Inisiasi Perang Dagang?


516

Oleh: Ndaru Anugerah

Indonesia melarang ekspor biji Nikel ke Eropa per tanggal 1 Januari 2020 nanti. Seketika, kebijakan ini membuat Uni Eropa meradang dan langsung mengajukan gugatan ke WTO sebagai bentuk keberatan.

“Barang, barang kita. Nikel, nikel kita. Mau ekspor mau enggak suka-suka kita, Ya, enggak?” begitu ujar Jokowi menegaskan langkah hukum yang diambil Uni Eropa.

Sebenarnya ada apa sih?

Awal semua ini adalah kebijakan yang diambil UE terhadap produk Indonesia yaitu sawit sebagai buah regulasi industri otomotifnya.

Terhitung mulai 2020, penggunaan bahan bakar disana mewajibkan untuk menggunakan sumber energi yang dapat diperbaharui. Aturan itu bernama RED II alias Renewable Energy Directive II. Nah RED II kemudian diturunkan dalam bentuk juklak yang berlabel Delegated Regulation.

Merujuk pada aturan tersebut, sawit tidak dikategorikan sebagai sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan, karena nilai ILUC alias Indirect Land Use Change-nya lumayan tinggi dan dapat memicu aksi deforestasi alias penggundulan hutan. Tentu saja ini nggak ramah lingkungan.

Padahal UE telah berkomitmen untuk menggunakan bahan bakar nabati sebagai bentuk komitmen mereka terhadap Perjanjian Paris 2015 yang isinya ingin menyelamatkan bumi dari bahaya pemanasan global yang dipicu salah satunya oleh bahan bakar fosil.

“Anehnya, sawit mereka kategorikan bukan sebagai bahan bakar terbarukan, tapi kedelai dan biji bunga matahari yang sama-sama bahan baku nabati, kok tetap dikelompokkan sebagai energi terbarukan. Kan ada perlakuan diskriminatif, tuh?”

Bukan itu saja. UE juga melakukan aksi countervailing terhadap produk sawit asal Indonesia sebesar 8-18%. Countervailing adalah tarif ganti rugi atas subsidi yang ditenggarai diberikan kepada produk sawit, sehingga harganya bisa lebih murah dari harga pasar.

Padahal sawit bisa berharga murah, karena memang banyak pengusaha sawit ada di Indonesia.

Mengantisipasi langkah yang diambil UE, Indonesia yang dipimpin oleh seorang pemimpin kopig, bukannya kendur terhadap tekanan UE tersebut eh malah nge-kick balik.

Gantian produk susu asal negeri Eropa yang masuk ke Indonesia dikenakan tarif tambahan 20-25% sebagai langkah retaliasi. Jangan heran produk susu asal Eropa belakangan jadi mahal harganya di pasaran.

Dan terakhir Indonesia berencana melarang ekspor biji nikel ke Eropa per tanggal 1 Januari nanti. Kalang kabutlah UE terhadap rencana tersebut.

“Indonesia banyak mengalami kerugian secara ekonomis kalo hanya ekspor biji Nikel, ketimbang mengekspor produk turunan dari Nikel.” Tambahan lagi langkah ini selaras dengan program hilirisasi yang dibesut oleh Jokowi.

China saja yang banyak mengimpor biji Nikel tunduk dengan aturan tersebut, dengan membuka keran investasi di Indonesia di bidang peleburan dan pemurnian Nikel. Lha kok UE yang impor dikitan, kok malah ngeyel?

Apa fungsinya Nikel?

Banyak sekali. Dari mulai pembuatan stainless steel, platting alias pelapisan logam, pembuatan batu baterai hingga pengecoran dan pastinya Litium.

Nggak heran dunia industri memberi julukan Nikel sebagai the mother of industry, karena memang fungsi vitalnya. Mana ada sih dunia industri yang nggak pake Nikel sebagai bahan bakunya?

Contoh paling gampang, stainless steel yang merupakan produk turunan dari Nikel. Tanpa stainless steel, maka produk industri yang dihasilkan akan mudah berkarat. Nggak lucu kan, baru seminggu beli mobil Ferrari, eh udah karatan? Itu Ferrari apa odong-odong??

Dengan skema yang diambil oleh Indonesia, UE yang tengah mendisain proyek mobil listrik mereka, bisa dipastikan bakal mangkrak karena kurangnya bahan baku Nikel sebagai pembuat Litium pada produk mereka.

Padahal jauh-jauh mereka berencana bakal membuat kendaraan bebas bahan bakar fosil pada 2030 nanti.

Belum lagi terhadap nasib industri baja mereka, yang bakalan mengalami nasib yang sama dengan proyek mobil listriknya.

Apakah ini bisa dijadikan indikator dimulainya perang dagang Indonesia versus UE?

Semoga saja sih enggak. Mengingat neraca perdagangan kita terhadap UE mengalami surplus. Dengan kata lain, kita lebih banyak ekspor ketimbang impor terhadap UE.

Ekspor kita paling banyak adalah produk minyak nabati yang punya kode Harmonized System (HS)15. Sementara barang impor yang paling banyak didatangkan dari Eropa adalah produk manufaktur seperti permesinan dan juga barang-barang kelistrikan.

Bisa dipastikan dengan adanya perang dagang, akan menambah berat kerjaan Jokowi. Para pengusaha dalam negeri yang berkecimpung di industri manufaktur akan terpukul berat. Dan ujungnya, akan memperparah kondisi ekonomi nasional yang tengah stagnan.

“Itu cuma bluffing yang dilakukan oleh Jokowi terhadap masyarakat UE. Pesannya jelas: jangan main-main dengan Indonesia selama negeri ini dipimpin olehnya,” demikian ungkap sebuah sumber.

Semoga saja demikian adanya.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!