Lalu Apa Solusinya? (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
Setelah mengulas tentang vaksin C19 yang sangat tidak feasible untuk dipakai, (baca disini) maka beramai-ramai orang balik tanya ke saya. “Lalu kalo bukan vaksin, solusinya apa donk?” kurleb pertanyaannya begitu.
Sebenarnya, saya bukan orang yang berlatar belakang medis. Saya hanya seorang analis geopolitik yang nggak punya medical background. Jadi secara pastinya apa, saya nggak mau asal nyablak, karena memang saya nggak kompeten di bidang itu.
Pun demikian, saya sempatkan diri saya untuk baca sana-sini sekadar cari tahu apa yang bisa diandalkan kalo misalnya vaksin-nya nggak feasible.
Itu juga saya sudah bahas, jauh-jauh hari, dengan mengutip beberapa pakar kesehatan dunia sebagai referensinya. (baca disini) Jadi semacam alternative references, lah.
Karena banyak pihak yang menanyakan kembali, saya coba perjelas kembali mengenai apa yang akan saya berikan sebagai referensi alternatif selain vaksin.
Hal pertama yang patut diingat, bahwa setiap vaksin baru (tanpa terkecuali), meskipun dapat membawa manfaat besar bagi industri vaksin (dalam bentuk keuntungan), pasti berpotensi untuk mendatangkan bahaya bagi yang memakainya. (http://www.chiropractic.org/wp-content/uploads/2019/08/1200-studies-The-Truth-Will-Prevail-v2.4_08-15-19.pdf)
Kalo bukan vaksin, lalu apa?
Ada dua hal yang mungkin bisa dilakukan. Pertama, konsumsi obat.
Obat apa yang aman dan feasible untuk dipakai?
Kalo nama obat yang berakhiran –ir, sudah pasti harganya mahal. Contohnya: Remdesivir, yang digadang-gadang oleh Dr. Anthony Fauci dan difabrikasi oleh perusahaan farmasi Gilead.
Apakah efektif? Kalo buat kaya Big Pharma Gilead, itu pasti (karena kemungkinan harganya nggak ramah dikantong). Tapi kalo efektivitasnya patut dipertanyakan. (https://www.thejakartapost.com/news/2020/05/05/gilead-could-make-a-profit-from-covid-19-drug-analysts-say.html)
Maksudnya gimana?
Pada percobaan di China, menunjukkan bahwa antivirus remdesivir tersebut, tidak memperbaiki kondisi pasien justru malah mengurangi hadirnya patogen dalam aliran darah. Dengan kata lain, obat C19 eksperimental Gilead gagal pada uji klinik acak pertama. (https://economictimes.indiatimes.com/industry/healthcare/biotech/healthcare/gileads-antiviral-drug-remdesivir-flops-in-first-trial/articleshow/75331223.cms)
Lantas, adakah yang feasible?
Ada. Hidroksi Klorokuin (Plaquenil) dan Azitromisin.
Kedua obat tersebut sudah banyak dipakai oleh para dokter di lapangan untuk pengobatan C19 yang ada di Perancis, Belgia dan Belanda, dengan hasil yang positif. Yah, walaupun otoritas kesehatan setempat (sebagai kepanjangan tangan WHO) sempat melarangnya.
Para dokter tersebut bukan orang gila. Mereka terdidik, lulusan universitas ternama, punya integritas dan tidak punya masalah dengan mal praktik kesehatan. Siapa saja mereka?
Biar tidak disangka hoax oleh para ‘detektif partikelir’ yang hobi menjatuhkan fakta, saya berikan link yang mendukung analisa saya.
Pertama, Prof. Didier Raoult. Ini orang yang terbilang paling awal membahas kegunaan hidroksi-klorokuin dalam mengobati C19. Dalam implementasinya, beliau menggabungkan hydroxychloroquine dan azithromycin bagi penderita C19, dan hasilnya positif serta terkonfirmasi.
Dari 1.061 pasien dalam perawatannya yang sudah menerima pengobatan “seluruhnya dengan menggunakan hydroxychloroquine dan juga azithromycin“, 973, atau sekitar 91,7% dari mereka, memperoleh kesembuhan dalam sepuluh hari pengobatan. (https://www.valeursactuelles.com/societe/la-chloroquine-efficace-91-contre-le-coronavirus-revele-le-pr-raoult-macron-118055)
Cuma ada satu kekurangannya, menurut Prof. Raoult, “Pada pasien yang sudah akut kondisinya, pemakaian hydroxychloroquine jadi nggak berguna.”
