Ketika Kemenangan Jadi Keharusan


525

Ada kesamaan yang didapat kalo kita menganalisa secara mendalam tentang 3 kasus yang berbeda, yaitu: penembakkan di masjid bilangan Christchurch, New Zealand (15/3), bom paskah di gereja Sri Lanka (21/4), dan satu lagi adalah penangkapan kelompok teroris JAD di bilangan Bekasi (10/5).

Apa faktor samanya? Semuanya menyasar negara yang berencana masuk dalam jaringan Belt and Road Initiative yang diusung oleh pemerintah China.

New Zealand, yang merupakan salah satu dari 5 eyes countries, sudah teken kontrak akan menjalin hubungan dengan proyek BRI China pada April 2019 lalu. Sri Lanka malah lebih dahulu menjalin kontrak kerjasama ekonomi dengan China lewat program Colombo Port City. Dan Indonesia telah resmi gabung dengan BRI (19/3) walaupun dengan skema “Business to Business”.

Bayangkan jika program ini berjalan langsam, siapa pihak yang akan gigit jari karena nggak mendapatkan keuntungan secara ekonomis? Tak perlu cerdas-cerdas amat dalam menjawabnya, toh saya sudah sering mengulasnya dalam blog saya.

Apa yang bisa dilakukan dalam menghentikan atau minimal memperlambat proyek kerjasama ekonomi di tiga negara tersebut? Paling efektif, buat kerusuhan, dari mulai aksi pengerahan massa, penembakkan sampai aksi pengeboman.

Dengan kata lain, aksi teror merupakan cara paling maknyus dalam menghambat laju perkembangan proyek BRI. Dengan adanya teror, maka diharapkan investor ramai-ramai hengkang karena faktor keamanan, dan walhasil proyek BRI jadi terhambat dan terbengkalai.

“Syukur-syukur malah batal karena memang itu yang diharapkan.”

Nah, khusus di Indonesia, proyek teror bom kembali akan dimainkan, manakala hasil pilpres yang mengindikasikan bahwa Jokowi kembali dipastikan memimpin karena berhasil memenangkan kontestasi pilpres 2019.  Tentu hasil ini akan meresahkan Mamarika. “Bisa-bisa nggak dapat apa-apa di Indonesia, nantinya.”

Singkat kata, “kamera eksyen” harus segera dimainkan.

Gimana jalan ceritanya?

Ada beberapa kepingan informasi yang bisa kita satukan.

Pertama, perhatikan baik-baik apa yang kerap didengungkan di media sosial menanggapi pengumuman hasil pilpres oleh KPU pada 22 Mei mendatang. 2 kata yang sering diulang-ulang, kalo nggak berkaitan dengan “curang” pasti “perang”. Dan itu dihembuskan secara masif, karena memang ada grand scenario-nya.

Bahkan seorang ustadz lantang bersuara, “…bila kalian curang, demi Allah nyawa akan kami berikan untuk menegakkan keadilan. Darah akan kami tumpahkan, bumi pertiwi akan kami merahkan dengan darah kalian…”

Dan kedua, adanya penangkapan dua pemimpin kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) oleh Densus 88 di bilangan Bekasi. Tak tanggung-tanggung, para jihadis tersebut merencanakan pengeboman dengan membawa bom pipa berdaya ledak tinggi yang biasa disebut sebagai Mother of Satan.

Bagaimana kaitan antara kedua keeping informasi tersebut?

Pihak polri melalui keterangan resminya menjelaskan bahwa rencananya mereka akan melakukan amaliyah saat kerumunan massa terjadi. Kapan itu? Paling mungkin saat people power berlangsung. Sangat efektif dilakukan mengingat akan banyak jatuh korban.

“Satu sisi menimbulkan korban yang banyak, sisi kedua mereka menginginkan chaos. Kalau merembet kemana-mana, sleeping-sleeping cell mereka akan bangkit seperti kerusuhan di negara Suriah, Irak maupun di Malawi, konsepnya seperti itu,” begitu ungkap Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo (10/5).

Dapat disimpulkan, bahwa teror bom akan digelar tepat pelaksanaan aksi people power pada 22 Mei mendatang. Dengan banyaknya jatuh korban, maka akan dihembuskan isu bahwa rejim Jokowi-lah yang akan diframing untuk disalahkan.

“Rejim dzolim. Masa menangani perbedaan pendapat harus lewat aksi pengeboman?” begitu kurang lebih framing yang akan dimainkan.

Aksi ini bukan nggak mungkin akan mendatangkan simpati dari mayoritas rakyat Indonesia, yang mulanya menerima hasil pemilu dengan lapang dada sekalipun.

Karenanya pihak kepolisian cukup sigap dalam menangani situasi ini. Para aktor intelektual lapangan diamankan, dan para ‘jihadis’ juga ikut diringkus. “Kalaupun aksi massa tetap digelar, maka status editansil akan tercipta.” Alias sia-sia nggak ada gunanya.

“Tapi bang, kalo memang yang kasih order untuk buat rusuh di Indonesia adalah pihak yang sama, kenapa yang disasar adalah kelompok orang yang menggelar people power? Bukankah mereka berada dibarisan yang sama,” tanya seseorang kepadaku.

“Mungkinkah rakyat akan bersimpati kepada gerakan people power kalo misalnya mall yang akan dibom para jihadis bukan gerakan mereka?” Kubisikkan kepadanya, “Dalam politik, akan ada pihak yang selalu dikorbankan demi memuluskan suatu rencana besar.”

Masalahnya, apa anda mau dijadikan tumbal?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!