Polemik Lobster


508

Oleh: Ndaru Anugerah

Rencana ijin ekspor benih lobster oleh menteri KKP Edhy Prabowo kembali menuai protes sejumlah kalangan, dari mulai praktisi pendidikan hingga mantan menteri KKP Susi Pudjiastuti. “Kalo harus diekspor, kenapa masih anakan bukan yang sudah dewasa?”

Ada apa gerangan?

Pertanyaan mendasar, kenapa lobster ramai diperjualbelikan? Karena lobster punya nilai ekonomis yang sangat tinggi. Lalu apa yang menyebabkan lobster bernilai ekonomis tinggi?

Paling tidak ada beberapa alasan.

Pertama, untuk mengembangkan lobster butuh waktu yang nggak sebentar. Sekitar 5-7 tahunan. Selain itu lobster termasuk spesies rentan terhadap penyakit menular, bakteri hingga virus. Sehingga kalo lobster sudah terjangkit, mana ada konsumen yang mau menyantapnya?

Dan yang paling penting, perlu rantai distribusi yang panjang sebelum lobster bisa kita santap sebagai hidangan.

Pernah makan lobster yang dagingnya keras kek karet?

Itu gegara lobster-nya sudah nggak fresh lagi. Bisa jadi karena proses distribusinya yang kelamaan. Dan penggila lobster sudah tentu butuh komoditas yang fresh bukan lobster yang alot.

Sadar akan nilai ekonomisnya yang tinggi, maka pasar lobster domestik mulai menggeliat. Yang paling banyak terjadi adalah ekspor baby lobster. Sebagai gambaran, harga benih lobster mencapai Rp.139 ribuan per ekor. Kebayang kalo benih lobster diekspor seember saja, sudah berapa duit didapat?

Angka yang menggiurkan inilah yang memicu banyak pihak mengekspor benih lobster, utamanya ke Vietnam.

Masalahnya, benih yang didapat itu bukan dari penangkaran, alias dari hasil tangkapan laut Indonesia. Jika terus menurus ditangkapi untuk tujuan ekspor, maka bukan nggak mungkin suatu saat Indonesia akan defisit benih lobster.

Melihat kenyataan ini, Susi Pudjiastuti kemudian mengeluarkan larangan ekspor benih lobster lewat Permen KP No.56/2019.

“Benih lobster yang dilarang ditangkap dan diekspor adalah yang sedang bertelur atau ukuran karapaksnya (cangkang keras) kurang dari 8 cm dan berat di bawah 200 gram per ekor,” begitu kurleb isinya.

Kalo sekarang EP selaku menteri KKP yang baru berencana mencabut larangan ekspor lobster yang pernah dikeluarkan Susi, jelas langkah blunder.

Setidaknya ada 2 alasan utama yang dikemukakan sang menteri politisi Gerindra tersebut.

Pertama demi menghentikan langkah penyeludupan benih lobster yang kini tengah marak dilakukan. Alasan kedua, karena kemungkinan lobster bisa hidup di alam bebas hingga dewasa hanya sekitar 1%.

Sekarang coba kita nalar alasan yang dibuat oleh Om menteri tersebut.

Kalo alasannya adalah semata-mata karena penyeludupan, artinya masalah utama adalah di pengawasan yang kurang ketat sehingga bisa kecolongan. Lagian, dengan mengijinkan ekspor, seolah-olah negara kalah oleh tekanan aksi para penyeludup. Yang bokir, ahh…

Berikutnya, kalo alasannya angka keberhasilan hidup lobster di alam hanya 1% ini jelas mengada-ada. Kok bisa? Let’s say Vietnam ekspor benih 100 dari Indonesia, maka berdasarkan data tadi hanya tinggal 1 ekor yang hidup hingga dewasa.

Kalo harga satuan Rp. 139ribu, maka harga 100 benih setara dengan Rp. 13,9 juta. Jika harga pasaran lobster mutiara seperti yang dikemukakan Susi seharga Rp. 4-5 jutaan, maka dipastikan Vietnam akan tekor. Beli benih seharga 13 jeti, laku dijual cuma 5 jutaan. Mungkinkah importir merugi?

“Angka 1% mungkin benar adanya. Namun kondisi itu jika lobster-nya hidup di alam bebas dimana banyak faktor yang bisa menyebabkan lobster mati sebelum dewasa, mulai dari penyakit hingga predator. Tapi dengan adanya bio-engineering, kan semua itu bisa diakalin dengan sistem budidaya,” demikian ungkap seorang pakar perikanan.

Seharusnya, EP mendorong upaya budidaya lobster bukan malah melegalisasi ekspor benihnya.

Jika Vietnam berhasil mendapatkan benih lobster yang bermutu dari Indonesia kemudian berhasil membudidayakan dan juga menghasilkan benih lobster kualitas unggul dengan menggunakan teknik rekayasa genetika, bayangkan apa yang akan didapat oleh bangsa Indonesia ke depannya?

Lobster-lobster dari Indonesia sudah pasti nggak bakal diminati oleh penggila lobster, karena mereka akan beralih ke lobster made in Vietnam dengan kualitas yang lebih baik. Apalagi kalo berhasil dijual dengan harga miring.

“Lagian dengan dibukanya kran ekspor, siapa yang akan diuntungkan? Kalo hanya sekedar petani lobster tentu terlalu naif. Yang paling diuntungkan adalah ‘asosiasi penguasaha’ yang kelak mendapat legalisasi dari pemerintah lewat KKP. Apa bukan mafia, ujung-ujungnya?”

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!