Haruskah Masa Karantina Diperpanjang?


530

Haruskah Masa Karantina Diperpanjang?

Oleh: Ndaru Anugerah

Gubernur Georgia – Brian Kemp – membuat keputusan yang cukup penting. Ditengah pandemi C19, Kemp justru berencana membuka lockdown pada negara bagiannnya setelah dikarantina selama berminggu-minggu.

Nggak pake lama, media mainstream sekelas Washington Post langsung menurunkan head-line yang cukup bikin kuping panas: “Georgia memimpin balapan sebagai daerah tujuan kematian nomor 1 di Amrik.” (https://www.washingtonpost.com/opinions/2020/04/21/georgia-leads-race-become-americas-no-1-death-destination/)

Tak tanggung-tanggung, pencemooh sekelas kolumnis Dana Milbank, langsung ‘diterjunkan’ untuk mengolok-olok rencana pembukaan kembali yang dibesut oleh Kemp tersebut. Tujuannya apalagi selain menggagalkan tujuan re-opening yang akan diberlakukan Kemp.

Apakah lockdown langkah yang lebih baik?

Faktanya justru sebaliknya. Di AS saja, negara-negara bagian yang diberlakukan lockdown superketat, malah menderita tingkat kematian tertinggi.

South Dakota yang tidak memberlakukan karantina, justru relatif tidak tersentuh oleh C19, sementara Michigan, New York dan California yang menerapkan lockdown nan lebay, justru merupakan wilayah yang paling terpukul oleh C19. (https://www.ocregister.com/2020/05/18/listening-to-the-coronavirus-experts-has-led-to-death-and-despair-ron-paul/)

Bahkan di Italia dimana pemberlakuan lockdown paling ketat, tingkat kematian justru lebih tinggi dibanding Korea Selatan yang tidak menerapkan lockdown. 495 kematian per juta penduduk untuk Italia, sementara 5 kematian per juta penduduk di Korsel (https://edition.cnn.com/2020/03/16/opinions/south-korea-italy-coronavirus-survivability-sepkowitz/index.html)

Kok bisa demikian tinggi angka kematiannya?

Pertama mungkin orang stress dengan status ‘tahanan rumah’, sehingga orang sulit mendapatkan udara segar dan sinar matahari yang justru dibutuhkan untuk hidup sehat. (baca disini)

Bahkan Sekretaris Layanan Kesehatan dan Kematian AS – Alex Azar – mengakui bahwa, “Di tempat-tempat yang terbuka tanpa kurungan (lockdown), kami justru tidak melihat lonjakan dalam jumlah kasus C19.” (https://www.dailymail.co.uk/news/article-8115081/Health-Secretary-Alex-Azar-admits-hospital-overrun-coronavirus.html)

Kedua, kalo ditelusuri lebih lanjut, sebagian besar angka kematian C19 terjadi difasilitas perawatan manula alias senior citizen care facility.

Ini mah pakai nalar aja sudah bisa dijawab, bahwa manula dengan penyakit komorbiditas segudang ditambah usia uzur, merupakan kelompok yang rentan akan kematian. Bahkan tanpa infeksi C19 sekalipun. (https://www.nytimes.com/2020/04/17/us/coronavirus-nursing-homes.html)

Bisa dikatakan bahwa sasaran utama C19 adalah kaum manula (80 tahun ke atas) dengan segudang penyakit Komorbidtas yang dimilikinya.

Anehnya, kok malah karantina yang diambil yang justru mengakibatkan efek domino semisal: pengangguran massal, kelaparan dan juga kehancuran ekonomi? Yang ada kemudian lebih banyak orang AS yang mati dalam upaya melawan virus, ketimbang virus itu sendiri sebagai penyebabnya.

Kenapa AS akhirnya ambil langkah lockdown? Ya karena ada penggelembungan angka kematian yang demikian besar, selain peran media mainstream sebagai biang keladi paranoid massa.

Nggak percaya? Coba lihat definisi kematian akibat C19.

Dr. Ngozi Ezike selaku Direktur Departemen Kesehatan Masyarakat Illinois menjelaskan, “Definisi kasus C19 sangat sederhana. Bila anda meninggal karena anda memiliki Corona, maka dihitung sebagai kematian akibat C19.” (https://www.youtube.com/watch?v=ljpHugKNcoI&feature=emb_logo)

Logikanya, apabila anda mati karena serangan jantung, tetapi disaat yang sama anda memiliki Corona dalam tubuh anda, maka akibat kematian akan dinyatakan sebagai C19. Apapun alasannya.

Definisi yang sama juga diberlakukan di Michigan. Para medis akan mengklasifikasikan kematian akibat C19 ketika hasil postmortem-nya positif. Bahkan jika anda meninggal karena bunuh diri ataupun mengalami kecelakaan lalu lintas. Pokoknya: C19. (https://www.mlive.com/public-interest/2020/04/medical-experts-say-michigans-coronavirus-death-count-isnt-accurate-but-is-it-too-high-or-too-low.html)

Bahkan secara nasional, Dr. Deborah Birx selaku Koordinator Respons C19 Gedung Putih juga menyatakan hal yang kurleb sama, “Jika seseorang meninggal (karena faktor apapun) jika memiliki Corona, maka kami menghitungnya sebagai kematian akibat C19.” (https://www.medpagetoday.com/blogs/working-stiff/85925)

Lebih gila lagi di New York, dimana klasifikasi kematian justru didasarkan pada gejala yang seringkali sangat mirip dengan flu musiman. Artinya, begitu anda ada gejala batuk-batuk, maka kalo anda mati, sertifikat kematian akan dinyatakan sebagai C19. (https://www.cdc.gov/nchs/data/nvss/vsrg/vsrg03-508.pdf) dan (https://crimeresearch.org/2020/04/cross-country-data-on-coronavirus-very-problematic-in-making-comparisons-us-hospitals-paid-more-for-labeling-cause-of-death-as-coronavirus/)

Belum lagi adanya insentif keuangan (lewat UU CARES) yang memungkinkan rumah sakit akan mendapatkan tambahan premi 20% bila merawat pasien Medicare C19.

Maka makin berlomba-lombalah pihak RS untuk menyatakan para pasiennya untuk diberi label pasien C19. Siapa yang ga butuh duit sih? (https://www.aha.org/advisory/2020-04-16-coronavirus-update-cms-releases-guidance-implementing-cares-act-provisions)

Dengan semua skenario tersebut, nggak aneh kalo jumlah kematian akibat C19 di AS mencapai lebih dari 94 ribu orang. Ya karena upaya penggelembungan angka kematian lewat definisi tersebut. (https://www.worldometers.info/coronavirus/country/us/)

Apa ada upaya penggelembungan lainnya? Saya pernah ulas dalam tulisan sebelumnya. (baca disini)

Semua data-data ngawur tersebut akhirnya disajikan oleh media mainstream, sebagai bahan pemicu paranoid massal bagi masyarakat yang didominasi oleh kelas menengah. “Kelas menengah itu ngertinya sedikit, tapi merasa paling tahu sedunia.”

Akibatnya orang akan pasrah saja bila status karantina diperpanjang bahkan hingga 1,5 tahun seperti ramalan nabi BG. Termasuk di negera ber-flower. “Normal baru akan tercipta bila vaksin sudah ditemukan.”

Ahh, preketek…

Dengan semua kekonyolan ini, layakkah status karantina diperpanjang?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!