Menyoal Oligarki (*Bagian 2)


522

Menyoal Oligarki (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah – 12032024

Pada bagian pertama tulisan, kita sudah bahas tentang oligarki yang ada pada setiap negara, baik itu pada negara yang dianggap soko guru demokrasi sekalipun, hingga negara yang menganut sistem sosialis. (baca disini)

Apakah oligarki hanya bersifat lokal ataukah mereka punya jaringan global?

Saat ini berdasarkan fakta yang ada, dunia dikuasai oleh banyak sekali perusahaan multinasional dan juga lembaga keuangan global.

Merujuk pada penelitian yang dilakukan Prof. Gilens dan Prof. Page di tahun 2014 silam, menyatakan bahwa sistem politik AS sendiri dikuasai oligarki, dimana keinginan korporasi menjadi kekuatan pendorong dibalik kebijakan yang diambil pemerintah. (http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/northamerica/usa/10769041/The-US-is-an-oligarchy-study-concludes.html)

Lantas bagaimana oligarki ini mengambil peran sebagai aktor di balik layar?

Adalah CFR (Council on Foreign Relations) yang memegang tongkat komando bagi para oligarki untuk bisa menjalankan niatnya.

Asal tahu saja bahwa keanggotaan lembaga yang satu ini cukup beragam, dari mulai eselon teratas di bidang politik, akademisi, media, korporasi hingga bankir.

Berdasarkan keanggotaan korporat pada lembaga tersebut, terlihat bahwa kekuasaan berada di tangan sejumlah kecil perusahaan yang paling berpengaruh di dunia untuk menjadi anggota dewan, dari mulai, Exxon Mobil Corporation, Goldman Sachs, Barclays, Google, IBM, Hitachi, Lockheed Martin, Deutsche Bank, British Petroleum, hingga Soros Fund Management.

Berdasarkan paparan yang diungkapkan Prof. Carroll Quigley (penulis Tragedy and Hope dan The Anglo-American Institution) yang pernah terlibat dalam CFR, menegaskan bahwa asal muasal lembaga CFR adalah Royal Institute of International Affairs (RIIA) yang berbasis di Inggris, dengan kantor pusatnya di Chatham House di St. James Square, London.

Sedangkan RIIA sendiri berasal dari Cecil Rhodes Secret Society dan juga Lord Alfred Milner Group, dibentuk oleh Lionel Curtis bersama dengan anggota Milner Group lainnya.

“Di tahun 1919, mereka mendirikan RIIA (Chatham House). Lembaga serupa juga didirikan di AS yang dikenal sebagai Dewan Hubungan Luar Negeri (Council on Foreign Relations) pada periode 1919-1927,” ungkap Prof. Quigley.

Prof. Quigley menambahkan, “Baik Lord Alfred Milner maupun Cecil Rhodes, keduanya punya pikiran yang sama akan pentingnya ekspansionisme Inggris dalam rangka penyatuan dunia. Itu hanya bisa dicapai melalui kelompok rahasia yang akan mengatur dari balik layar melalui kendali lembaga jurnalistik, pendidikan dan propaganda.”

Jadi, secara implisit, Prof. Quigley mau menyatakan bahwa ada kelompok oligarki kecil yang punya konsentrasi kekuasaan seperti itu. Dan kelompok kecil ini nggak terlihat, namun kuasanya pada pemerintahan nggak bisa dikesampingkan.

“Kelompok kecil ini memegang kekuasaan atas jalannya pemerintahan dan politik serta mereka diberikan kendali penuh dalam penerbitan dokumen yang melegalisasi tindakan mereka. Mereka mampu memberikan pengaruh terhadap jalur informasi yang menciptakan opini publik dan memonopoli sejarah,” tambahnya.

Lantas bagaimana faktanya saat ini?

Tidak bisa dipungkiri bahwa Chatham House (sebagai kantor dari RIIA) merupakan salah satu organisasi top di dunia dan menjalankan aktivitasnya secara rahasia. Ajaibnya aktivitas mereka sangat minim diberikan oleh media mainstream.

Apakah hanya kebetulan jika media mainstream dari mulai BBC, Reuters, Bloomberg, Telegraph, Daily Mail, Guardian hingga Bloomberg merupakan jaringan yang terkoneksi dengan RIIA sehingga sangat jarang memberitakan kegiatan rahasia organisasi tersebut? (http://www.chathamhouse.org/become-member/corporate-membership/corporate-list)

Tidak hanya itu, perusahaan kakap sekelas yang bergerak pada bidang pertahanan hingga perbankan semisal BAE Systems, Chevron, Royal Bank of Scotland, Raytheon, HSBC Holding hingga Komisi Uni Eropa, juga terkoneksi dengan Chatham House.

