Oleh: Ndaru Anugerah
“Tot-tok-tok!” sah sudah Ahok ditunjuk sebagai Komisaris Utama Pertamina. Banyak yang memberikan selamat, namun nggak sedikit yang mencibir. “Kok cuma Komisaris Utama, harusnya kan Direktur Utama? Apa ada pengaruhnya seorang Komisaris disana?” demikian komennya.
Melalui tulisan ini saya akan coba ulas, apa yang sebenarnya terjadi.
Penunjukkan Ahok secara tidak langsung sebagai Komut alias Komisaris Utama oleh pakde bukan tanda sebab. Mengingat sebagai korporat, status Pertamina yang belum listing di Bursa Saham menjadikan perusahaan itu sebagai usaha Persero, bukan Terbuka (Tbk).
Implikasinya apa?
Fungsi Komisaris Utama bukan saja sebagai pengawas dirut, melainkan penentu kebijakan strategis perusahaan. Gampangnya gini: dari mulai rencana tahunan, hingga rencana jangka panjang sekalipun, seorang Komut-lah yang mengetok palu-nya, dan bukan kewewenangan seorang Dirut.
Dengan kata lain, posisi Dirut merupakan subordinat dari Komut. Kalo nggak suka, maka posisi Dirut bisa ditendang sewaktu-waktu.
Kenapa Ahok ditaruh diposisi tersebut?
Biar nggak berbenturan langsung dengan para kadal gurun yang banyak bermukim di perusahaan minyak milik negara tersebut. Kebayang kalo ditaruh sebagai Dirut, maka sebagai eksekutor ditataran operasional, langkah Ahok bakal terkendala oleh gerombolan siberat tersebut.
Ini sesuai dengan arahan Jokowi, “Pak Ahok itu cukup fokus (salah satunya) diurusan kilang minyak saja.” Dengan kata lain, nggak ada yang berkaitan dengan teknis operasional yang akan dihadapi Ahok, selain kebijakan strategis. Yah memang itu fungsi seorang Komisaris Utama.
Pertanyaan selanjutnya, kenapa harus konsen diurusan kilang minyak?
Karena selama ini kita terus-terusan impor BBM. Kapasitas kilang minyak kita hanya mampu memproduksi sekitar 800 ribu bph alias barrel per day karena kondisinya sudah jadul. Sedangkan kebutuhan kita sekarang sekitar 1,6 juta bph.
Kekurangan tersebut didapat dari mana? Impor, jawabannya.
Disinilah masalah berasal. Untuk impor perlu tata niaga yang rumit dan panjang, dari mulai shipping hingga surat hutang dari bank. Dan di tiap tahap tersebut, sudah rahasia umum, banyak mafia-nya. Tebak siapa yang diuntungkan? Ya mafia migas tadi.
Dulu ada Petral selaku broker yang berkantor di Singapura. Dengan duduk manis, tiba-tiba uang direkening sudah nambah aja. Dan itu terus terjadi selama puluhan tahun.
Tapi, seiring dibubarkannya Petral oleh Jokowi, praktik mafia ya terus jalan. Salah satu modusnya, rantai distribusi dibuat panjang. Makin panjang, makin banyak yang dapat manfaat dari uang minyak tersebut.
Masalah impor BBM ini sebenarnya bisa diatasi dengan pembangunan kilang minyak di tanah air. Namun, kalo rencana ini dijalankan, banyak yang nggak kedapatan Poppy dan Sandra lagi?
Terhadap rencana ini, para mafia termasuk para petinggi yang bercokol di Pertamina punya satu suara. “Buat apa bangun kilang minyak? Mendingan impor! Rugi kalo harus bangun kilang baru” demikian teriak mereka.
Dan untuk rencana penolakan pembangunan kilang baru, jelas bukan main-main. Seribu alasan diciptakan. Dari mulai studi kelayakan yang menyatakan bahwa IRR alias Internal Rate of Return yang cuma 8% hingga siapa juga yang mau investasi di bidang tersebut.
Ilustrasi-pun diberikan oleh para gerombolan siberat tersebut. “Untuk bangun 1 kilang, butuh dana sekitar gede, sekitar 8 trilyun rupiah. Kapasitas produksinya hanya bisa 300 ribu bph. Itu baru satu kilang. Kalo 5 kilang, udah butuh duit berapa banyak?” begitu kurleb alasannya.
Sekilas benar juga.
Tapi jadi nggak benar kalo biaya pembangunan menggandeng pihak swasta dengan sistem off taker market. Jadi swasta bangun kilang, dikasih hak konsesi sekian tahun dan minyaknya 100% bakal dibeli sama pemerintah. Jadi nggak ada alasan rugi karena over production capacity.
Dengan skema ini, dijamin banyak pihak swasta yang bakal berebut.
“Lagian biaya bangun kilang baru jauh lebih murah ketimbang subsidi BBM yang jumlahnya ratusan trilyun setahunnya yang harus digelontorkan pemerintah,” demikian ungkap seorang teman.
Apa yang bisa disimpulkan? Alasan bangun kilang minyak bakal merugi hanya alasan yang lebay alias dibuat-buat dan nggak mendasar sama sekali.
Siapa berkepentingan terhadap penolakan pembangunan kilang baru? Selain mafia migas ada satu negara tetangga kita, Singapura.
Singapura adalah negara kecil, tapi punya kapasitas kilang minyak melebihi kebutuhan nasionalnya. Kebutuhannya nasionalnya hanya 150ribu bph, tapi kapasitas kilangnya mencapai 1,4juta bph. Kelebihannya dikemanain? Ya di ekspor, dan importir terbesarnya adalah Indonesia.
Berapa keuntungannya, jangan ditanya bray… Kalo impor sehari mencapai 800ribu bph dan harga 1 barrel mencapai 80 USD. Dengan patokan harga dollar AS 14ribu saja, apa nggak hampir 90 milyar seharinya? Kalo setahun apa nggak 32,7 trilyun?
Dan uang sebanyak itu dijamin bakal hangus kalo rencana pembangunan kilang di Indonesia bakal terjadi sesuai rencana Jokowi.
Sebagai gambaran, lewat RDMP (Refinery Development Master Plan) alias revitalisasi kilang minyak di 5 wilayah (yaitu Cilacap, Balongan, Dumai, Balikpapan dan Plaju), ditambah pembuatan kilang baru di Tuban dan Bontang, maka bisa dipastikan defisit BBM bisa ditanggulangi pada 2023 nanti.
“Jika rencana tersebut berhasil dijalankan, maka kapasitas produksi nasional akan mencapai 2 juta bph di tahun 2023. Selain itu kualitas minyaknya sudah Euro 5, dan bukan lagi Euro 3 yang selama ini merupakan hasil impor minyak dari Singapura,” begitu ungkap narsum.
Jadi klir ya, skenario-nya.
Logikanya, dengan rencana yang sudah dimiliki Jokowi, tugas Ahok sebenarnya lumayan berat. Karena yang akan dihadapinya adalah sumber masalah di Pertamina selama ini, yaitu mafia migas. Dan bukan mafia namanya kalo nggak punya seribu cara untuk menjatuhkan lawan.
“Mafia bukan Mak Pia yang biasa jualan combro di pasar, Bang.”
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments