Menata Pengobatan Modern (*Bagian 4)


529

Menata Pengobatan Modern (*Bagian 4)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama, kedua dan ketiga lukisan, kita telah membahas tentang bagaimana kurikulum kedokteran modern di AS dikudeta oleh Rockefeller, dengan memaksakan mazhab teori kuman.

Selain itu, kita juga telah mengulas bagaimana jurusan baru ‘virologi’ sengaja dimunculkan agar kelak semua plandemi bisa digelar, dan ujung-ujungnya virus-lah yang akan disalahkan. Nyatanya, penyebab plandemi semisal polio, bukanlah virus seperti klaim gerombolan Rockefeller, melainkan keracunan makanan yang disebabkan oleh DDT. (baca disini, disini dan disini)

Bagaimana kita mengetahuinya?

Pada dekade 1950an, perhatian publik AS digemparkan dengan kemungkinan penggunaan pestisida berat dalam sektor pertanian. Ini bukan hanya DDT tapi juga BHC (Benzene Hexa Chloride) yang sangat beracun jika diaplikasikan pada produk-produk pertanian dan peternakan.

Adalah Dr. Morton S. Biskind yang berbicara di depan Kongres AS tentang kemungkinan hubungan antara pestisida beracun dan penyakit polio. Secara singkat Dr, Biskind menyatakan bahwa DDT dan juga BHC yang disemprotkan pada produk ternak dan pertanian, akan terakumulasi pada tubuh manusia yang mengkonsumsinya. (https://europepmc.org/article/MED/14832501)

Dengan kata lain, kalo seseorang memakan produk yang telah tercemar pestisida, maka bisa dipastikan dirinya akan mengalami beberapa gejala pada tubuhnya seperti: gastroenteritis, penyakit saraf berulang secara terus menerus hingga kelemahan otot yang sifatnya ekstrim dan melumpuhkan.

“Lebih dari 200 kasus yang telah saya amati, DDT telah bertanggungjawab atas banyak kecacatan pada tubuh manusia, yang tidak dapat dijelaskan,” ungkap Dr, Biskind.

Satu yang perlu dicacat, bahwa kasus polio paling banyak terjadi justru di musim panas, saat penyemprotan DDT terhadap serangga, secara brutal dilakukan. Dan Dr. Biskind punya data tersebut.

Apakah kesaksian Dr. Biskind diterima oleh pemerintah AS?

Kasus-nya justru menguap tanpa kejelasan. Yang diterima publik justru klaim yang diberikan Rockefeller lewat para komprador-nya, bahwa DDT adalah produk paling aman yang dapat digunakan manusia, salah satunya untuk menghentikan wabah poliomeilitis yang disebabkan serangga. Titik.

Nggak cukup sampai disitu, karena pengobatan alami yang dianjurkan Dr. Biskind dengan menggunakan vitamin C intravena untuk mengatasi kelumpuhan infatil yang disebabkan oleh keracunan DDT, juga telah dicap sebagai praktik ‘perdukunan’ oleh klan Rockefeller.

Lalu kalo seseorang dinyatakan terkena polio yang disebabkan oleh virus, apa solusinya?

Nggak lain ya enjus massal, seperti halnya plandemi Kopit yang kita alami saat ini. Itu sebab Rockefeller mendanai secara besar-besaran proyek pengembangan vaksin polio. Dengan mengembangkan vaksin, berapa ‘cuan’ yang akan didapat. Nggak ada makan siang yang gratis, bukan? (https://www.pharmacytimes.com/view/the-virus-research-of-jonas-salk-led-to-polio-vaccine)

Padahal, sejarah mencatat bahwa Dr. Fred Klenner di penghujung 1940-an, telah berhasil menyembuhkan ratusan pasien yang terkena polio dengan menggunakan vitamin C dosis tinggi, karena memang asam askorbat intravena tersebut merupakan detoks yang kuat dalam menetralisir efek keracunan DDT. (https://www.medicalnewstoday.com/releases/12154)

Kalo memang dianggap sebagai praktik ‘perdukunan’ oleh rezim Rockefeller, kenapa juga Dr. Linus Pauling berhasil memenangkan hadiah Nobel karena treatmen vitamin C pada penyakit ‘berat’ yang terjadi pada manusia? (https://www.hagmannreport.com/25-years-ago-this-week-the-last-interview-with-dr-linus-pauling-of-vitamin-c-fame/)

Ini jelas nggak masuk akal.