Karena perusahaan-perusahaan besar tersebut banyak berasal dari dunia Barat, maka dalam lingkup geopolitik ada istilah kekaisaran Barat (yang menggambarkan eksistensi mereka) yang punya satu tujuan yakni terbentuknya kekuasaan Anglo-Amerika di seluruh dunia.

Selain lembaga sekelas CFR, ada lagi jaringan oligarki global yang bernaung dalam organisasi payung Bilderberg. Saban tahun, para oligarki global yang ada pada organisasi ini bertemu untuk membahas masalah sosial, ekonomi dan geopolitik. (http://www.theguardian.com/world/2014/may/29/bilderberg-60-inside-worlds-most-secretive-conference)

Dengan jaringan global yang dimilikinya, Bilderberg punya kuasa untuk membentuk skenario global sesuai dengan skema yang telah mereka rencanakan.

Ini bukan hal yang berlebihan, karena mantan ketua Bilderberg Etienne Davignon pernah menyatakan bahwa kelompok tersebut ikut ‘membantu’ menciptakan mata uang tunggal Eropa yang kelak dikenal sebagai Euro, di tahun 1990an. (http://www.prisonplanet.com/bilderberg-chairman-%E2%80%98bilderberg-helped-create-the-euro%E2%80%99.html)

Bisa anda bayangkan. Euro yang baru dipakai pada awal 2000an, ternyata bisa terealisasi berkat kontribusi jaringan Bilderberg. Bahkan mantan Presiden Bank Sentral Eropa-pun, bisa menduduki jabatannya karena keterlibatannya pada jaringan oligarki global tersebut. (http://publicintelligence.net/official-list-of-participants-for-the-2009-bilderberg-meeting/)

Siapa sebenarnya aktor di balik jaringan oligarki global ini?

Nggak lain dan nggak bukan, ya Ndoro besar itu sendiri. (baca disini, disini, disini dan disini)

Mereka-lah sesungguhnya yang mengatur jalannya dunia. Cara yang dilakukan adalah dengan memanipulasi opini publik dengan sederet media mainstream yang mereka miliki.

Jadi kalo mereka akan memajukan suatu agenda tertentu, maka media mainstream akan digerakkan untuk membentuk opini. Biasanya opini yang digunakan pasti bersifat provokatif dan dapat membuat publik ketakutan. Setelah propaganda sukses diluncurkan, kemudian mereka akan memunculkan solusi atas masalah yang sengaja mereka ciptakan.

Global war on terrorism berkedok tragedi 9/11 ataupun plandemi kopit adalah dua kasus yang paling mudah untuk diamati.

Singkatnya, jika jaringan oligarki global sudah punya rencana, maka otomatis semua yang ada di kolong langit akan mematuhinya. Termasuk para oligarki lokal yang ada di tiap negara yang juga akan tunduk pada rencana sang Ndoro besar tersebut.

Bagaimana jika ada sosok pemimpin yang menentang agenda sang Ndoro besar?

Nyawa yang akan jadi taruhannya. (baca disini dan disini)

Lalu bagaimana dengan jalannya pemilu yang ada di suatu negara? Akankah jaringan oligarki global mengaturnya?

Biasanya, sang Ndoro besar mengaturnya dengan cara menempatkan calon yang sesuai dengan keinginan mereka. Jadi, siapa-pun calon yang akan menang dalam kontestasi pemilu, mereka tetap akan diuntungkan.

Dan bila ada calon yang diluar skenario mereka berhasil memenangkan kontestasi, maka akan ada rusuh pasca pemilu. Kasus Salvador Allende mungkin satu dari banyak skenario rusuh pasca pemilu. (baca disini)

Setelah memahami bagaimana sepak terjang oligarki global, pentingkah fanatisme dalam pemilu dipertontonkan? Bukankah kepentingan oligarki juga yang diperjuangkan?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


2 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Berarti, bowo terpilih, dengan cara yg sangat amazing, 1 putaran menang 58% plus menang di 28 provinsi, itu karena bowo memang dipilih ndoro besar, betul Gan?
    Mungkin ndoro besar lihat, lebih baik Bowo daripada amin, buat atur Indonesia, untuk keuntungan ndoro besar, betul Gan? Terima kasih 🙏😁🙏

  2. Saya rasa jaringan ndoro bukan cuma bilderberg tapi ada wef(world economy forum) yg mengontrol kepala pemerintahan dunia untuk satu tujuan..
    Terima kasih

error: Content is protected !!