Menyoal Oligarki (*Bagian 1)


524

Menyoal Oligarki (Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah – 22022024

Apa itu oligarki? Benarkah oligarki memimpin suatu negara dari belakang layar? Adakah jaringan oligarki global?

Secara definitif term oligarki berasal dari kata Yunani oligarkhes yang artinya ‘sedikit yang memerintah’. Dengan kata lain oligarki adalah struktur kekuasaan pada suatu negara (wilayah) yang dikendalikan oleh segelintir orang saja.

Praktik oligarki dimulai pada 600 SM ketika kota Sparta dan Athena yang ada di Yunani diperintah oleh sekelompok elit bangsawan yang terpelajar. (https://www.thoughtco.com/oligarchy-definition-4776084)

Oligarki sendiri dapat dibedakan dan dihubungkan berdasarkan kekayaan, ikatan keluarga, kebangsawanan, kepentingan perusahaan, agama, politik hingga kekuatan militer.

Namun satu yang pasti, bahwa segala bentuk pemerintahan, termasuk demokrasi, teokrasi dan monarki, dapat dikendalikan oleh oligarki.

Cara yang kerap dilakukan adalah dengan ‘mengendalikan’ pejabat terpilih ataupun menggunakan kekuatan militer untuk mengatur raja/ratu. Semua dilakukan oligarki hanya demi kepentingannya semata, tanpa peduli kepentingan masyarakat.

Di AS sendiri yang diklaim sebagai soko guru demokrasi, nyatanya dikontrol oleh oligarki.

Berdasarkan studi yang dilakukan Prof. Martin Gilens dan Prof. Benjamin Page selama 2 dekade (1980-an – 2000an), menyatakan bahwa orang-orang kaya yang punya koneksi di bidang politik, telah mengendalikan arah negara yang pada kenyataannya menentang keinginan suara mayoritas. (https://www.cambridge.org/core/journals/perspectives-on-politics/article/testing-theories-of-american-politics-elites-interest-groups-and-average-citizens/62327F513959D0A304D4893B382B992B)

Sekelas Jimmy Carter juga menyatakan hal yang sama. Berbicara pada Program Thom Hartmann pada Juli 2015 silam, Carter menyatakan bahwa AS menganut sistem oligarki yang sarat penyuapan, dan berjalan di dua kaki baik Partai Republik maupun Partai Demokrat. (https://theintercept.com/2015/07/30/jimmy-carter-u-s-oligarchy-unlimited-political-bribery/)

Bahkan Prof. Jeffrey Winters selaku pakar ilmu politik dari Northwestern University juga menyatakan hal yang sama, “Oligarki dan demokrasi beroperasi dalam satu sistem yang sama, dan politik AS adalah bukti interaksi keduanya sehari-hari.” (https://www.academia.edu/28886415/Oligarchy_By_Jeffrey_A_Winters)

Singkatnya, sistem politik AS telah berubah dari sistem demokrasi perwakilan menjadi sistem oligarki, dimana kekuasaaan dipegang oleh elit tajir mlintir.

Apakah hanya AS yang menjalankan praktik oligarki?

Nggak juga. Bahkan sekelas China (yang katanya rezim sosialis) juga menjalankan praktik oligarki yang sama. Kalo anda pernah mendengar ‘Delapan Dewa’ atau yang juga dikenal dengan gang Shanghai, itu juga oligarki.

Mereka-lah yang mengendalikan sebagian besar perusahaan milik negara dan juga mengatur kebijakan yang diambil negara Tirai Bambu tersebut dari belakang layar.

Tentang ini saya pernah singgung dalam tulisan beberapa tahun yang lalu yang mengulas tentang pertumbuhan China yang begitu ‘ajaib’ pasca Mao. (baca disini, disini dan disini)

Jadi, oligarki itu riil adanya. Mereka boleh saja tidak nampak dipermukaan, tapi nyatanya eksistensi mereka sebagai pihak di belakang layar yang ‘mengatur’ jalannya pemerintahan, nggak bisa dikesampingkan.

