Proyek Radikalisme?


512

Oleh: Ndaru Anugerah

Apa yang terbesit di kepala anda saat para tokoh nasional, utamanya orang yang duduk di pemerintahan meneriakkan kalimat “Ayo Berantas Radikalisme”?

Saya sepakat, mayoritas rakyat menyambut dengan sukacita wacana pemerintah tersebut untuk memberantas radikalisme. Kok bisa? Karena biang kerok intoleransi akhir-akhir ini yang ada di masyarakat kita yang majemuk, radikalisme-lah yang dituding sebagai penyebabnya.

Contoh saat Fachrul Razi selaku menteri agama yang baru mengatakan, “Saya ini bukan hanya menteri agama Islam saja.” Banyak sokongan dari publik terhadap isi pernyataan tersebut.

Bahkan saat FR kembali mempertanyakan soal pemakaian cadar dan celana cingkrang dikalangan abdi negara alias ASN.

“Penggunaan cadar bukan merupakan tolok ukur tinggi atau rendahnya sisi ketakwaan seseorang,” ungkapnya lebih jauh. Kembali publik tepok tangan atas pernyataan kontroversial yang cukup berani tersebut.

Lama kelamaan kalo hanya ditingkatan wacana, publik mulai jenuh. Karena yang dibutuhkan saat ini memang bukan sekadar wacana apalagi retorika kek wan Aibon. Pemberantasan radikalisme itu butuh langkah berani dari pemerintah. Dan ini yang publik sedang nantikan.

“Serius nggak sih pemerintah mau berantas radikalisme?” demikian kurleb pertanyaannya.

Ini wajar ditanyakan, mengingat langkah berani itu hingga hari ini tak kunjung datang.

Ambil yang gampang aja deh. Gimana pemerintah Jokowi menangani HTI selaku organisasi yang sudah dibubarkannya.

Apakah selaku organisasi yang telah dibekukan, otomatis HTI mati gaya? Apakah kaderisasi di tubuh ormas pengusung khilafah itu sudah berhenti? Apakah pendanaan yang telah dilakukan oleh HTI praktis lumpuh atas langkah pembubaran tersebut?

Yang publik lihat, bendera HTI masih bebas berkibar dimana-mana, utamanya saat para kampret mengadakan aksi dijalanan. Dan juga ritual agama lain masih bisa dibubarkan oleh mereka atas prinsip mayoritas-minoritas yang mereka anut.

Artinya apa? HTI masih bebas melenggang dimana-mana, tanpa ada sanksi apapun, bahkan dari negara yang telah membubarkannya.

Kegamangan pemerintah menindak, ini yang jadi tanda tanya. Ada apa sesungguhnya?

Dan parahnya, kaderisasi yang merupakan salah satu indikator utama sebuah organisasi bisa tetap eksis, masih berjalan ditubuh ormas tersebut hingga kini. Nggak percaya?

HTI saat ini tetap bergerilya untuk menarik kader-kader baru. Bahkan mereka masih bebas mengelola aset pendidikan milik mereka.

Tiliklah STIE Hamfara yang ada di Bantul (Yogyakarta), SDIT Insantama yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia atau Ma’had Syafaratul Haramain yang ada di Bogor. Apa lembaga pendidikan tersebut sepi peminat?

Selain itu, upaya penjaringan kader juga masih dilakukan di masjid-mesjid, utamanya milik persyarikatan Muhammadiyah. Kalo kita iseng-iseng kunjungan masjid, maka buletin Jumat ‘Al-Waie’ yang kini berganti nama menjadi ‘Kaffah’, banyak ditemukan disana.

Majlis taklim juga nggak kalah set. HTI kerap mengadakan acara pengajian. Coba tengok Majlis taklim Nafsiah Islamiyyah yang diasuh oleh Ustadz Romli Abud Wafa yang ada di Rejoso, Pasuruan. Seruan khilafah nggak pernah surut dikumandangkan disana.

“Selain itu mereka kerap mengadakan seminar dan acara yang berkaitan dengan dunia anak muda. Misalnya nikah tanpa pacaran atau hidup tanpa riba,” begitu ungkap seorang narsum. Dan acara model beginian banyak terkonsentrasi di Malang, Jatim.

Dibidang penerbitan buku selaku corong propaganda ajaran mereka, juga sama keadaannya. “Masih banyak ditemukan dipasaran buku-buku ajaran HTI yang dikeluarkan oleh penerbit milik mereka seperti Pustaka Thoriqul Izzah dan Quwwah,” ungkap seorang teman.

Dan di media sosial, juga nggak kalah galaknya. Buka aja fanpage facebook semisal Kaffah Media, Harakatono, atau Shautul Ulama Media. Isinya apalagi selain propaganda HTI. Cuma di fanpage tersebut mereka kebanyakan memakai kyai-kyai moderat yang seolah ‘melegitimasi’ pemikiran-pemikiran HTI.

Dengan semua kemudahan tersebut sampai kini bisa mereka dapatkan tanpa kesulitan yang berarti.

Wajar kita bertanya-tanya. Seberapa serius pemerintah memerangi radikalisme? Apa jangan-jangan radikalisme hanya jadi seonggok jargon yang kemudian dijadikan proyek untuk memukul siapapun yang dianggap lawan atau sekedar nyari duit?

Semoga Jokowi bisa segera menjawab keresahan publik.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!