School of America


510

Oleh: Ndaru Anugerah

Apa yang terbesit dibenak anda kalo saya katakan tentang negara-negara yang terletak di Amerika Latin, Amerika Selatan dan Karibia?

Selain dikenal sebagai negara pengekspor miss universe di hampir tiap tahunnya (karena hasil blasteran Kaukasian dan Indian), negara yang secara geografis terletak di belahan Selatan AS tersebut juga dikenal dengan kartel narkoba dan juga kudeta militernya.

Pertanyaannya: pakah jaringan narkoba dan kudeta militer saling lepas, atau justru saling berhubungan? Lewat tulisan ini saya akan coba membahasnya.

Negara Amerika Selatan menyimpan banyak potensi, dari mulai sumber daya alam hingga eksotisme alamnya. Namun sayangnya karena letaknya yang merupakan backyard dari AS, maka berdasarkan doktrin Monroe, semua negara tersebut harus berada dalam kungkungan pemerintah AS.

Jangan heran, paham sosialis bisa tumbuh subur di daerah ini, karena rakyatnya rata-rata misqueen. Gimana nggak, lha wong SDA-nya dirampok habis-habisan oleh perusahaan multinasional pimpinan AS.

Tak pelak perlawanan rakyat dalam menumbangkan rezim boneka yang disokong AS, kerap terjadi. Semakin hari makin banyak masyarakatnya yang mulai sadar kelas, bahwa mereka selama ini ditindas oleh rezim penghamba Washington.

Dalam mengantisipasi perlawanan rakyat, maka AS menggandeng sekutu tradisionalnya, yaitu pihak militer. Militer adalah pihak yang paling bisa dipercaya dalam menghadapi bahaya ‘merah’ sekaligus perlawanan rakyat. Diktum yang berlaku: yang pegang bedil, otomatis pegang kuasa.

Singkatnya selama perang dingin khususnya, kebijakan AS terhadap Amerika Selatan adalah mendukung rezim-rezim otoritarian yang utamanya dijabat oleh oknum militer. Mau korup dan bengis kek gimana, pasti terus disokong, demi ambisinya memberangus gerakan kiri.

Bagaimana modusnya?

Dengan menyelenggarakan kerjasama militer. Teknisnya, para jenderal yang berkuasa di Amerika Latin dididik secara militer dalam program pelatihan yang diberi nama US Army’s School of the Americas alias School of America (SOA).

SOA sendiri didirikan pertama kali di tahun 1946 pada pangkalan komando AS di Panama. Belakangan karena alasan strategis, SOA dipindahkan ke Ford Benning, AS.

Selama lebih dari setengah abad beroperasi, SOA sukses menghasilkan lebih dari 60 ribu alumni yang tersebar di seantero Amerika Latin, Amerika Tengah dan juga Karibia. Rata-rata alumninya terkenal sebagai diktator bengis yang kerap terlibat pelanggaran HAM berat.

Berdasarkan catatan Komis Kebenaran PBB di tahun 1993, sekitar 69 orang perwira jebolan SOA terlibat dalam pelanggaran HAM berat di El Savador, Honduras dan juga Peru. Apa misalnya? Beragam. Mulai dari penculikan, penyiksaan, pembunuhan hingga pemerkosaan.

Tak pelak, SOA akhirnya banyak diplesetkan menjadi School of Assassins alias sekolah para pembunuh dan juga SOD alias School of Dictators.

Mungkin anda kenal nama-nama seperti: Manuel Noriega dari Panama, Roberto Viola dari Argentina, dan juga Juan Melgar Castro dari Honduras? Tepat sekali. Mereka adalah beberapa rezim diktator yang merupakan jebolan SOA.

Materi apa yang diajarkan saat menjalani sesi pelatihan di SOA?

Tak lain program doktriner alias cuci otak. Disana, mereka bukan saja dilatih untuk menjadi mesin pembunuh yang efektif, tapi juga dicekoki ajaran kontra insurgensi. Komunisme dan sosialisme itu musuh negara, karenanya harus dihancurkan apapun alasannya.

Selama perang dingin, SOA berhasil menjatuhkan rezim-rezim sosialis yang sudah pasti anti untuk disuruh  berkiblat ke Washington dan cenderung mbalelo. Salvador Allende dari Chile adalah satu satu korbannya.

Dalam setahun, proyek yang dipromosikan oleh Washington tersebut menelan anggaran yang nggak sedikit. Sekitar 18 juta USD. Dapat darimana sumber dananya? Ya dari jualan narkoba.

Teknisnya, para jenderal yang sempat mengenyam pendidikan di SOA, dipaksa mengikuti pendidikan lanjutan yang bertempat di Army’s Jungle Operations Training Center di Fort Clayton dan juga Naval Small Craft Instruction and Techical Training School di Rodman Naval Station.

Kedua pusat pelatihan tersebut berada di pangkalan militer AS yang ada di Panama.

Isi kurikulum yang didengungkan adalah bagaimana teknis berperang melawan narkoba. Tapi nyatanya, para jenderal yang terlibat pelatihan justru diberikan training bagaimana membentuk kartel narkoba.

Ambil contoh jenderal Jose Bueso Rosa dari Argentina yang di tahun 1986 kedapatan menjadi kartel penyeludup narkoba sebesar 345 kg heroin senilai 40 juta USD di Nikaragua.

Namun karena sang jenderal merupakan kaki tangan AS sekaligus jebolan pelatihan lanjutan, maka hukuman yang diterimanya cuma 5 tahun penjara. Itupun di Florida, AS.

Dengan kata lain, program perang melawan narkoba sesungguhnya hanya jargon semata. Yang sesungguhnya terjadi adalah mengembangkan kartel narkoba yang dananya salah satunya dipakai buat membiayai pelatihan panglima militer buat menekan siapapun yang anti terhadap kebijakan Washington selain mendanai black-ops CIA lainnya.

Jadi, program kerjasama militer nggak lain adalah akal-akalan AS buat mengembangkan program cuci otaknya agar AS kelak punya kaki tangan di negara yang bersangkutan dari pihak militer. Tujuannya, melengserkan siapapun rezim yang berkuasa yang tentu saja tidak sesuai garis kebijakan Mamarika.

Bagaimana dengan di Indonesia?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!