Lalu bagaimana oligarki mengambil alih pemerintahan dari balik layar?

Cara yang paling umum adalah dengan mendukung paslon-paslon yang bertanding pada gelaran pemilu. Jadi siapapun paslon yang bertanding, sudah ada dalam kendali mereka.

Kelak salah satu paslon memenangkan pemilu, maka paslon tersebut harus mau menjalankan kebijakan yang tentu saja menguntungkan para oligarki yang telah mendanai paslon tersebut pada masa kampanyenya sebagai politik balas budi.

Contoh yang paling gamblang adalah para oligarki di Rusia yang berhasil meraup keuntungan dari upayanya mendukung Boris Yeltsin pada pemilu 1996. Saat Yeltsin terpilih, maka kelompok tersebut mengambil keuntungan dengan cara ‘merampok’ sumber daya alam dan aset-aset yang dikuasai negara dengan menggunakan proses lelang yang sudah direkayasa.

Sudah pasti mereka yang bakal menang lelang asset negara, dengan harga obral.

Bukan itu saja, karena beberapa oligarki bahkan mengambil langsung kendali beberapa perusahaan negara berdasarkan dokumen fiktif yang mereka buat sendiri. (https://theweek.com/politics/1012021/the-role-of-oligarchs-in-russia)

Siapa saja mereka?

Banyak, dari mulai Roman Abramovich, Mikhail Khodorkovsky, hingga Boris Berezovsky.

Saat Yeltsin tidak lagi berkuasa dan digantikan Vladimir Putin di tahun 2000, bukannya membasmi para oligarki tersebut, Putin malah menjadi bagian dari oligarki tersebut yang nggak lain adalah jaringan alumni KGB dan siloviki.

Berdasarkan studi yang dilakukan Biro Riset Ekonomi Nasional pada 2017 silam menyatakan bahwa elit terkaya Rusia memiliki setidaknya USD 800 milyar yang disimpan di luar negeri yang jumlahnya sama dengan total kekayaan 144 juta penduduk Rusia. (https://www.npr.org/2022/02/26/1083276850/us-sanctions-on-russian-oligarchs-miss-richest-of-rich)

Jadi, dengan memberi sokongan dana pada semua paslon yang bertanding pada pemilu, siapapun yang akan memenangkan kontestasi, otomatis bersedia didikte oleh para oligarki tersebut.

Bagi para oligarki, pemilu adalah alat yang dibutuhkan untuk melegitimasi kekuasaan pada pemerintahan yang terbentuk. Dengan adanya legitimasi, maka ruang gerak oligarki dalam merampok negara, akan menjadi sah dan tentunya nggak akan tersentuh oleh hukum.

Lagian, bisnis mana yang menghendaki kondisi rusuh? Pasti butuh kepastian dan kestabilan, bukan?

Dan bila ada undang-undang yang menentang aktivitas mereka, maka undang-undang tersebut harus diamandemen di parlemen. Tentu saja para oligarki juga mempunyai kaki tangan mereka di parlemen yang siap menerima orderan sang tuan.

Makanya jangan heran jika suatu produk perundang-undangan pasti condong kepada kepentingan para oligarki. Karena ada kaki tangan mereka di parlemen dan juga pemerintahan yang mengesahkan produk undang-undang tersebut.

Dengan demikian, pameo yang menyatakan nggak akan ada ceritanya revolusi tercipta dari balik kotak suara, ada benarnya. Karena, mau siapapun yang menang pada pemilu, pasti sudah mendapat restu dari para oligarki yang mendanai mereka.

Bodoh adalah mereka yang saling bertikai untuk mendukung paslon-nya masing-masing secara brutal, karena nyatanya bukan kepentingan rakyat yang diperjuangkan sang paslon yang mereka dukung mati-matian, tapi kepentingan bisnis para oligarki.

Memangnya saat paslon yang mereka dukung menang, mereka dapat apa?

Pada bagian kedua kita akan bahas jaringan oligarki global yang menguasai setiap sendi kehidupan kita.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!