Kembalinya Taliban
Oleh: Ndaru Anugerah
“Bang, kenapa nggak bahas masalah di Afghanistan terkini? Bagaimana situasi disana yang sebenarnya?” tanya seorang pembaca setia.
Tentang Afghanistan, terakhir saya bahas beberapa bulan yang lalu, secara khusus mengulas tentang rencana ‘penarikan’ pasukan AS dari negara tersebut yang hanya basa-basi. (baca disini dan disini)
Lalu kenapa saat ini Taliban bisa mengambil alih Afghanistan dengan secepat kilat? (https://www.france24.com/en/live-news/20210816-how-did-the-taliban-take-over-afghanistan-so-quickly)
Menanggapi hal ini, banyak analis geopolitik yang berspekulasi ‘liar’. Yang paling banyak beredar adalah bahwa skenario itu memang disengaja agar AS dapat menjalin kesepakatan dengan Afghanistan lewat Taliban yang dulunya adalah ‘laskar’ binaannya.
Nggak sedikit juga yang menganalisa bahwa skenario itu terjadi diluar ekspektasi, mengingat Presiden Ashraf Ghani didukung penuh AS. “Bagaimana presiden boneka kok dibiarkan untuk dilikuidasi sama Taliban? Ini diluar skenario,” begitu kurleb-nya.
Yang namanya analisa, menurut saya ya sah-sah saja. Entah benar atau tidaknya, kita akan lihat di kemudian hari kelak. Namun jangan jadikan pembaca, sebagai korban atas analisa spekulatif yang kita buat.
Lantas bagaimana memahami situasi di Afghanistan?
Memang benar bahwa dulunya Taliban merupakan mesin perang kartel sang Ndoro besar, yang lahir lewat peran CIA dan Inggris. (baca disini dan disini)
Tapi itu dulu. Nyatanya, pasukan AS juga banyak membantai ribuan anggota Taliban dan juga warga sipil Afghanistan lainnya selama bertahun-tahun, seakan nyawa nggak ada artinya disana. (https://www.nytimes.com/2019/04/24/world/asia/afghanistan-civilian-casualties-united-nations.html)
Sekarang kalo anda ada pada posisi Taliban, apa anda nggak geram terhadap pasukan AS yang telah membunuh keluarga anda?
Jadi kalo ada yang klaim bahwa Taliban merupakan aset berharga AS sehingga sekarang bisa ambil kekuasaan, mungkin lupa bahwa sesungguhnya geopolitik itu dinamis sifatnya.
Sebaliknya, AS malah mencoba mempertahankan hegemoninya di Afghanistan dengan mengangkat rezim boneka Ashraf Ghani yang terkenal korup dan anti negosiasi dengan pihak Taliban.
Memangnya Taliban menghendaki negosiasi damai guna mengakhiri perang saudara di Afghanistan?
Tentu saja. Namun sialnya, Ashraf Ghani menghalangi niatan tersebut.
Jadi nggak ada cara lain bagi Taliban dalam mewujudkan pemerintahan transisi, selain melikuidasi pemerintahan Ashraf Ghani dengan memakai kekuatan militer.
“Nggak mungkin juga seorang Ashraf Ghani mengundurkan diri sesuai tuntutan Taliban kepadanya, bukan?” (https://sputniknews.com/asia/202108151083607003-taliban-launches-offensive-on-kabul-afghan-interior-ministry-says/)
Memangnya Afghanistan nggak makin kacau, saat Taliban pegang kendali?
Mungkin iya, mungkin juga nggak. Namun komitmen Taliban untuk membentuk pemerintahan transisi di Afghanistan perlu mendapat perhatian serius.
Meskipun banyak yang mencibir bahwa Taliban nggak punya niatan mengusung HAM ala Barat, namun Taliban telah berjanji untuk menghormati kepentingan minoritas dan juga kaum Hawa saat mereka berkuasa. (https://www.rt.com/news/532096-taliban-respect-womens-rights-hijab-afghansitan/)
Jadi kalo anda punya kacamata bahwa konsep Islamis yang diusung Taliban identik dengan konsep jihadis yang dipropagandakan AS dan sekutunya kepada mereka, maka anda punya pandangan yang keliru.
Kenapa?
Karena pada kenyataannya, pemerintah Kabul selama ini toh juga merupakan Republik Islam. Jadi salahnya dimana jika Taliban tetap menginginkan konsep Islami diterapkan di Afghanistan, meskipun dengan skala yang berbeda dari pemerintahan Ashraf Ghani?
Bisa disimpulkan bahwa pengambilalihan pemerintahan Kabul oleh Taliban, bukanlah kemenangan proksi AS atas Afghanistan, karena nyatanya Taliban punya agenda sendiri untuk mengusir kekuatan imperealis Barat dari tanah air mereka.
Dan Taliban cukup muak dengan Ashraf Ghani selaku boneka AS yang nggak bisa ambil sikap.
Tahu darimana kalo Taliban bukan proksi AS saat ini?
Simak penyataan Ketua Kepala Staf Gabungan AS, Jenderal Mark Milley tentang suksesnya Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan. “Kembalinya Taliban di Afghanistan akan mempercepat kebangkitan kelompok teror,” demikian kurleb-nya di depan Kongres AS. (https://www.theguardian.com/world/2021/aug/15/afghanistan-taliban-terrorist-groups)
Artinya apa?
Bahwa AS akan ambil sikap terkait kemenangan Taliban, dalam waktu dekat.
Kalo memang Taliban adalah proksi mereka, ngapain juga perlu diperangi layaknya teroris? Jika bisa cara diplomasi, buat apa cara preman dipakai?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
Bukankan itu rencana Biden sendiri untuk menghidupkan Global War on Terrorism (GWOT), bang?
Betul sekali. Tapi Taliban bukanlah proksi AS kali ini.
Saya curiga, jangan2 ini cm sandiwara bang… Sandiwara global. Kata abang geopolitik itu dinamis, hehe
Next proxy war mamarica bg?
Kek nya nggak. Kemungkinan malah mau dilibas tuh taliban.