Langkah Catur Jokowi (*Bagian 1)


525

Oleh: Ndaru Anugerah

“Bingung apa sih maunya Jokowi?” demikian suara celoteh yang sampai ke telinga saya. Sebenarnya banyak suara yang mempertanyakan langkah catur yang diambil Jokowi saat ini, khususnya dalam sektor ekonomi. Muaranya kemana?

Untuk memahaminya, saya coba ulas ke dalam dua bagian tulisan. Semoga ini bisa menjawab kegalauan banyak pihak.

“Kiblat pembangunan ekonomi Jokowi mengarah ke Tiongkok,” kataku. Maksudnya?

Setelah berhasil memenangkan perang saudara berkepanjangan dengan kaum Nasionalis pimpinan Chiang Kai Sek, China memasuki era komunisme dibawah komando the Great Mao di tahun 1949.

Sayangnya, kondisi perekonomian negeri Tirai Bambu tersebut nggak kunjung membaik, walaupun janji-janji surga komunisme kerap diperdengarkan secara masif kepada publik. “Sudah jadi komunis, kenapa negara nggak membaik perekonomiannya?” begitu kurleb pertanyaannya.

Alih-alih menjawab keraguan publik, ketua Mao kemudian mengeluarkan kebijakan Lompatan Jauh ke Depan yang dibesut di tahun 1958. Cita-citanya adalah menjadikan China sebagai negara industri sekelas AS dan Inggris. “Kekuatan rakyat bisa melakukan apa saja,” demikian ucap Mao.

Dan menurut sang Ketua, nggak butuh waktu lama untuk mewujudkan mimpinya tersebut. “Hanya butuh 2 hingga 3 tahun saja,” demikian sesumbarnya.

Program besar sang Ketua sontak membahana ke seantero negeri. Sebagai konsekuensinya, rejim komunis yang dipimpinnya mengerahkan jutaan rakyat untuk mewujudkan mimpi indah tersebut. Caranya? Dengan cara bertani dan bekerja di pabrik baja.

Bertani bertujuan untuk mencukupi konsumsi pangan dalam negeri alias ketahanan pangan, sementara bekerja di pabrik baja untuk mendorong sektor industri dalam negeri.

Namun, mimpi sang Ketua nggak seindah kenyataan. Rencana tanam gandum yang sedianya untuk mencukupi konsumsi pangan dalam negeri, nyatanya gagal total. Ini dipicu oleh bencana kekeringan dan banjir besar yang melanda negeri Cungko tersebut dalam waktu yang relatif dekat.

Akibatnya bisa ditebak. Dalam kurun waktu 4 tahun saja sejak program dijalankan, jutaan orang tewas gegara kelaparan. Mayat banyak berserakan utamanya di daerah pedesaan. Program besar sang Ketua berujung kegagalan. China diambang kehancuran.

Ditengah situasi panik nasional, adalah seorang Deng Xiaoping yang kemudian lantang berseru untuk mengkritisi program nasional yang disampaikan oleh sang Ketua. “China butuh reformasi!” Reaksi yang wajar, mengingat bila tidak segera diantisipasi masa depan China ada dalam bahaya besar.

“Sosialisme itu tidak sama dengan kemiskinan. Sosialisme itu bicara tentang kesejahteraan. Jadi menjadi kaya (jelas) bukanlah dosa,” demikian ujarnya.

Dalam rejim komunisme, apa kata ketua adalah kata ‘Tuhan’. Jadi, kritik Deng terhadap program ketua, sama saja cari mati. Dan benar saja. Akibat kritik yang disampaikannya, Deng ‘dibuang’ dalam struktur kepartaian.

Rupanya Dewi Fortuna masih berpihak pada seorang Deng. Walaupun telah diasingkan, Deng kembali dipilih menjadi wakil perdana menteri China di tahun 1975 dan mengemban amanat partai untuk memperbaiki perekonomian China selepas program ambisius sang Ketua yang telah berujung kegagalan.

Dan apa yang dilakukannya kemudian, cukup membuat pendukung setia ketua Mao meradang. Bagaimana tidak? Deng memutuskan program reformasi ekonomi China, dengan membuka pintu investasi asing pada negeri Tirai Bambu tersebut sebagai resep pemulihan.

Program yang kemudian disebut sebagai reformasi keterbukaan tersebut, di tahun 1978 secara masif dijalankan. Ada empat pilar yang dijadikan sasaran utama program reformasi tersebut, yaitu: pertanian, industri, teknologi dan pertahanan.

Pada tataran praktis, dogma komunisme ala Mao yang menyatakan “sama rata sama rasa” kemudian berubah menjadi “nilai sama” alias apa yang akan didapatkan seseorang setara dengan upah kerja keras dan kemampuannya. Inilah yang kemudian memicu rakyat untuk mau bekerja keras untuk bangun China.

“Masa iya yang sudah kerja keras sampe jungkir balik sama saja penghasilannya dengan yang kerjanya leha-leha?”

Perlahan namun pasti, investor asing mulai masuk ke China dan mengubah wajah negeri tersebut. Dengan makin banyak investor yang masuk, beberapa wilayah berubah menjadi kawasan industri dengan otonomi khusus. Artinya hambatan dari mulai pajak hingga infrastruktur, menjadi hal yang dipermudah oleh negara.

Wajar. Siapa juga investor yang mau masuk kalo birokrasi-nya ribet?

Yang nggak kalah penting, dalam bidang pendidikan Deng mengirim banyak pelajar China untuk belajar keluar negeri guna menuntut ilmu di segala bidang. Utamanya di 4 bidang yang jadi target reformasi miliknya.

“Mereka akan kembali dan membawa keajaiban buat China,” demikian ungkapnya.

Langkah reformasi yang dibesut Deng, jelas bukan kaleng-kaleng. Hasilnya sungguh nyata. Perekonomian China bukan saja bangkit, tapi kemudian menjadi raksasa ekonomi dunia menyaingi AS sebagai kompetitornya.

Kalo dulu, orang China yang berharap bisa traveling keluar negeri hanya sekedar mimpi di siang bolong. Namun kini, jumlah wisatawan China keluar negeri menempati urutan pertama di dunia yang menghabiskan uang milyaran dollar pertahun hanya untuk sekedar belanja dan plesiran.

Konsep yang dijalankan Deng inilah yang kemudian melahirkan sosialisme pasar alias state capitalism, dimana negara menguasai sektor ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sederhananya, BUMN yang menjadi soko guru perekonomian nasional perannya diperkuat.

Keberhasilan inilah yang kemudian menginspirasi seorang Jokowi untuk meniru konsep reformasi ekonomi yang diusung Deng Xiaoping. Apa yang akan dilakukannya di republik ber-flower ini? Bagaimana peluang keberhasilannya? Saya akan ulas pada bagian kedua nanti.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!