Mandat Vaksinasi


509

Mandat Vaksinasi

Oleh: Ndaru Anugerah

Di AS kini heboh dengan berita: Departemen Pertahanan membeli 500 juta jarum suntik Apiject. Angka 500 juta sangat banyak, mengingat rakyat AS saja berjumlah 330 jutaan. Untuk apa jarum suntik sebanyak itu? (https://www.naturalnews.com/2020-05-13-dept-of-defense-purchasing-500-million-apiject-syringes-coronavirus-vaccine.html)

Menurut keterangan pers yang dikeluarkan oleh Letkol Mike Andrews, Dephan bermitra dengan Departement of Health and Human Services berencana untuk mendapkan 500 juta perangkat injeksi vaksin, yang dimulai pada oktober tahun ini. (https://www.defense.gov/Newsroom/Releases/Release/Article/2184808/dod-awards-138-million-contract-enabling-prefilled-syringes-for-future-covid-19/source/GovDelivery/)

“Kami mendukung terciptanya rantai pasokan berkecepatan tinggi yang berbasis di AS untuk jarum suntik dengan menggunakan plastik aseptic Blow-Fill-Seal (BFS) yang sangat cocok untuk dipakai memerangi C19 bila vaksinnya kelak telah tersedia,” begitu kurlebnya.

Sebagai informasi, alat suntik Apiject dilengkapi fitur tag RFID (Radio Frequency Identification) yang sifatnya opsional, sehingga kalo pun dipakai maka petugas kesehatan akan dapat melacak lokasi GPS dan identitas individu yang telah mendapatkan suntikan. (http://apiject.com/)

Timbul pertanyaan, angka 500 juta yang melebihi angka penduduk total AS (yang hanya 330 jutaan), gunanya untuk apa? Selanjutnya, ngapain juga harus pake ‘kejar tayang’ di bulan Oktober harus dikebut tuh proyek? Terus, ngapain juga pakai Apiject yang dilengkapi fitus pelacak digital?

Katakanlah kalo misalnya vaksin C19 telah tersedia, dan sifatnya opsional (artinya rakyat AS punya pilihan boleh pakai ataupun nggak tih vaksin), angkanya tentu nggak sebanyak 500 juta. Palingan hanya butuh 100-200 juta mentok.

Tambahan lagi, menurut dokumen tersebut bahwa nilai proyek jarum suntik tersebut senilai USD 138 juta. Tentu bukan proyek main-main, alias proyek ciyusan. Kalo nggak serius, kenapa jarum suntik yang akan dipakai untuk vaksin C19 harus khusus dengan pelacak ID?

Yang paling mungkin, proyek vaksinasi akan menyasar semua warga AS tanpa kecuali, dengan melibatkan pihak militer dalam pelaksanaannya. Jadi ingat ID2020 kan? (baca disini)

Ini jadi klop dengan rencana Trump yang mengeluarkan kebijakan: “Operation Warp Speed”. Pernah dengar?

Inti dari rencana Trump tersebut adalah tindakan by pass semua protokol uji keamanan vaksin (jadi tidak melalui protokol regular) agar lebih cepat, sehingga akan ada 300 juta dosis vaksin C19 sebelum akhir 2020. (https://www.aljazeera.com/news/2020/05/warp-speed-hopes-coronavirus-vaccine-2021-200515164326450.html)

Dengan protokol tersebut, maka tingkat keamanan vaksin C19 sudah tidak relevan lagi untuk dipertanyakan.

Teknisnya, pemerintah AS akan menimbun ratusan juta dosis vaksin yang tengah dikembangkan untuk memerangi C19. Sehingga secara nasional diharapkan, ketersediaan vaksin akan tercukupi hingga akhir tahun ini.

Kenapa harus melibatkan militer?

Coba bayangkan, jika program vaksinasi wajib tersebut digelar serentak tanpa ada intervensi pemegang bedil, apa kira-kira bisa terlaksana? Pilihannya jelas, mau divaksin atau masuk penjara, karena telah melanggar UU darurat. Tentang ini saya pernah bahas diawal-awal.

Dan jarum suntik Apiject sangat memungkinkan program ID2020 bisa terlaksana. Coba bayangkan, jika jarum suntik yang dipakai yang standar alias yang biasa dipakai doketr di Puskesmas atau poliklinik, masukin nano chip-nya darimana, Bambang?

Lalu bagaimana dengan vaksinnya?

Dengan SOP yang ketat sekalipun, sebuah vaksin dapat memiliki kandungan bahan seperti: thimerosal (merkuri), MSG, formaldehyde, hingga HCG (bahan kimia yang dapat menyebabkan infertilitas). Aliasnya, setiap vaksin tentu akan ada risikonya jika dipakai. (https://vaers.hhs.gov/)

Kebayang dengan sistem by-pass yang dilakukan Trump, sehingga potong kompas bisa terjadi. Akan jadi seperti apa vaksinnya kelak? Belum lagi kalo penyedianya adalah Big Pharma dibawah orkestrasi BG. Cerita horor sudah terbayang di depan mata.

Kok Big Pharma sebagai penyedia vaksinnya?

Coba cek, siapa yang ditunjuk Trump sebagai kepala program percepatan pengembangan vaksin C19?  Moncef Slaoui, mantan ekskutif GlaxoSmithKline. Kalo bukan Big Pharma penyedianya, ngapain Trump repot-repot tunjuk tuh orang, Malih? (https://vaccinewars.com/2020-05-15-trump-names-former-gsk-executive-head-operation-warp-speed.html)

Dengan kata lain, faktor keamanan memang bukan tujuan diterapkan tuh vaksin, karena memang rencana sesungguhnya adalah program depopulasi penduduk, terutama di AS sana. (baca disini)

Dan kini mereka tengah diburu waktu. Warga AS mulai gerah dengan kondisi lockdown, sehingga udah banyak yang teriak-teriak untuk mengakhiri lockdown sesegera mungkin.

Apakah lockdown akan berakhir secepatnya? Tentu tidak Fernado.

Pemda Los Angeles sendiri, baru-baru ini mengumumkan untuk memperpanjang status lockdown untuk tiga bulan ke depan. (https://www.latimes.com/california/story/2020-05-12/coronavirus-beaches-reopen-los-angeles-county-move-toward-new-normal)

Ini akan memberikan cukup waktu bagi FDA dan CDC berkolaborasi dengan Big Pharma untuk mengeluarkan vaksin instant yang jatuh dari langit tersebut.

Padahal BG sendiri menyatakan bahwa vaksinnya nggak ada jaminan bakal aman untuk digunakan. Bukan saja efek samping yang ditimbulkan, tapi juga dapat berujung pada kematian. “Bodo amat, yang penting proyek-nya jalan.” (baca disini)

Lha terus, jika seandainya vaksinasi wajib diterapkan di AS tanpa ada pilihan, apa nggak melanggar prinsip HAM yang kerap didengung-dengungkan AS selama ini?

“HAM itu cuma khayalan kaum idealis,” bisik seorang teman.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!