Evaluasi Kekalahan


511

Bagi saya, kalah menang dalam politik itu hal yang lumrah. Ibarat permainan, apa-pun itu, pasti ada pihak yang menang dan yang kalah. Cuma dalam pilkada kemarin ada yang extra-ordinary, di luar kewajaran. Ahok bisa kalah sampe 16%. Yang saya katakan sebagai luar biasa adalah, tidak ada satupun lembaga survey yang minimal deket-deket kek ke angka real hasil pilkada putaran kedua. Semua meleset, termasuk temen-temen di SMRC yang biasa-nya cukup valid dalam hal hitung-menghitung. Ada apa gerangan?

Saya termasuk orang yang kurang puas dengan pernyataan beberapa analis yang menyatakan, kalahnya Ahok karena kurang-nya penguasaan di lapang oleh Timses. Kalo memang itu jawabannya, kenapa jauh-jauh hari nggak di-antisipasi. Pula jawaban timses yang mengatakan: “Ahok sengaja dibuat kalah, karena mau melindungi kepentingan yang lebih besar.” Pertanyaan-nya, kenapa Ahok yang di-bemper untuk kepentingan itu? Bukan-kah dengan menang-nya Ahok bakal memudahkan pakde melaju cuss di 2019?

Setelah lewat beberapa hari, ternyata baru saya dapat benang merah-nya. Ada beberapa hal:
Pertama dari kalangan internal tim pemenangan Ahok mau-pun partai pengusung, tidak cukup solid untuk memenang-kan Ahok. Bahasanya: “Cuman manis dibibir, tapi lain dihati.” Ini sebenarnya sudah terbaca dari putaran pertama. Seakan partai yang bekerja hanya PDI-P, sedikit kader Nasdem dan secuil simpatisan Hanura saja. Golkar kemana langkah-nya? Ternyata eh ternyata, ada JK disana. Langkah itu terjegal oleh ulah JK yang menggembosi Golkar dari dalam. Sudah rahasia umum kalo Anies adalah anak emas JK dalam pilkada ini. Bahkan dari mulut ketua PAN (Zulkifli Hasan) sendiri yang menyatakan, kalo pencalonan Anies adalah bentuk “intervensi JK.” Masih segar dalam ingatan kita, gimana seorang Zakir Naik-pun, terpaksa di-impor dari India sama JK, guna mendongkrak elektabiltas anak emas-nya.

Kedua, adalah program yang jadi unggulan Ahok-Djarot. Timses, bahkan Ahok sekali-pun sangat yakin kalo dengan jualan program, pasti warga DKI yang “rasional” akan praktis memilih Ahok. Dugaan ini salah. Kenapa? Mayoritas warga DKI ternyata belum cukup rasional untuk menentukan pilihan, berbekal program yang digadang-gadang. Ternyata mereka malah termakan propaganda lewat mulut para Takmir di mesjid-mesjid tentang penting-nya memilih pemimpin yang se-iman. Korupsi, pikiran mesum dan gak punya program, gapapa, asal se-iman. Wat-de-hel…Ahh, saya jadi ingat memori 1998 dulu, ketika kita (mahasiswa) teriak-teriak Komite Rakyat Indonesia, tapi rakyat nggak ngerti apa maksud dan tujuannya Komite tersebut buat mereka. Terlalu elitis, bahasa kampanye-nya. Akibat-nya gerilya mesjid yang dilakukan tandem HTI plus PKS, sukses menghantam telak Ahok lengkap beserta program-programnya.

Ketiga, adanya intervensi Cikeas di-dalamnya. Masih ingat dalam ingatan kita, gimana diplomasi meja makan yang sempat dimainkan oleh pakde dan pepo. Niat pepo cuma satu, “Jangan usik-usik Hambalang, gue bakal dukung Ahok.” SBY jelas berkepentingan terhadap Hambalang, karena ada nama Ibas disana. Sayang-nya sampe last minute, pakde belum memberikan jawaban atas permintaan sang Jenderal Alay. Akibat-nya langsung bisa ditebak, sang Jenderal memberi “instruksi” kader-nya lengkap dengan kroni-kroninya, untuk mengalihkan dukungan ke Anies-Sandi. Maka makin jeblok-lah suara Ahok-Djarot.

Ini-lah yang bisa menjawab, kenapa Ahok bisa keok telak di putaran kedua. Dihajar habis, tanpa ampun. Sedikit cermat saja, pas hari pencoblosan-pun, perihal kekalahan, pakde sempet bilang, “Siapa-pun yang menang nanti-nya, harus lapang dada.” Seolah pakde pun tau kalo Ahok bakal knock out. Sekali lagi, bagi saya, kalah menang dalam politik itu hal biasa. Menjadi tidak biasa adalah jika ada penumpang gelap dibelakang kemenangan itu. Maksudnya? Mereka-lah penumpang gelap yang punya agenda besar di tahun 2024. Siapa mereka? Nanti saya akan membahas-nya. Saya ingat hari itu, posisi di Kalibata City. Hujan mengguyur Jakarta dengan sangat lebat-nya. Seakan alam-pun menangisi kekalahan sang petahana. Entah kenapa, saya-pun masih sulit move-on…

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!