Mematangkan Isu


508

Ramai jagat medsos memperbicangkan hal perginya Om Wowo ke Brunei Darussalam. Walaupun awalnya ditutup-tutupi, akhirnya berita itu menyebar secara luas dan tak terbantahkan.

Kenapa harus ditutup-tutupi? Apa motif utama kepergian Om Wowo ke Brunei? Kenapa harus ke Brunei, nggak ke Singapura aja, misalnya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut banyak dialamatkan ke saya. Bingung juga jawabnya. Karena bagi kebanyakan orang menganggap saya sebagai “dukun politik” yang tahu banyak kejadian, sebelum kejadian itu terjadi. Padahal yang saya lakukan hanya menganalisa, bermodalkan ‘pisau’ yang saya miliki. Nggak lebih.

Karena sudah banyak mendapatkan cecaran pertanyaan, lewat tulisan saya akan jawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Apakah kepergian Om Wowo ke Brunei sama motifnya dengan minggatnya UBN ke Saudi dengan alasan umroh? Tentu beda. Kalo UBN hengkang ke Saudi karena tidak meyakini apa yang tengah dikerjakannya selama ini. Tapi kalo Om Wowo, punya tujuan yang beda. Nanti saya akan menjawabnya.

Satu yang pasti, pihak mamarika tengah mencoba memainkan perang asimetrik di Indonesia, dengan pilpres 2019 sebagai latar belakangnya. Namun sebuah isu yang dilempar hanya akan terjadi menjadi aksi yang terekskalasi, jika dan hanya jika, isunya digarap secara matang.

Apa yang membuat suatu isu bisa digarap secara matang? Pertama durasi pematangan dan kedua tidak adanya kesenjangan antara isu dan aksi.

Saya kasih contoh yang paling gampang tentang perang asimetrik yang pernah terjadi di tanah air. Ingat reformasi 1998? Saya ingat sekali, bagaimana sebuah isu bisa digarap secara matang dari mulai September 1997. Isunya saat itu adalah turunkan harga, karena tengah terjadi krisis ekonomi dan imbasnya harga-harga memang meroket. Daya beli masyarakat menurun.

Isu menjadi matang saat aksi-aksi lapangan yang dimainkan gerakan mahasiswa makin intensif, sampai kemudian jatuh korban. Puncaknya peristiwa Trisakti terjadi. Dan aksi terekskalasi dengan suksesnya. Dan ujungnya bisa kita ketahui bersama, Soeharto ‘dilengserkan’ oleh people power.

Intinya butuh sekitar 8 bulan untuk mematangkan isu menjadi aksi yang membesar.

Kembali ke laptop…

Saat ini, memang ada agenda untuk melengserkan Jokowi. Apakah skenarionya seperti Arab springs? Tentu beda. Sangat riskan menghancurkan infrastruktur yang ada di Indonesia dengan menggelar perang. Resikonya terlalu mahal.

Lagian, Jokowi juga belum mengambil langkah ekstrim seperti yang dilakukan Allende ataupun Maduro yang menasionalisasi aset perusahaan asing. Atau berani lantang bersuara: “Go to hell with your aid” ala Sukarno. Paling banter yah ‘mengambil alih’ saham Freeport sebesar 51%. Belum terlalu ekstrim, menurut saya.

Satu-satunya cara termurah dan terefektif dalam melengserkan pakde adalah dengan kekuatan massa alias people power.

Masalahnya, terdapat senjang antara isu dan aksi. Isu nggak mungkin membesar menjadi aksi people power kalo nggak dimatangkan. Perhatikan baik-baik: isunya pilpres curang, masa aksinya kemudian turunkan Jokowi? Nggak nyambung. Kalaupun mau menurunkan Jokowi dengan alasan pilpres curang, kan bisa lewat pengadilan. Kenapa harus lewat people power?

Belum lagi durasi waktu yang terlalu mepet, menjadikan isu menjadi terlalu dipaksakan.

Nah, guna menutup kesenjangan ini, Om Wowo terpaksa terbang ke Brunei. Mau ketemu siapa? Info yg saya dapat, bertemu konsultannya. Siapa? Coba browsing di google, apa itu National Endowment for Democracy yang berpusat di Washington DC. Kenapa harus ke Brunei dan nggak ke Singapura? “Politik tidak pernah vulgar dalam menyampaikan pesannya,” tukas temanku.

Dengan kata lain, Om Wowo perlu mendapatkan arahan dari konsultannya, tentang teknis yang harus dilakukan, selain sang konsultan perlu tahu kondisi dilapangan sebelum people power digelar. Berdasarkan pertemuan tersebut, maka senjang antara isu dan aksi hanya bisa ditutup dengan adanya tumbal politik.

Di Tunisia, seorang presiden bisa ditumbangkan karena adanya tumbal politik yang bernama Bouazizi , yang kedapatan membakar diri karena tidak kuat menanggung beban ekonomi saat itu (2010). Narasi yang bisa mendatangkan simpati rakyat Tunisia mulai dikembangkan oleh media mainstream dan berhasil. Singkat kata, Ben Ali lengser dari jabatannya.

Di Indonesia bagaimana skenarionya?

Saya pernah ulas dalam tulisan saya sebelumnya. Simak pernyataan sel JAD di Indonesia yang berhasil diringkus oleh Densus 88 baru-baru ini. “Akan ada peledakkan saat pengumuman hasil pilpres pada 22 Mei mendatang.” Siapa yang akan disasar? Tak lain adalah massa people power yang akan menggelar aksinya.

Framing yang menyatakan Jokowi adalah rejim dzolim yang menangani orang demonstrasi dengan bom, akan dikembangkan lewat media-media. Diharapkan ekskalasi akan terjadi dan orang akan ramai-ramai bersimpati terhadap people power tersebut. Solusinya akhirnya cuma satu: Jokowi harus lengser dari jabatannya.

Akankah berhasil?

Kunci people power selain matangnya isu, ditentukan oleh peran angkatan bersenjata. Dan sialnya, kubu sebelah belum menguasai perangkat tersebut. Coba lihat baik-baik, siapa yang menduduki jabatan strategis setara Kapolri, Panglima TNI dan KASAD? Apakah mereka loyalis Om Wowo?

Yah, kalaupun ada yang berpihak ke kubu presiden Kertanegara tersebut, paling banter setingkat jenderal-jenderal purnawirawan yang nggak lagi pegang garis komando. Apa yang bisa diharapkan?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!