Masihkah Berharap?


511

Masihkah Berharap?

Oleh: Ndaru Anugerah

Di tengah maraknya media mainstream dalam mengulas perkembangan vaksin Corona, ada berita menarik yang kurang banyak diekspos. Apa itu?

AstraZeneca selaku bagian Big Pharma yang memproduksi vaksin, terpaksa menghentikan uji coba vaksinnya.

Ini dilakukan setelah seorang wanita di Inggris mengalami reaksi serius setelah disuntikkan vaksin tersebut. (https://www.ibtimes.com/astrazeneca-halts-coronavirus-vaccine-trials-over-suspected-serious-adverse-reaction-3042428)

AstraZeneca melakukan kolaborasi dengan Universitas Oxford dalam mengembangkan vaksin tersebut, dan saat ini tengah mengujinya pada anak-anak berusia 5 tahun. (https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT04400838)

Pihak AstraZeneca menegaskan akan ada panel ahli independen yang akan menyelidiki hal tersebut. (https://www.statnews.com/2020/09/08/astrazeneca-covid-19-vaccine-study-put-on-hold-due-to-suspected-adverse-reaction-in-participant-in-the-u-k/)

Apa reaksi serius yang dimaksud?

Sebuah sumber anonim mengungkapkan bahwa gejala yang dialami wanita Inggris tersebut nggak lain adalah Transverse Myelitis (TM). (https://www.nytimes.com/2020/09/10/health/covid-astrazeneca-vaccine-trans.html)

Apa itu Transverse Myelitis?

TM adalah sebuah kelainan neurologis yang ditandai dengan peradangan sumsum tulang belakang yang merupakan elemen utama dari sistem syaraf pusat. Akibat TM, maka seseorang akan merasa lemah pada anggota tubuhnya, bermasalah pada kandung kemih hingga menyebabkan kelumpuhan. (https://www.msn.com/en-us/health/medical/what-is-transverse-myelitis-google-searches-up-after-reported-link-to-astrazeneca-coronavirus-vaccine-trial/ar-BB18R0O9)

Satu yang pasti, TM bisa menyebabkan pasien cacat permanen dan sampai saat ini nggak ada obat yang efektif untuk menyembuhkannya. (https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-diseases/transverse-myelitis)

Kaitan vaksin dan TM bukan barang baru dalam medis. Penelitian yang dilakukan Agmon Levin dan rekan pada tahun 2009, menemukan bahwa TM terkait pada banyak vaksin termasuk Hepatitis B, campak-gondok-rubella, difteri hingga tetanus pada bayi, anak-anak dan orang dewasa.

Bahkan peneliti di Israel mencatat bahwa vaksin dapat memicu auto-imun karena bahan adjuvant pada vaksin yang dapat merangsang reaksi tersebut. (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19880568/)

Bukan sekali ini saja AstraZeneca menangguhkan proses uji coba. Pada bulan Juli lalu, perusahaan tersebut juga sempat menghentikan uji coba vaksin, setelah beberapa peserta uji coba mengalami gejala mirip TM. (http://www.isrctn.com/editorial/retrieveFile/d5d41992-c90f-4c8b-97ec-cd85ddfe12fa/38245)

Lantas kenapa dilanjutkan? Karena ‘panel ahli independen’ menyimpulkan bahwa penyakit tersebut nggak berkaitan dengn vaksin.

Padahal menurut pakar dari Universitas Flinders, yang disebut sebagai ‘panel ahli independen’ tersebut nggak lain adalah orang-orang dari perusahaan sponsor yang menjalankan uji coba. Jadi mana mungkin independen, sih? (https://www.abc.net.au/news/2020-09-11/data-safety-monitoring-board-influence-coronavirus-vaccine-trial/12648382)

Bicara soal pengembangan vaksin Corona, para peneliti pernah juga mengembangkan vaksin SARS yang disebabkan oleh Corona jilid 1. Hasilnya sangat buruk dan terpaksa dihentikan sebelum membuahkan hasil. (https://www.pnas.org/content/117/15/8218)

Setelah hewan diberikan vaksin tersebut, yang ada hewan tersebut malah mengembangkan varian virus Corona yang lebih parah dari sebelumnya, ketimbang hewan yang tidak menerima vaksinasi. (https://scihub.to/10.1089/088282403763635465)

Tentang ini saya pernah bahas beberapa bulan yang lalu. (baca disini)

Dan ini selaras dengan laporan Forbes pada Mei 2020 silam, yang menyatakan ujicoba vaksin Corona AstraZeneca malah menginfeksi 6 monyet yang disuntikkan vaksin tersebut setelah diinokulasi. (https://www.forbes.com/sites/williamhaseltine/2020/05/16/did-the-oxford-covid-vaccine-work-in-monkeys-not-really/)

Anehnya lagi, ujicoba vaksin AstraZeneca yang dilakukan pada kelompok kontrol, justru memakai vaksin buatan Pfizer. Lho, kenapa nggak pakai vaksin buatan mereka sendiri? Apakah mereka tahu bahwa vaksinnya nggak aman, makanya mereka pakai vaksin lainnya?

Satu hal yang mungkin bisa dijadikan rujukan, bahwa AstraZeneca bukan sekali ini saja menyembunyikan data hasil uji coba negatif dari mata publik.

Pada kasus obat antipsikotik Seroquel yang terbukti tidak efektif dan berbahaya, perusahaan tersebut sudah melakukan pembohongan publik. (https://www.drugwatch.com/manufacturers/astrazeneca/)

Akibatnya, AstraZeneca dipaksa bayar denda sebesar USD 520 juta kepada Departemen Kehakiman AS, karena ketahuan melakukan pembohongan publik. (https://www.justice.gov/opa/pr/pharmaceutical-giant-astrazeneca-pay-520-million-label-drug-marketing)

Cuma, ada cumanya nih. Kali ini AstraZeneca akan dilindungi penuh oleh UU PREP yang dibuat pemerintah AS bila suatu saat nanti vaksinnya bermasalah alias menghasilkan efek samping yang berbahaya. Jadi nggak bisa dituntut oleh hukum. (https://www.federalregister.gov/documents/2020/03/17/2020-05484/declaration-under-the-public-readiness-and-emergency-preparedness-act-for-medical-countermeasures)

Banyak pihak yang mengesampingkan fakta bahwa vaksin ini nggak akan mungkin dipakai pada manusia. Namun sebagai analis Geopolitik, saya justru melihat sebaliknya. “Ngapain juga dana milyar dollar dihabiskan untuk buat vaksin, kalo vaksinnya nggak akan dipakai?”

Pertanyaannya, apakah anda masih berharap bahwa vaksin adalah solusi utama dalam mengatasi pandemi si Kopit?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!