Ketika Buwas Tak Lagi Buas


519

Oleh: Ndaru Anugerah

Ramai rencana pemusnahan beras sebanyak 20 ribu ton milik Bulog, mendadak mendapat sorotan publik. “Ngapain beras segitu banyak dimusnahkan?” demikian suara sumbang di jagat media sosial tanah air.

Rencana pemusnahan tersebut adalah buntut kelebihan stok beras di gudang milik Bulog. Mengacu pada Permentan No.38/2018 tentang pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah alias CBP menyebutkan bahwa apabila batas waktu simpan melampaui 4 bulan, kualitas beras akan menurun.

Solusinya stok beras yang telah melewati usia simpan lebih dari ketentuan, mau nggak mau ya harus dimusnahkan. “Malah ada cadangan beras yang usia simpannya mencapai 1 tahun,” demikian ungkap seorang narsum.

Otomatis beras yang lumayan banyaknya tersebut sesuai amanat Permentan, sudah nggak layak pakai dan hanya bisa paling banter dijadikan ethanol, tepung atau pakan ternak. Kalau nggak mau dimusnahkan. Tapi sekali lagi, semua proses tersebut akan membutuhkan dana tambahan untuk eksekusinya.

Sebagai gambaran, negara dirugikan sekitar Rp 160 milyar akibat stok mubazir tersebut. Angka kerugian akan meningkat lagi kalo upaya pengolahan beras menjadi ethanol, tepung atau pakan ternak atau sekedar dimusnahkan.

Jika ingin ditelusur, rencana pemusnahan beras adalah imbas dari cadangan beras di gudang Bulog. Kelebihan cadangan tersebut dipicu dari kebijakan impor beras yang dilakukan ditahun 2018 oleh Menperidag saat itu Enggartiasto Lukita.

Kebijakan yang sempat mengundang kontroversial tersebut, sebelumnya telah mendapat tentangan dari Dirut Bulog Budi Waseso.

Alasan Buwas lumayan masuk akal, mengingat produksi nasional pada 2018 mencapai 33 juta ton. Sementara konsumsi beras ditahun yang sama hanya 29 juta ton.

Artinya ada kelebihan stok nasional sekitar 4 juta ton. “Lha ngapain kita harus impor beras?” kilah Buwas.

Udah gitu angkanya yang mencapai 2 juta ton, cukup mengundang banyak pertanyaan. Ada apa gerangan?

Selidik punya selidik, rencana impor tersebut setelah Menperindag yang sekaligus politisi Nasdem tersebut mendapat arahan dari Opa Jack. “Untuk mengamankan cadangan beras nasional,” katanya.

Aliasnya daripada defisit, mending stok barang banyak-banyak agar kalau ada gejolak harga di pasaran gegara gagal panen atau faktor lainnya, maka tidak bakal menimbulkan huru-hara di masyarakat.

Sekilas benar juga. Cuma dengan angka yang 2 juta ton, tetap jadi pertanyaan.

Pertama, ngapain angkanya sebanyak itu kalo hanya untuk mengamankan cadangan beras nasional.

Yang kedua, mau naruh dimana beras sebanyak itu? Lha wong kapasitas gudang Bulog hanya mampu menampung beras 2,4 juta ton saja. Dan kondisi saat itu, gudang Bulog sudah fully-loaded.

Itu belum lagi bagaimana mekanisme penyalurannya ke pasar yang pastinya membutuhkan transportasi. Selama ini Bulog keteter dengan mekanisme penyaluran ke pasar karena kurangnya transportasi, sehingga angka yang bisa disalurkan masih jauh optimal.

Eh, bukannya mempertimbangkan usulan Buwas, rencana impor tetap jalan sesuai rencana. Alasannya klasik, ijin impor sudah diteken. Nah terus urusan penyimpanan?

“Perkara gudang beras bukan urusan saya. Tugas saya sekedar menetapkan izin impor,” tukas politisi Nasdem tersebut kepada Buwas.

Dan hasilnya dapat kita saksikan bersama. Stok kebanyakan dan walhasil mubazir tuh beras. Masalah nggak berhenti sampai disini. Maksudnya? Bulog saat ini tengah terlilit hutang yang lumayan bikin kepala Buwas pening. Rp 28 trilyun jumlahnya. Mau gimana cara ngelunasinnya?

“Masa iya harus ngutang di warung Mak Ijah yang suka pake baju rombeng?”

Sebenarnya kalo mau serius mengurus negara, prioritas kerja Jokowi jangan hanya melulu investasi. Tiliklah China yang pada awalnya mengusung reformasi ekonomi di masa Deng Xiaoping memimpin. Selain investasi, ada 4 sektor penunjang yang jadi prioritas, dan salah satunya sektor pertanian.

Pertanian ini tujuan akhirnya adalah kedaulatan pangan, agar negara nggak gampang dirongrong oleh AS berikut para kompradornya yang ada di Indonesia. Urusan perut, mau nggak mau ya harus digarap serius. Dan ini butuh penanganan yang komprehensif.

Misalnya bagaimana menangani stok cadangan nasional.

Seiring era digital harusnya pemerintah punya Big Data yang menyajikan bukan saja daerah sentra penghasil beras dan kuantitas produksinya, melainkan data tersebut juga bisa disinkronisasi dengan jumlah impor yang harus dilakukan jika stok-nya kurang dari konsumsi nasional.

“Jadi jangan hanya mengandalkan data BPS yang karakteristik datanya modal copas doang,” ucap seorang pakar pertanian.

Yang kedua, kalopun harus impor beras, kenapa juga nggak impor gabah saja? Kan durasi penyimpanannya di gudang bisa lebih lama. Kalo beras masa simpan optimalnya hanya 4 bulan, nah gabah masa simpan optimalnya bisa 1 tahun.

“Masalahnya, kalo hanya impor gabah, keuntungan Importir Terdaftar yang jadi rekanan Bulog dalam urusan impor beras, hanya tipis doang. Pertinyiinnyi: kalo untungnya tipis, “pihak-pihak” yang selama ini diuntungkan dengan adanya impor beras, apa nggak klepek-klepek?”

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!