Herd Immunity Threshold
Oleh: Ndaru Anugerah
Dalam suatu podcast pada situs web-nya, Kepala Ilmuwan WHO Dr. Soumya Swaminathan mengatakan bahwa suatu populasi bisa mendapatkan kekebalan kawanan setelah setidaknya 60-70% jumlah penduduknya mendapatkan suntikkan vaksinasi alias terinfeksi. (https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/media-resources/science-in-5/episode-1)
Inilah yang kemudian dijadikan pijakan bagi banyak negara untuk menyuntikkan 60-70% warganya agar terbentuk status herd immunity.
Lantas, apa sebenarnya kekebalan kawanan alias herd immunity? Lalu angka 60-70% dari mana asalnya?
Sebelum saya bahas tentang hal ini, anda perlu tahu apa itu kekebalan kawanan.
Kata herd immunity, pertama kali muncul dalam kedokteran, saat ada wabah keguguran spontan yang menyasar ternak sapi dan domba yang ada di AS di tahun 1910-an. Dan ini jelas buat para peternak merugi.
Akibatnya ternak yang terindikasi penyakit tersebut, langsung dijual atau dimusnahkan agar tidak menular ke ternak lainnya. (https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-67362031924-3/fulltext?fbclid=IwAR2e-mcL33xIaSmqqB3IiTpDTdg-WoccJuW4nBVedKI-m-Xq5vDCjw-mM1U)
Melihat kejadian ini, dokter hewan asal Kansas yang bernama George Potter bilang bahwa itu adalah pendekatan yang salah. Sang dokter menulis dalam Journal of American Veterinary Medical Association suatu esai tentang kekebalan kawanan di tahun 1916.
“Kekebalan kawanan harus dikembangkan agar sapi dapat bertahan hidup, anak sapi harus dipelihara dengan baik dan menghindari masuknya sapi asing ke daerah tersebut,” demikian tulis Potter.
Konsepsi Potter kemudian diwujudkan oleh ahli bakteriologi yang bernama C. Topley di tahun 1923. C. Topley dan GS Wilson membuat eksperimen pada tikus menyatakan, “Kecuali jika tikus yang rentan terus masuk, maka tikus yang sudah kebal akan dapat mengakhiri pandemi.”
Sejak itulah istilah kekebalan kawanan dipakai dalam kedokteran.
Terus, berapa angka ambang batas kekebalan kawanan (herd immunity threshold/HIT) yang sebenarnya? Ini perlu ditanyakan mengingat apa yang diungkapkan Dr. Swaminathan sifatnya hanya prediktif dan nggak ada data pembanding.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa kasus pada kapal Diamond Princess adalah contoh yang ideal untuk menjawab permasalahan HIT. Ketika hanya 17% penumpang yang dinyatakan positif, meskipun kapal telah berlayar selama beberapa minggu, artinya itu angka HIT-nya.
“Kami menemukan bahwa 83% penumpang yang berusia tua tersebut telah terlindungi alias kebal dari infeksi virus Korona karena virusnya nggak bisa menginfeksi penumpang lainnya,” demikian kurleb-nya. (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32109273/)
Dan angka 17% sungguh masuk akal.
Studi yang dilakukan oleh ilmuwan Swedia di Stockholm, juga mendapatkan angka ambang batas kekebalan kawanan sebesar 17%. (https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.05.19.20104596v1.full.pdf)
Penelitian yang dilakukan Nic Lewis juga menyatakan ambang batas kekebalan kawanan untuk kasus si Kopit pada kisaran 7-24%. (https://judithcurry.com/2020/05/10/why-herd-immunity-to-covid-19-is-reached-much-earlier-than-thought/)
Ilmuwan dari Oxford, Virginia Tech dan Liverpool School of Tropical Medicine juga memaparkan hasil temuan mereka bahwa angka ambang batas kekebalan kawanan pada kasus Kopit hanya 10-20% saja dari total populasi.
Artinya, dengan angka yang sangat kecil, maka virus nggak akan bisa lagi menginfeksi populasi karena sudah terbentuk kekebalan kawanan di antara mereka. (https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.04.27.20081893v1.full.pdf)
Bahkan, saking kecilnya angka ambang batas kekebalan kawanan pada si Kopit, Prof. Andrew Bostom mengatakan bahwa herd immunity layak dipakai ketimbang mengharap datangnya vaksin. (https://www.conservativereview.com/news/covid-19-herd-immunity-without-vaccination-teaching-modern-vaccine-dogma-old-tricks/)
Jadi angka HIT itu idealnya hanya 10-20% populasi yang terinfeksi, maka otomatis masyarakatnya kebal terhadap virus Kopit.
Angka ini sangat kontras kalo misalnya kita bandingkan dengan prediksi yang dikeluarkan Imperial College Inggris terhadap ambang batas kekebalan kawanan yang bakal terjadi di Swedia. (https://hailtoyou.wordpress.com/2020/04/29/against-the-corona-panic-pt-vii-swedens-vindication-is-complete-graphing-the-actual-coronavirus-epidemic-in-sweden-against-the-pro-panic-sides-wild-projections/#graphs)
Kenapa bisa begitu?
Karena angka yang besar diperlukan untuk menakut-nakuti orang agar nggak mau menerapkan kekebalan kawanan alami. Jadi vaksinasi adalah solusinya. Titik.
Terus, gimana caranya agar kekebalan kawanan tersebut dapat teraih?
Para lansia yang paling rawan terkena Kopit, akan mendapat prioritas utama dalam perlindungan. Jadi, mereka dilarang melakukan aktivitas keluar rumah/panti jompo, guna menghindari penularan/infeksi.
Strategi ini berhasil diterapkan di Malmo, Swedia sehingga para lansia yang ada di panti jompo mengalami sedikit kematian. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7455549/)
Lalu yang lain gimana?
Ya dibuka agar makin banyak populasi yang terinfeksi dan angka ambang batas kekebalan kawanan dapat segera dicapai. Nggak aneh kalo di Swedia sana, sekolah buka, bar dan café juga buka, tempat cukur rambut buka dan pusat perbelanjaan serta bioskop juga buka.
Ini baru cara cerdas dalam menghadapi pandemi.
Jadi, kalo kita pakai kekebalan kawanan alami, bukan berarti kita menyuruh orang agar terinfeksi Kopit dan kemudian mati. Bukan gitu juga, kali? Itu namanya mati konyol. Ada strategi yang akan diterapkan dalam menjalankan program tersebut.
Lha wong angka IFR si Kopit sangat kecil, jadi ngapain juga divaksinasi? (baca disini)
Tapi itu nggak mungkin dilakukan mengingat vaksinasi global milik sang Ndoro besar tengah berjalan, bukan?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments