Mendorong Agenda Bersama


522

Mendorong Agenda Bersama

Oleh: Ndaru Anugerah

Bagaimana program SDG 2030 bisa digelar dengan baik?

Jawabannya: jika dan hanya jika program identitas digital (ID2020) sudah dijalankan sesuai rencana.

Dengan data yang kemudian didapat dan disimpan pada Big Data dan Clouds, maka program selanjutnya berupa kontrol digital dapat digelar. Saat itulah SDG 2030 bukan lagi utopia untuk dijalankan.

Sayangnya banyak yang nggak paham skenario ini. Orang malah sibuk membicarakan skenario perang-perangan antara Hamas dan Israel, atau mungkin putusan MK tentang syarat seorang cawapres untuk bisa berlaga pada pilpres 2024 mendatang.

Padahal, sekelas WEF telah menggaungkan program identitas digital tersebut pada akhir September silam. Namun berita tersebut sengaja tidak diekspos oleh media mainstream. (https://www.weforum.org/agenda/2023/09/3-urgent-questions-digital-identity/)

PBB melalui divisi program pembangunannya juga sudah menyuarakan hal yang sama pada medio September silam, dimana akan ada aturan main bagi penerbitan identitas digital. (https://www.undp.org/digital/blog/governing-digital-legal-id-systems-effectively-ensure-inclusion-and-respect-human-rights-0)

Bahkan demi menyukseskan acara ini, dana jumbo juga akan digelontorkan agar program ini bisa dilaksanakan pada lebih dari 100 negara di dunia. (https://www.undp.org/press-releases/un-digital-event-mobilizes-global-leadership-and-us400-million-support-digital-public-infrastructure)

Nggak heran jika beberapa negara telah ambil bagian pada program ini.

Beberapa negara bagian di AS bahkan ikutan program ini. Mereka berencana mengeluarkan tanda pengenal digital dalam waktu dekat. (https://news.bloomberglaw.com/privacy-and-data-security/digital-id-cards-spread-across-us-states-with-range-of-new-uses)

Singapura juga mau ikutan rilis tanda pengenal digital bagi warganya yang bakal terintegrasi dengan Conexa (sebagai platform manajemen akses jarak jauh). (https://mobileidworld.com/singaporean-access-management-platform-integrates-yoti-digital-ids/)

Bahkan negara sekelas Somalia, juga ‘dipaksa’ ikutan program identitas digital ala PBB tersebut. Ini jelas progres mengingat sudah 3 dekade program identitas digital tersebut mandek. (https://www.voanews.com/a/somalia-s-digital-id-revolution-a-journey-from-standstill-to-progress/7271250.html)

Singkatnya, banyak negara ikutan program besar yang dimajukan PBB tersebut dan ada dana operasional juga.

Lantas negara mana yang paling siap menjalankan program identitas digital?

Dari semua negara, Australia mungkin bisa dikatakan yang paling siap merilis program identitas digital. Kesiapan itu dapat terlihat dari sosialisasi program bagi seluruh warga Aussie, sebelum implementasinya di tahun depan. (https://www.forbes.com/advisor/au/personal-finance/national-digital-id-introduction/)

Pada November mendatang, National Australia Bank bakal merevisi aturan lama pada bank tersebut dengan menerapkan aturan baru.

Point perubahannya adalah ‘pihak bank bisa (tanpa persetujuan nasabah) menutup rekening bank anda kapan saja sesuai kebijakan mereka’. (https://www.nab.com.au/content/dam/nabrwd/documents/guides/banking/personal-transaction-and-savings-products-terms-and-conditions-changes.pdf)

Kenapa terkesan represif?

Apa alasan utama dibalik upaya revisi tersebut?

Antara lain alasan yang berkaitan dengan perlindungan masyarakat rentan, isu lingkungan hidup yang berkelanjutan, harapan masyarakat ataupun nama baik bank.

Jadi, misalkan anda tidak setuju terhadap narasi perubahan iklim yang diakibatkan oleh bahan bakar fosil, maka pihak bank sah-sah saja menutup rekening anda pada bank tersebut, tanpa anda ketahui sebabnya.

Dan anda nggak bisa protes terhadap beleid ini.

Itu di Aussie.

Di Jepang beda lagi ceritanya. Di negara matahari terbit tersebut diperkenalkan sistem digital baru berupa penerbitan mata uang digital yang akan dirilis pada Juli 2024 mendatang.

Kelak mata uang yang diberi nama DCJPY tersebut bakal dipakai sebagai alat transaksi yang diklaim ramah lingkungan. Karena bersifat digital, maka otomatis ramling, bukan? (https://www.reuters.com/technology/japan-firms-issue-digital-currency-clear-energy-transaction-2023-10-12/)

Bicara soal uang digital, China juga tengah menguji mata uang digital berbasis SIM sebagai pembayaran alternatif melalui jaringan seluler, yang diberi nama dompet keras e-CNY.

Proyek ini mendapat sokongan penuh dari Bank of China, China Uncom dan China Telecom. (https://www.scmp.com/tech/big-tech/article/3237735/china-digital-currency-beijing-forum-promotes-sim-based-e-cny-hard-wallet-alternative-mobile)

Jadi apa yang bisa disimpulkan?

Bahwa dibalik skenario perang di Timur Tengah, nyatanya proyek identitas digital malah intens digelar di banyak negara. Namun pemberitaan ini nggak terlalu banyak diekspos ke publik oleh media mainstream.

Yang banyak orang pahami hanya soal perang antara Hamas dan Israel, yang berujung pada pengkubuan pada kedua belah pihak. Dukung Hamas atau Israel? Titik.

Padahal pengalaman yang kita dapat selama plandemi Kopit dengan jelas mengajarkan kita bahwa mempercayai narasi yang diusung media mainstream, jelas sebuah kesesatan.

Apa waktu 3 tahun lamanya nggak cukup untuk kita belajar menjadi bijak dan nggak gampang dikibulin?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


5 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Yang saya heran banyak kampus-kampus mendirikan SDG centre dan sangat membanggakannya, padahal banyak orang cerdas dan pintar disana, so sad…

  2. Bang, sekarang ini sementara berproses penyusunan RPJPN dan RPJPD utk 2025-2045 dan capaian2 SDG’s (aspek ekonomi, sosial, ling hidup, hukum dan kelembagaan) menjadi salah satu syarat untuk penyusunan dokumen2 tersebut

error: Content is protected !!