Buat Vaksin Itu Nggak Mudah


520

Buat Vaksin Itu Nggak Mudah

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada ulasan saya terdahulu, banyak yang nggak merasa puas terhadap content yang saya bawa tentang vaksin CoronaVac dari China. Kebanyakan berpikir bahwa vaksin tersebut akan dapat mengatasi si Kopit dan mengakhiri pandemi ini, dengan berpikir yang lurus-lurus saja. (baca disini)

Disuntik vaksin, lalu masalah selesai.

Nyatanya, agenda elite global nggak begitu adanya. Satu yang pasti, kalo mereka punya rencana besar, pasti apapun akan dikerahkan dalam memuluskan agenda tersebut. Termasuk mengembangkan asumsi yang terus digoreng oleh media mainstream selaku kepanjangan tangan mereka buat semua orang paranoid. (baca disini, disini dan disini)

Tapi satu yang perlu dicatat. Bahwa semua orang akhirnya digiring pada pembentukkan opini yang sama bahwa vaksin adalah solusi tunggal mengatasi si Kopit. Itu memang maunya elite global.

Bahkan sekelas Ketua Federal Reserve, Jerome Powell sempat kasih statement penekanan, “Agar ekonomi bisa pulih sepenuhnya (kembali normal), maka kita perlu menantikan datangnya vaksin. (https://www.cnbc.com/2020/05/17/powell-says-a-full-economic-recovery-may-not-happen-without-a-vaccine.html)

Prof. Alan Dershowitz lebih gila lagi. Selaku profesor hukum di Harvard sekaligus penasihat Trump, dia malah bilang, “Anda tidak punya hak untuk menolak vaksin. Jika anda menolak divaksinasi, maka negara akan punya kekuatan memaksa untuk bisa memasukkan jarum ke tangan anda.” (https://www.washingtonexaminer.com/news/power-to-plunge-a-needle-into-your-arm-dershowitz-says-forced-vaccinations-are-constitutional)

Jadi bisa disimpulkan, bahwa agenda vaksinasi global plus, adalah agenda elite global. Tapi anda harus kubur dalam-dalam impian anda, kalo anda berpikir bahwa CoronaVac adalah penawarnya. Karena penawarnya harus vaksin pabrikan Big Pharma.

Disini masalah muncul. Banyak bukti menyatakan bahwa vaksin Big Pharma yang kelak dijadikan syarat seseorang untuk bisa bekerja, bersekolah atau sekedar berbelanja tersebut, bukan produk yang aman untuk dipakai. (baca disini dan disini)

Masalah diperburuk, karena sejak pemerintahan Reagan, berlaku UU tentang Kompensasi Cedera Vaksin di tahun 1986, yang menyatakan bahwa produsen vaksin nggak akan bisa dituntut dimuka hukum bila kelak mengakibatkan cacat permanen atau malah kematian. (https://www.nytimes.com/1986/11/15/us/reagan-signs-bill-on-drug-exports-and-payment-for-vaccine-injuries.html)

Hal yang sama akan berlaku pada kasus si Kopit. Percayalah.

Walaupun bukan hal bagus untuk diungkapkan, namun sebagai analis, saya harus mengatakan yang sejujurnya, mengingat saya bukan story teller yang bisa memuaskan keinginan anda akan bahan bacaan yang sesuai dengan harapan anda.

Seorang netizen bertanya kepada saya, “Apa masalah sesungguhnya dengan vaksin?”

Setidaknya ada 2 masalah. Pertama menyangkut waktu yang dibutuhkan untuk membuat vaksin yang ideal. Kedua menyangkut efektivitas vaksin.

Maksudnya? Saya coba jelaskan.

