan kepemimpinannya.

Untuk menyukseskan rencana ini, maka semua upaya damai dengan Rusia, kemudian ditekan habis-habisan oleh AS.

Misalnya saat Volodymyr Zelenski hendak mengadakan negosiasi gencatan senjata dengan Rusia, AS menentang rencana ini. (https://larouchepub.com/pr/2022/202202276_anglo_am_aim.html)

Bukan hanya itu, karena AS juga berencana untuk memberikan paket bantuan militer ke Ukraina senilai USD 6,4 milyar, apa tujuannya selain menggelar perang dengan Rusia? (https://www.reuters.com/world/us/biden-administration-push-congress-64-billion-aid-ukraine-schumer-2022-02-27/)

Atau saat Jerman yang selama ini terbiasa memakai gas Rusia sebagai bahan energi bagi warganya, juga ditekan AS untuk tidak memakai gas alam dari Beruang Merah lagi. Apa motifnya selain memperburuk kondisi ekonomi Rusia? (https://www.counterpunch.org/2022/03/01/america-defeats-germany-for-the-third-time-in-a-century/)

Sekali lagi pertanyaannya: akankah skenario ulangan di Afghanistan dapat menggulung Rusia juga kali ini?

Satu yang perlu dicatat, bahwa Putin itu seorang petarung. Jangan samakan dia dengan sosok Gorbachev atau Yelstin. Nggak akan sama. Sikap tenangnya yang akan membawa solusi bagi warga Rusia, ditengah tekanan yang ditujukan pada dirinya.

Setidaknya, Putin berencana untuk membangun ekonomi penahan yang mampu memproduksi barang-barang vital di dalam negeri dan juga mengumpulkan cadangan mata uang asing dengan jumlah fantastik, yang sudah tentu dapat diakses oleh dirinya kapanpun dia mau. (https://www.cnn.com/2022/02/26/business/russia-economy-sanctions/index.html)

Dan yakinlah, ketika Ukraina berhasil ‘ditekuk’ oleh Rusia, saat itu juga skenario yang telah dirancang AS pada Rusia akan hancur berkeping-keping layaknya kekalahan yang mereka rasakan pada perang di Suriah.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!