Ahok: I’ll be back!


512

Oleh: Ndaru Anugerah

Apa yang salah dari kepemimpinan Ahok sebagai gubernur DKI tempo hari?

Untuk menjawabnya, saya kasih sedikit ilustrasi.

Bayangkan seorang Swift Taylor dengan busananya yang anggun tampil pada konser tunggalnya dibantu dengan cahaya lampu nan gemerlap di dalam gedung nan megah. Harga tiketnya pun terbilang mahal alias berjut-jut.

Apa yang terbayang dikepala anda? Wajar, pastinya. Ada kesesuaian antara isi dan kemasannya. Ono rego ono rupo, begitu kurang lebih bahasa Yahudi-nya.

Tapi coba bayangkan anda bertemu seorang Taylor Swift yang sama, bernyanyi dengan suara nan merdu mendayu-dayu tapi busananya compang-camping dan kita temuin di pinggir jalan dekat pengkolan.

“Itu Taylor Swift, apa banci kaleng?”

Kesalahan fatal seorang Ahok yang dulu adalah tidak bisa membedakan antara isi dan bungkus, antara konten dan konteks. Seorang Ahok hanya berkutat ditataran konten, tanpa memperhatikan bungkusnya. Kata-kata yang kerap kita dengar, “Mutiara jika dibungkus pake karung goni tetaplah sebutir mutiara.”

Sekilas nggak ada yang salah. Cuma kalo karung goni-nya bekas dipakai bungkus tokai, apa ada orang yang akan meliriknya. Belum ngelirik, orang udah mules duluan, Bambaang….

Kontras dengan Ahok, bagaimana kita melihat sosok gabener ummat 212? Kalo soal konten, kita nggak usah nanya lha ya. Kalo ngomong aja udah muter-muter, kita udah bisa tahu isi omongannya seperti apa alias gada isinya? Tapi disatu sisi, wan Aibon pintar membungkus isi bicaranya, dengan gaya bahasa yang serba santun lengkap dengan retorikanya.

Alhasil, dengan sedikit polesan seorang konsultan politik, citranya sebagai pemimpin yang santun langsung melejit. Seolah-olah masalah Jakarta adalah kurangnya sosok pemimpin yang santun, bukan pemimpin yang nyablak ngomongnya meskipun bisa kerja-kerja-kerja.

Ditambah sedikit iming-iming kapling sorga, Ahok-pun akhirnya tersungkur.

Memang pada kenyataannya antara isi dan bungkus sering disepelekan banyak pihak.

Namun justru banyak orang gagal dalam melakukan banyak hal karena urusan tersebut. Terkadang malah bungkusnya yang lebih bagus dari isinya. Dan hermannya, orang Indonesia malah tergila-gila dengan ‘bungkus’ tersebut ketimbang isinya. Body bohay nan aduhay, eh begitu dibuka dapetnya ternyata Lucinta Luna..

Yah begitulah tabiat orang Indonesia. Mau protes silakan, tapi emang begitu kenyataannya.

Antara isi dan bungkus, memang harus selaras guna menciptakan efektivitas dalam berkomunikasi. Harapan akhirnya orang bisa merasakan kepuasan. Nggak merasa percuma sudah bayar harga.

Isi tanpa memperhatikan bungkus, dapat membuat orang alergi untuk mendekat. Sebaliknya bungkus yang indah tanpa isi yang mumpuni, hasilnya adalah JKT 58.

Kalo anda ditawari pilihan: gadis ayu nan jelita tapi tulalit alias gada otaknya, atau gadis cerdas tapi nafasnya bau dragon kalo diajak ngomong? Tentu nggak kedua-duanya, kan?

Saran saya kepada koh Ahok, jangan terlalu dengerin orang dekat anda yang punya prinsip “just the way I am.” Ada benarnya, tapi untuk jaman Now sudah banyak nggak relevannya.

Saat ini, punyalah seorang konsultan yang pandai merias anda untuk menjadi publik figur sejati. Bukan kaleng-kaleng.

Apalagi anda ditaruh pada posisi pendobrak pada BUMN yang terkenal banyak penyamunnya. Salah sedikit saja, maka akan diplintir lagi sama orang sewaan yang mirip-mirip buni Yani.

Kesalahan cukup satu kali, jangan sampai terulang kedua kali.

Lagian kokoh bukan seorang kadal gurun, kan?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!