Prof. Paul Offit selaku promotor vaksin dunia telah mengingatkan, “Butuh waktu waktu bertahun-tahun untuk menciptakan vaksin yang aman untuk dipakai. Setidaknya 5 tahunan waktu yang dibutuhkan.” (https://www.fiercepharma.com/pharma/don-t-count-a-covid-19-vaccine-for-at-least-five-years-says-ai-based-forecast)

Logis, mengingat vaksin memang butuh uji klinis yang ketat, agar kelak aman untuk digunakan. Kalo diburu-buru, jadinya vaksin tahu bulat yang akan berisiko menyebabkan cacat permanen atau malah kematian jika dipakai kelak. (https://www.amazon.ca/Virus-Mania-Continually-Epidemics-Billion-Dollar/dp/1425114679)

Nyatanya, Trump justru memangkas prosedur pembuatan vaksin yang panjang, dengan Operation Warp Speed-nya. “Pokoknya vaksin akan tersedia dalam waktu yang sangat cepat,” ungkapnya. (https://newrepublic.com/article/156932/risky-race-quick-coronavirus-vaccine)

Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya vaksin yang akan dihasilkan kelak.

Lalu yang kedua, let’s say bahwa vaksinnya berhasil ditemukan, pertanyaan selanjutnya apakah efektif untuk digunakan?

Fakta bahwa virus RNA model si Kopit, mengalami mutasi yang lebih cepat dari virus model DNA (seperti herpes, HPV dan cacar), itu nggak bisa dibantah. (https://www.healthline.com/health-news/what-to-know-about-mutation-and-covid-19)

Universitas Cambridge mengamini hal ini dengan melaporkan adanya 3 mutasi virus Corona baru sejak kasus di Wuhan. (https://m.economictimes.com/news/science/mutations-undergone-by-coronavirus-tracked-three-lineages-discovered-study/articleshow/75078882.cms)

Bukan itu saja. National Laboratory of Los Alamos juga melaporkan temuan yang sama. “Kami menemukan mutasi virus yang lebih menular dari jenis pertama di Wuhan.” (https://www.biorxiv.org/content/10.1101/2020.04.29.069054v1.full)

Bahkan di India, ditemukan strain baru si Kopit yang lebih mematikan karena dapat memicu sindrom pernafasan akut yang parah. (https://www.scmp.com/news/china/science/article/3079678/coronavirus-mutation-threatens-race-develop-vaccine)

Karena itu, para peneliti di National Changhua University di Taiwan dan juga Murdoch University di Australia mengingatkan bahwa upaya pengembangan vaksin Corona akan menjadi sia-sia, seiring adanya mutasi virus yang tidak terkendali. (https://www.taiwannews.com.tw/en/news/3916505)

Dengan kata lain, efektivitas vaksin patut dipertanyakan dalam menangani si Kopit. Sudah susah-susah buatnya, tahunya nggak efektif untuk dipakai.

Apalagi ada temuan dari Universitas Columbia yang menyatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi kembali virus Corona yang sama dalam waktu satu tahun sebanyak 2-3 kali. Ini dimungkinkan karena si Kopit telah menyebabkan daya tahan tubuh seseorang menjadi letoy. (http://www.columbia.edu/~jls106/galanti_shaman_ms_supp.pdf)

Temuan itu diperkuat oleh pernyataan Dr. Matthew Frieman dari University of Maryland selaku pakar virus Corona, “Kami benar-benar tidak mengerti mengapa mutasi virus terjadi dengan sangat cepat yang menyebabkan antibodi yang dibentuk tubuh tidak bisa melindungi kita dari infeksi virus tersebut.” (https://www.technologyreview.com/2020/04/27/1000569/how-long-are-people-immune-to-covid-19/)

Lantas apa dong solusinya?

Kebanyakan orang yang sembuh dari si Kopit tanpa dirawat di RS, berdasarkan penelitian tidak menghasilkan antibodi penawar tingkat tinggi yang diperlukan untuk melawan infeksi virus. (https://www.researchgate.net/publication/340471619_Neutralizing_antibody_responses_to_SARS-CoV-2_in_a_COVID-19_recovered_patient_cohort_and_their_implications)

Kalo nggak menghasilkan antibodi penawar yang cukup, lalu kenapa mereka bisa sembuh?

Karena si Kopit bukan virus yang mematikan. Kekebalan tubuh alami seseorang, itulah kata kuncinya. Itu yang harusnya menjadikan tekanan, bukan pada vaksinnya.

Ngerti ora, son?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!