Konsolidasi Sentul


511

Ijtima Ulama IV (IU 4) yang digagas oleh GNPF Ulama, FPI dan PA 212 sudah berlalu dan menghasilkan beberapa keputusan penting. Antara lain menolak hasil pemilu 2019 yang dinilai cacat hukum karena terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, massif plus brutal.

Karenanya kekuasaan yang dihasilkan dari pemilu tersebut jadi nggak punya basis legitimasi, setidaknya bagi mereka.

“Kami menolak kekuasaan yang berdiri atas kecurangan dan kedzaliman serta mengambil jarak dengan kekuasaan tersebut,” demikian ungkap jubir mereka pada awak pers (5/8).

Dan yang tak kalah penting adalah keputusan yang menyerukan kepada ummat Islam untuk menegakkan konsep NKRI bersyariah selain penegakkan khilafah di bumi Indonesia.

Selain itu IU 4 menghasilkan rekomendasi dan mengajak ummat untuk melembagakan forum Ijtima sebagai wadah alternatif yang kelak bisa menghasilkan fatwa-fatwa politik.

Lha, kenapa nggak minta fatwanya ke MUI? “Karena MUI tidak punya kewenangan sama sekali terhadap fatwa yang menyangkut ranah politik sedangkan ummat membutuhkan.” Setidaknya begitu ujar Bachtiar Nasir.

Coba kita runtut apa yang sebenarnya terjadi di forum IU 4 tersebut.

Pelaksanaannya yang dilakukan di Hotel Lorin, Sentul, Bogor, Jawa Barat, sulit untuk menepis adanya kepentingan Cendana pada forum tersebut. Kan hotel tersebut milik Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Aliasnya ada simbiosis mutualisme disana, antara Cendana dan “kelompok 212”.

Cendana berharap dapat mengarahkan forum ini untuk melindungi aset-aset yang dimilikinya selain kepentingan politiknya. Sementara kelompok 212 mendapatkan sokongan ‘amunisi’ di sisi yang lain.

Selain itu, apa yang bisa disimpulkan?

Bahwa ke depan, akan ada perhelatan besar yang akan dibesut dari forum tersebut. Apa itu? Bagaimana ceritanya?

Coba kita sedikit flashback, dalam menjalankan aksi-aksinya di lapangan, kelompok 212 selalu menerapkan perang asimetrik dalam menggulingkan pemerintah yang sah.

Ada isu, aksi dan terakhir pendudukan. Kalo masih bingung, biar saya kasih sedikit clue. Kasus Ahok adalah contoh yang paling mudah menganalisanya.

Ada isu penistaan agama yang coba dinaikkan disana. Untuk menggelembungkan massa ke tingkat yang lebih masif alias taraf aksi massa, mereka butuh legitimasi lembaga yang bernama MUI untuk mengeluarkan fatwa. Intinya, benar ada kasus penistaan agama terjadi.

Jadilah aksi ‘jutaan’ massa terjadi kemudian yang sukses melengserkan pesona Ahok di gelaran pilkada DKI 2017.

Ke depan, aksi mereka akan kesulitan kalo nggak punya lembaga untuk melegitimasi aksi-aksi mereka, karena MUI sudah nggak bisa diandalkan. “Kan petingginya sudah dapat kue kekuasaan,” demikian ujar sebuah narsum.

Jangan aneh, bila IU 4 menghasilkan rekomendasi yang isinya mendesak pembentukkan lembaga pengganti MUI sebagai basis legitimasi aksi massa. Lembaga inilah yang kelak dijadikan mesin kendali fatwa politik yang akan menyasar siapapun yang berbeda pandangan dengan mereka.

Sampai sini, clear yah…

Tentang konsepsi NKRI bersyariah dan penegakkan khilafah, kita juga tahu bersama, siapa yang bermain disana. Benar sodaraa-sodara, HTI. Kok bisa tahu? Secara simbolis, kehadiran eks jubir HTI – Ismail Yusanto – pada forum itu seakan memberi penegasan akan dukungan politis ormas transnasional tersebut.

Jadi jangan heran, kalo penegakkan khilafah jadi sebuah keputusan, karena memang ada “pesanan”. Selain itu, jargon ‘khilafah’ inilah yang kelak ada dijadikan kata pemersatu dikalangan kelompok 212, untuk memukul kekuatan apapun di luar mazhab mereka.

Lantas apa target mereka dalam waktu dekat yang dipercaya akan membuat gebrakan besar di Indonesia?

Tak lain adalah rencana Jokowi yang akan menerapkan sistem litsus pada 10 kementerian dan beberapa BUMN strategis. Targetnya nggak main-main. Bagi pejabat eselon 2 ke atas yang kedapatan berpaham radikal, dipastikan akan mentok karir dan siap dipindahkan ke ‘bagian kering’.

Ini sama aja hidup segan, mati tak mau.

Sebagaimana saya pernah ulas, merekalah yang ditenggarai sebagai penyandang dana gerakan kampret di Indonesia. Maka galau-lah hati pejabat-pejabat tersebut setelah mendengar rencana dahsyat sang tukang kayu.

Setelah ngobrol ngalor ngidul, jadilah forum IU digelar. Target utamanya adalah untuk menggoyang posisi sang tukang kayu dari kursi singgahsananya.

Komplit sudah. Ada isu yang akan dinaikkan (pemimpin yang dzalim), ada lembaga yang akan memberikan fatwa politik, maka aksi dalam bentuk tekanan massa dalam jumlah besar akan bisa digelar karena akan mendapatkan legitimasi.

Diharapkan pendudukan seperti kasus lengsernya Ahok bisa digelar sukses.

“Kapan waktunya, bang?” tanya seorang diluar sana.

Masa belum apa-apa udah ngasih spoiler sih?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!