Menata Pengobatan Modern (*Bagian 3)


529

Menata Pengobatan Modern (*Bagian 3)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama dan kedua tulisan, kita telah bahas bagaimana upaya Rockefeller dalam ‘menata’ kurikulum pengobatan modern yang ada di AS yang diarahkan untuk menganut mazhab teori kuman ala Pasteur, selain memperkenalkan cabang ilmu baru yang bernama virologi.

Di sisi yang lain, kita juga sudah membahas bagaimana plandemi palsu bertajuk poliomeilitis digelar, yaitu untuk membuka jalan bagi penanganan ala pengobatan modern yang mengandalkan pada penggunaan obat-obatan farmasi dan juga vaksin. (baca disini dan disini)

Bahkan demi mengembangkan vaksin polio, seorang Dr. Henry Kumm sengaja diterbangkan oleh Rockefeller dari Jerman untuk membantu proyek vaksin Jonas Salk.

Siapakah sosok Dr. Kumm?

Dr. Kumm dikenal sebagai konsultan Angkatan Darat AS, yang ditugasi untuk mengadakan studi lapang di Italia, utamanya dalam penggunaan DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) untuk memerangi wabah tifus dan nyamuk malaria yang ada di rawa-rawa dekat kota Roma dan Napoli. (https://medicalarchives.jhmi.edu/collection/henry-w-kumm-collection/)

DDT sendiri saat itu telah dipatenkan sebagai insektisida oleh perusahaan obat asal Swiss Geigy di tahun 1940. Kemudian DDT dipakai oleh serdadu AS sebagai bahan disinfektan terhadap kutu kepala, nyamuk dan banyak serangga lainnya. Jadi awalnya DDT dikonsumsi luas oleh pasukan AS. (https://www.swissinfo.ch/eng/ddt–from-miracle-chemical-to-banned-pollutant/3253684)

Bisa dikatakan bahwa Dr. Kumm adalah pelopor pengguna DDT pada manusia.

Kalo hanya serdadu yang pakai DDT, perusahaan farmasi bisa gulung tikar karena kurang banyak yang memakai. Untuk mengatasi ini, perusahaan dipaksa mencari ‘pasar baru’ agar produk DDT bisa digenjot secara maksimal. Sudah pasti cuan yang jadi rujukannya.

Nggak aneh jika media mainstream dengan gencar mempromosikan DDT sebagai senjata ampuh dalam menangani wabah tifus yang diklaim disebabkan oleh kutu. “Karena adanya DDT, maka wabah besar yang ditakuti pasukan AS saat perang, kini telah sirna,” begitu kurleb-nya.

Alih-alih untuk memberantas kutu penyebab tifus, maka jutaan warga Naples, Italia harus dibersihkan tubuhnya dengan menggunakan DDT yang dilarutkan dengan minyak tanah. Siapa juga yang mau kena wabah tifus yang paling ditakuti saat itu?

Aman nggak penggunaan DDT?

Kalo ditanya ke tukang kecap, maka mereka pasti mengklaim bahwa kecap miliknya nomor satu. Begitupun dengan Rockefeller yang mengklaim DDT sebagai produk paling aman dan ramah bagi manusia.

Padahal kita tahu bahwa DDT sebagai racun, memiliki efek toksik yang bersifat kumulatif (menumpuk), utamanya pada manusia dan hewan, karena sulit untuk diurai secara alami. (https://www.sciencehistory.org/distillations/magazine/beyond-silent-spring-an-alternate-history-of-ddt)

Dr. Morris Biskind dan juga staf ahli pada National Institutes of Health juga mengkonfirmasi hal tersebut. “DDT adalah racun kumulatif, sehingga daya serapnya pada kulit berakibat sangat fatal pada para penggunanya,” begitu peringatan yang mereka berikan bagi para pemangku kebijakan di AS. (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18113629/)

Apakah suara mereka di dengar.

Boro-boro.

Yang ada, pemerintah AS malah mempromosikan DDT (yang diamplifikasi oleh media mainstream) sebagai pestisida yang aman bagi manusia, dengan Roundup Monsanto sebagai produsen utamanya. (https://content.time.com/time/subscriber/article/0,33009,775033,00.html)

Dengan adanya endorsement tersebut, maka secara massal DDT mulai digunakan, mulai sebagai pembasmi nyamuk, pencegah serangga pada lahan pertanian dan perkebunan hingga disinfektan serangga pada peternakan sapi. Semuanya secara masif menyemprotkan DDT. Ini terjadi di tahun 1940an. (https://www.sciencehistory.org/distillations/magazine/beyond-silent-spring-an-alternate-history-of-ddt)

“DDT bukanlah arsenik dan insektisida lainnya, karena sama sekali nggak berbahaya dan aman bagi manusia bahkan bayi, serta dapat digunakan secara bebas,” ungkap pemerintah AS kala itu.

Menjadi lumrah jika DDT kemudian banyak diburu warga AS.

Mau beli peralatan rumah tangga, langsung semprot DDT. Mau pakai matras dan tempat tidur, langsung semprot DDT. Bahkan kamar anak nggak luput dari semprotan DDT, saban harinya. Yang penting aman dari serangga.

Karena laris manis tanjung kimpul, produksi DDT langsung meningkat 10 kali lipat antara rentang 1945 – 1952. Tentu saja Monsanto dan kroni-kroninya yang ketiban pulung sebagai produsen-nya. (https://www.sciencehistory.org/distillations/magazine/beyond-silent-spring-an-alternate-history-of-ddt)

Pertanyaannya, apakah DDT bisa diandalkan dalam menanggulangi penyakit polio yang katanya disebabkan oleh lalat dan nyamuk pada manusia?

Berdasarkan data, sebelum penggunaan DDT secara masif oleh warga sipil AS, kasus poliomeilitis ada sekitar 25 ribu kasus di tahun 1943. Menariknya, jumlah penderita kasus polio mencapai 280 ribu kasus, di tahun 1952. Jadi ada peningkatan lebih dari 10 kali lipat.

Kira-kira, apa penyebabnya kok kasusnya bisa meningkat dengan pesat? Bukankah peningkatan kasus 10 kali lipat, sama angkanya dengan pemakaian DDT selama rentang kurleb 1 dekade?

Selain itu, asumsi bahwa DDT bisa menanggulangi poliomeilitis, bersifat cacat karena kenyataannya justru malah sebaliknya.

Saat Departemen Pertanian AS menyarankan para peternak untuk memandikan sapi perah mereka dengan DDT untuk memerangi nyamuk dan lalat, ataupun menyarankan para petani untuk menyemprotkan DDT pada tanaman dan sayuran milik mereka, maka otomatis penggunaan DDT langsung melonjak drastis.

Lantas pada siapa efek racun DDT yang sifatnya kumulatif tersebut akan berakhir?

Tentu saja konsumen susu dan juga hasil pertanian lainnya, yaitu warga AS. Pada merekalah semua racun DDT akan menumpuk, karena mereka adalah konsumen akhir semua produk yang telah mendapatkan semprotan DDT.

Kalo mereka jadi jatuh sakit, sebenarnya bukan virus apalagi penyakit polio yang harusnya dipersalahkan, tapi DDT.

Dengan kata lain, tudingan yang diberikan oleh Dr. Scobey bahwa penyebab kematian pada anak adalah racun yang ada pada makanan, lebih masuk akal ketimbang virus yang menyebabkan penyakit poliomyelitis. Itu hanyalah akal-akalan Rockefeller semata.

Apakah demikian adanya?

Kita akan lanjut pada bagian terakhir nanti.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!