Berikutnya ada dokter berkebangsaan Belanda, bernama Rob Elens. Beliau berhasil merawat delapan pasien C19 dengan memakai hydroxychloroquine, azithromycin dan zinc orotate.
Implementasinya adalah dengan memberikan hydroxychloroquine dan zinc orotate selama 4 hari perawatan, dan menggunakan azithromycin selama 3 hari perawatan.
Hasilnya, 8 pasien (5 pria dan 3 wanita) yang berusia rentan C19 (60 – 80 tahun) serta memiliki berbagai gejala klinis, semuanya sembuh tanpa efek samping yang berarti. Paling ya cuma diare sesaat. (https://fr.sott.net/article/35251-Un-medecin-neerlandais-soigne-les-patients-atteints-de-coronavirus-mais-le-gouvernement-neerlandais-n-est-pas-content)
Selanjutnya ada Dr. Jean Louis Bellaton. Meskipun awalnya kesal dengan rekomendasi WHO yang bertindak pasif karena menunggu ‘vaksin’ sang nabi, toh akhirnya Dr. Bellaton nekat memakai Nivaquine (yang merupakan turunan hydroxychloroquine) dalam terapi bagi para pasiennya. (http://lesgiletsjaunesdeforcalquier.fr/index.php/2020/04/19/est-ce-assez-clair/)
Apa alasan Dr. Bellaton memakai obat tersebut sebagai alternatif pengobatan? “Saya sudah meresepkannya kepada para pasien saya selama 50 tahun, toh nggak ada gangguan atau komplikasi,” begitu kurlebnya. (https://eclairageweb.wordpress.com/2020/04/24/riposte-a-la-covid-19-la-saine-colere-du-dr-bellaton/)
Lalu ada Dr. Denis Gastaldi, dan Dr. Olivia Van Steen Berghe yang menggunakan azithromycin tanpa
penggunaan hydroxychloroquine, seperti yang dianjurkan Prof. Didier Raoult pada pasien C19. Hasilnya, terjadi penurunan pasien rawat inap alias pasiennya membaik. (https://www.republicain-lorrain.fr/sante/2020/04/11/un-medecin-mosellan-constate-l-efficacite-d-un-protocole-a-base-d-azithromycine)
Dan terakhir ada nama Prof.Christian Perronne selaku kepala departemen penyakit menular di RS Raymond-Poincaré di Garches. Dalam siarannya di Youtube, beliau mengatakan: “Di rumah sakit Garches, kami mendapatkan hasil yang baik dengan memakai hydroxychloroquine.” (https://www.youtube.com/watch?v=aWF88NjT7_I&=&feature=youtu.be)
Kenapa hal itu dilakukannya? Beliau mengatakan bahwa pengobatan yang dilakukan Prof. Raoult dengan memakai hydroxychloroquine, terbukti mampu mengurangi pasien rawat intensif. Makanya dia nggak ragu untuk copas treatment-nya.
Sekali lagi, saya hanya sekedar sumbang saran. Mau dipakai silakan, nggak juga gak masalah. Setidaknya saya bukan seorang demagog yang hobi kritik sana sini tanpa kasih solusi.
Akan ada cara kedua yang bisa dijadikan solusi alternatif. Nanti saya akan sambung pada tulisan berikutnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
Ada alternatif lainnya lagi, yaitu herbal yang bisa menghambat interleukin 6 atau bisa juga dengan herbal yang meningkatkan interleukin 10. Kebanyakan orang mengira virus ini seperti hewan yang ganas lalu mencari obat antivirus atau vaksinnya. Kenapa ga ada yang berpikir bahwa reaksi peradangan tubuh kita yg berlebihan dalam melawan virus inilah yg membunuh kita. Sehingga harusnya yang dicari bukan antivirus melainkan antiinflamasi. Itulah kenapa obat tocilizumab atau actemra yang sifatnya anti rematik atau radang sendi malah bs mengurangi efek pneumonia pada covid 19. Actemra adalah obat kimia yg tentu ada efek sampingnya. Sdgkan yang ga ada efek sampingnya dan antiinflamasi jg banyak herbal2 yang berguna. Silakan dibrowsing sndri artikel artikel medis penelitian luar negeri herbal apa saja yg berfungsi menghentikan interleukin 6(pro inflamasi) atau meningkatkan interleukin 10(antiinflamasi)