Ajaibnya, setelah vaksin polio rampung dikerjakan dan disetujui untuk digunakan secara luas di AS, serta merta kasus polio langsung turun secara tajam.

Apakah vaksin Salk yang berhasil menurunkan angka polio?

Selidik punya selidik, setahun sebelum penurunan drastis kasus polio, Departemen Pertanian AS menyarankan kepada para petani untuk tidak menggunakan DDT karena dinilai nggak aman bagi manusia. Otomatis, DDT mulai ditinggalkan. (https://www.skepticalraptor.com/skepticalraptorblog.php/ddt-facts-examining-evidence-50-years/)

Menjadi wajar jika kasus polio menurun secara tajam, karena adanya reduksi penggunaan DDT pada lahan pertanian dan peternakan. Itu hanyalah interpolasi yang sederhana.

Lantas, apakah vaksin polio aman untuk digunakan dalam menanggulangi plandemi?

Entahlah.

Satu yang pasti, bersamaan dengan enjus massal yang dilakukan oleh pemerintah AS di pertengahan tahun 1950-an, banyak kasus yang menimpa warga AS, dari mulai penyakit saraf sumsum tulang belakang yang mirip polio, ensefalitis, meningitis hingga sindrom Guillain-Barre.

Darimana asalnya semua penyakit tersebut? Apakah hanya kebetulan mereka muncul ke permukaan bersamaan dengan adanya program enjus massal polio? (https://healthimpactnews.com/2013/the-real-history-behind-the-polio-vaccine/)

Sebagai penutup, mengapa hal ini perlu dibahas?

Karena plandemi Kopit adalah hasil karya gerombolan yang sama yang berhasil menipu jutaan warga AS akan virus yang nggak pernah diketahui wujud aslinya. Kalo memang ada, apakah bisa menunjukkan virus yang sudah dimurnikan?

Tentu saja ini pertanyaan retorik, bukan?

Jika dulu mereka menipu dengan plandemi polio dan kini muncul dengan plandemi yang lain, lantas dimanakah akal sehat anda jika anda kembali berhasil diperdaya?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


3 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Maaf bang kalau boleh saya bertanya, bagaimana cara saya memahami penggunaan kata interpolasi dalam artikel ini. Saya sangat tertarik tapi masih belum betul2 paham. Maksud saya minta tolong diberi penjelasan yang lebih mudah biar say bisa membandingkan definisi interpolasi dengan pemanfaatan kata ini untuk menjelaskan kecurangan trik sulap mereka dalam konteks penjelasan Abang. Sebelumnya terimakasih banyak bang.

    1. interpolasi secara definitif adalah sisipan yang dibuat agar suatu deret diketahui normal atau justru sebaliknya. pada gilirannya interpolasi malah digunakan untuk merekayasa sesuatu.

      awalnya DDT digunakan secara masif. namun karena sudah ditemukan vaksin polio dan untuk meyakinkan opini publik bahwa vaksinnya berhasil dipakai, maka interpolasi berupa pengurangan pemakaian DDT diterapkan. walhasil orang percaya efektivitas vaksin polio.

      ini sama saja dengan interpolasi saat plandemi kopit. demi meyakinkan publik bahwa vaksin tahu bulat yang dipakai efektif, maka jumlah test kopit dikurangi secara drastis.

      begitu kurleb keterangan yang bisa saya berikan, bung!
      semoga membantu.

error: Content is protected !!